1.
Teori Thorndike
Adapun hukum – hukun teori Koneksionisme Edward Lee
Thorndike yang ditulis oleh Stephen Tomlinson (Edward Lee Thorndike
and John Dewey on the Science of Education, 1997) adalah :
- Hukum
kesiapan (law of readiness), hukum ini pada intinya menyatakan
bahwa belajar akan berhasil apabila peserta didik benar-benar telah siap
untuk belajar. Dengan perkataan lain, apabila suatu materi pelajaran
diajarkan kepada anak yang belum siap untuk mempelajari materi tersebut
maka tidak akan ada hasilnya.
- Hukum
latihan (law of exercise), yaitu apabila ikatan antara stimulus dan respon
lebih sering terjadi, maka ikatan itu akan terbentuk semakin kuat.
Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan dan
pengalaman yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara
stimulus dan respon yang terus-terus dilatihkan, maka ikatan
tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama
belajar adalah pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi
maka materi pelajaran tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan
(memori).
- Hukum
akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara
stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin
meningkat. Hal ini berarti, jika suatu respon yang diberikan
oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya,
maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Implikasi
Teori Throndike pada pembelajaran dikelas yang dikutip dari buku Psichology
of Learning adalah :
- Guru harus tahu, bahwa siswa lebih minat
belajar ketika mereka merasa berkebutuhan dan berkepentingan pada pelajaran
tersebut. maka guru harus memastikan bahwa kegiatan belajar tersebut penting
bagi siswa.
- Kesiapan merupakan prasyarat untuk belajar, karena itu guru
disarankan untuk mempertimbangkan kemampuan mental atau kognitif peserta didik
ketika merencanakan kurikulum atau isi instruksional.
- Guru harus menyadari fakta bahwa siswa ingin mengulangi tindakan
yang mereka terima sebagai hal positif. Oleh karena itu, guru harus selalu
menggunakan berbagai strategi motivasi untuk mempertahankan minat belajar siswa
di kelas.
- Guru harus selalu
meghadirkan bahan secara logis dan cara yang lebih koheren. Ini adalah cara
utama menangkap dan mempertahankan kepentingan peserta didik dalam kegiatan
pedagogis.
2. Teori
skinner
Teori pengkondisian operan. Untuk
memahami pengkondisian operan, kita perlu membedakan apa yang disebut
Skinner dengan perilaku respon dan perilaku operan. Perilaku respon
adalah respon langsung pada stimulus, seperti akomodasi biji mata sebagai
respon pada kilatan cahaya, hentakan kaki sebagai respon pada pukulan di
tempurung lutut. Sebaliknya, perilaku operan dikendalikan oleh akibat dari
perilaku respon. Bila akibat dari perilaku respon tersebut positif, maka kita
cenderung mengulangi perilaku tersebut, sebaliknya bila akibat dari perilaku
respon tersebut negatif, maka kita cenderung tidak mengulanginya. Jadi proses belajar dengan pengkondisian
operan adalah proses pengontrolan tingkah laku organisme melalui pemberian
reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif bebas.
Aplikasi Teori Skinner Terhadap Pembelajaran Matematika
Seorang siswa diberi soal matematika sederhana dan siswa dapat
menyelesaikannya sendiri. Guru memuji siswa karena telah berhasil menyelesaikan
soal tersebut. Dengan peristiwa ini siswa merasa yakin atas kemampuannya,
sehingga timbul respon mempelajari pelajaran berikutnya yang sesuai atau lanjutan apa yang dapat dia
selesaikan tadi. Selanjutnya dikatakan bahwa pada umumnya stimulus yang
demikian pada umumnya mendahului respon yang ditimbulkan. Belajar dengan respondent
conditioning ini hanya efektif jika suatu respon timbul karena kehadiran stimulus
tertentu.
3.
Teori Ausubel
Teori Belajar bermakna. Teori Belajar Bermakna Ausubel
sangat dekat dengan Konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya belajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem
pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi
pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa.
Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi
kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan
Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang
berada di tingkat pendidikan dasar, akan bermanfaat kalau mereka banyak
dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan
lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka,
menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep,
demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Aplikasi Teori Asubel Terhadap Pembelajaran Matematika
Dalam
pembelajaran matematika siswa akan lebih baik jika siswa tersebut dilibatkan
langsung dalam pembelajaran, terutama
mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar. Namun untuk siswa pada tingkat
pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu.
Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan,
peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
4.
Teori
Gagne
Sebagaimana
tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne berpendapat bahwa belajar
dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang paling besar
pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Lingkungan indiviu seseorang
meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai
lingkungan sosial. Berbagai lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang
akan dipelajari oleh seseorang dan selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa
ia nantinya.
Aplikasi Teori Gagne terhadap Pembelajaran Matematika
Karakteristik
materi matematika yang berjenjang (hirarkis) memerlukan cara belajar yang
berjenjang pula. Untuk memahami suatu konsep dan/atau rumus matematika yang
lebih tinggi, diperlukan pemahaman yang memadai terhadap konsep dan/atau rumus
yang ada di bawahnya, dalam hal ini guru sangat berperan dalam proses
pembelajaran.
5.
Teori Pavlov
Dapat dikatakan
bahwa pelopor teori coditioning adalah Ivan Petrovich Pavlov, seorang ahli
psikolog-refleksologi dari Rusia. Ia mengadakan percobaan-percobaan dengan
anjing.
Pavlov meneliti apakah bunyi bel
sebagai stimulus berkondisi dapat menimbulkan air liur sebagai respon
berkondisi pada anjing, dan hasilnya adalah :
a) Apabila
daging disajikan maka anjing mengeluarkan air liur (alami)
b) Apabila
bunyi bel disajikan secara bersamaan dengan daging maka air liur tidak keluar
c) Apabila
perlakuan pada poin b) dilakukan secara berulang-ulang maka air liur anjing
dapat keluar
d) Apabila
bunyi bel diganti dengan bunyi sirine maka anjing tetap mengeluarkan air liur
e) Apabila
bunyi bel disajikan sacara terus menerus tanpa diikuti oleh daging maka
lama-lama air liur tidak keluar hal ini disebut extinction (kepunahan)
f) Apabila
stimulus disajikan secara bervariasi yaitu dengan penguatan berupa lampu merah
disertai daging dan lampu hijau tidak disertai daging dan diberikan secara
berulang-ulang maka anjing akan mengeluarkan air liur ketika melihat lampu
merah walaupun tidak disertai daging karena sudah terbentuk respon berkondisi.
Kesimpulan penelitian Pavlov adalah bahwa dalam diri anjing akan terjadi
penglondisian selektif berdasar penguatan selektif artinya anjing dapat
membedakan stimulus yang disertai penguatan dan yang tidak disertai penguatan.
Teori Pavlov ini disebut Classical Conditioning.
Hukum-hukum dan Contoh Penerapan Teori Pavlov-
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
- Law of Respondent
Conditioning yakni hukum pembiasaan yang
dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah
satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya
akan meningkat.
- Law of Respondent
Extinction yakni hukum pemusnahan yang
dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka
kekuatannya akan menurun.
Aplikasi Teori Pavlov terhadap Pembelajaran Matematika
Saat
pembelajaran matematika berlangsung, ketika guru memberikan hadiah kepada siswa
(unconditioning stimulus), siswa secara otomatis akan senang/ bersemangat(unconditioning
respons) . Ketika guru memberikan tugas matematika kepada siswa, sebagian besar
siswa kurang bersemangat.
Akan
tetapi, saat itu guru menjanjikan akan member hadiah (Unconditioning Stimulus) kepada
siswa yang berhasil mengerjakan matematika dengan baik (Conditioning Stimulus),
sehingga siswa bersemangat mengerjakan tugas tersebut (Unconditioning
Respon). Setelah lama mengajar, guru itu tidak lagi memberikan hadiah kepada
siswa yang berhasil mengerjakan matematika dengan baik, akan tetapi, siswa
tetap bersemangat (Conditioning respons) mengerjakan dengan harapan akan
mendapat hadiah. Jika guru tidak lagi memberi hadiah, lama-kelamaan siswa tidak
lagi bersemangat mengerjakan matematika.
6.
Teori Bandura
Teori yang dikembangkan
oleh Albert Bandura adalah
Teori Berpikir
Sosial (social Learning Theory).
Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang
menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa. Teori belajar tentang teori berpikir sosial ini
dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang belajar dalam seting yang
alami/lingkungan sebenarnya.
Teori belajar sosial
Bandura menunjukkan pentingya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan
reaksi emosi orang lain. Teori ini menjelaskan perilaku manusia dalam, konteks
interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan
pengaruh lingkungan.
Faktor-faktor yang
berproses dalam belajar observasi adalah:
1.
Perhatian
(atensi), mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan,
tingkat kerumitan, kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamat
(kemampuan indra, minat, persepsi, penguatan sebelumnya). Dalam
proses ini, Individu yang belajar melalui modeling dituntut untuk memperhatikan
dan mempersepsi perilaku model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar itu
ditentukan oleh karakteristik model maupun karakteristik pengamat itu sendiri.
Karakteristik model yang merupakan variabel penentu tingkat perhatian itu
mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya tarik personalnya, dan
nilai fungsional perilaku model itu. Karakteristik pengamat yang penting untuk
proses perhatian adalah kapasitas sensorisnya, tingkat ketertarikannya, kebiasaan
persepsinya, dan reinforcement masa lalunya.
2.
Penyimpanan
atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik, pengorganisasian
pikiran, pengulangan simbol, pengulangan motorik. Agar
proses ini berjalan efektif, maka modelling harus disimpan dalam ingatan.
Menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan peristiwa model ke dalam
simbol‑simbol verbal yang mudah dipergunakan merupakan cara-cara yang bisa
digunakan dalam proses retensi. Materi yang bermakna bagi pengamat dan menambah
pengalaman sebelumnya akan lebih mudah diingat. membayangkan perilaku model
atau dengan mempraktekkannya merupakan cara lain untuk mengingat dalam tahapan
ini. Keterampilan dan struktur kognitif pengamat dapat memperkuat retensi.
Motivasi untuk belajar juga berperan dalam retensi, meskipun insentif lebih
bersifat fasilitatif daripada keharusan.
3.
Reproduksi
motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik. Pada
tahap tertentu, gambaran simbolik tentang perilaku model mungkin perlu
diterjemahkan ke dalam tindakan yang efektif. Pengamat memerlukan gambaran
kognitif yang akurat mengenai perilaku model untuk dibandingkan dengan umpan
balik sensoris dari perbuatannya. Modelling korektif merupakan cara yang
efektif untuk memberikan umpan balik bila pengamat melakukan kinerja yang tidak
tepat.Variabel pengamat yang mempengaruhi reproduksi perilaku mencakup
kapasitas fisiknya, apakah perbendaharaan responnya sudah mencakup komponen‑komponen
respon yang diperlukan, dan kemampuannya untuk melakukan penyesuaian korektif
bila mencobakan perilaku baru.
4.
Motivasi,
mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Motivasi
merupakan hal penting yang mendukung operasionalisasi individu untuk apa yang
telah dipelajarinya. Bila individu tersebut memiliki motivasi yang besar maka
besar kemungkinan ia mempraktekan apa yang telah ia pelajari, begitupula
sebaliknya.
Aplikasi Teori Bandura Terhadap Pembelajaran Matematika
Dalam proses pembelajaran menurut teori sosial Albert Bandura,
seorang guru harus dapat menghadirkan model yang baik. Model yang baik harus
dapat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar sehingga dapat memberi
perhatian kepada si pembelajar. Model disini tidak harus dari guru, namun
tergantung apa yang akan diajarkan. Teori sosial belajar ini cocok untuk
mengajarkan materi yang berupa aspek psikomotorik dan afektif, karena
pembelajar langsung dapat memperhatikan, mengingat dan meniru dari model yang
dihadirkan.
Namun
dalam belajar matematika yang diajarkan adalah berupa konsep sehingga guru
harus dapat menghadirkan model yang menarik perhatian dan dapat mudah diingat
oleh si pembelajar. Penulis berusaha memberi suatu contoh dalam pembelajarn
matematika. Misalnya seorang guru akan mengajarkan bagaimana menemukan volume
dari balok. Disini dihadirkan/disediakan balok dan kubus yang berukuran 1
satuan kubik sebagai model. Dengan dipraktekkan oleh guru dan ditirukan oleh
siswa guru memperagakan bagaimana menentukan volume balok kemudian menentukan
rumus volume balok. Dengan demikian diharapkan siswa dapat memperhatikan model
dan menirukan bagaimana menentukan rumus volume balok, dan pembelajar harus
mengingatnya. Selanjutnya pembelajar dituntut untuk dapat mampu meniru
pemodelan tersebut. Beberapa proses ini akan lebih berhasil jika ada motivasi
yang kuat dari pembelajar untuk mempelajarinya.
Sumber
mohammadarief1.blogspot.com/2014/02/psikologi-pembelajaran-matematika.html
http://www.ilmupendidik.com/2014/10/hukum-hukum-dalam-teori-pavlov.html
http://lasminsmansarbg.blogspot.co.id/2012/07/teori-belajar-bandura.html