Ada
tiga aliran yang digunakan sebagai acuan berpikir, yaitu: logicism,
formalisme dan
Intuisionisme. Aliran
pemikiran ini tidak
sepenuhnya dikembangkan sampai abad kedua puluh, tapi Korner (1960) menunjukkan bahwa akar filosofis
mereka dapat ditelusuri kembali setidaknya sejauh Leibniz dan Kant.
Logisme
memandang bahwa Matematika sebagai bagian dari logika. Pernyataan ini
dikemukakan oleh G. Leibniz. Dua pernyataan penting yang dikemukakan di dalam
aliran ini, yaitu:
a. Semua konsep matematika secara mutlak dapat
disederhanakan pada konsep logika
b. Semua kebenaran matematika dapat dibuktikan
dari aksioma dan aturan melalui penarikan kesimpulan secara logika semata.
Tujuan
dari tuntutan ini jelas. Jika semua matematika dapat diekspresikan dalam
teorema logika murni dan dibuktikan dari prinsip-prinsip logika sendiri,
kemudian kepastian dari ilmu matematika dapat dikurangi untuk dan dari logika
itu. Logika disadari untuk menyediakan sebuah dasar yang pasti atas kebenaran,
sebagian dari ambisi yang berlebihan mencoba untuk menyampaikan logika, seperti
hukum Frege yang kelima. Dengan demikian jika membantu, program logika akan
menyediakan dasar logika yang pasti untuk pengetahuan matematika, melahirkan
kembali kepastian yang mutlak dalam matematika.
Whitehead
dan Russel (1910-13) mampu membangun yang pertama dari dua tuntutan melalui
arti dari defenisi berantai. Bagaimanapun logika dibangun pada tuntutan yang
kedua. Matematika meminta aksioma non logika seperti aksioma tidak terbatas
(himpunan semua bilangan asli adalah tidak terbatas). Dan aksioma pilihan(hasil
cartesian dari himpunan kosong adalah himpunan kosong itu sendiri). Russel
mengekspresikannya pada dirinya sendiri sebagai pengikut.
Tetapi
walaupun semua dalil logika (atau matematika) dapat diekspresikan
seluruhnya dalam teorema dari logika konstanta bersama dengan variable, itu
bukanlah masalah bahwa, sebaliknya, semua dalil itu dapat diekspresikan dalam
cara logika ini. kita telah menemukan sejauh kepentingan tetapi bukan sebuah
standar yang perlu dari dalil matematika. Kita perlu menentukan karakter dari
ide kuno dalam teorema yang mana semua ide dalam matematika dapat ditentukan.
Tetapi bukanlah dalil kuno dari semua dalil dalam matematika dapat dibuktikan
secara deduktif. Ini adalah sebuah masalah yang lebih sulit, yang mana belum
diketahui apa jawaban seutuhnya.
Kita
boleh mengambil aksioma dari jumlah tak berakhir sebagai sebuah contoh dari
dalil yang, mengira itu dapat disebut dalam teorema logika. Tidak dapat
dinyatakan oleh logika untuk menjadi benar.
Dengan
demikian, tidak semua teorema dalam matematika dan karenanya tidak semua
kebenaran dalam matematika dapat diperolah dari aksioma logika sendiri. Ini
berarti bahwa aksioma matematika tidaklah menghapuskan rasa dari logika itu.
Teorema matematika tergantung pada sebuah himpunan anggapan matematika yang
tidak dapat dibagi lagi.tentu saja, sejumlah aksioma matematika yang penting
berdiri sendiri, dan juga mereka atau ingkaran mereka dapat diadopsi tanpa
ketidakkonsistenan (Cohen, 1966). Dengan demikian tuntutan yang kedua ditolak.
Untuk
mengatasi masalah ini, Russel mundur untuk sebuah versi pelemah dari logistic
disebut “jika ketuhanan” yang mana tuntutan itu matematika murni menghadirkan
pernyataan implikasi dari bentuk “A → T”. Menurut pandangan ini,
sebelumnya kebenaran matematika dibangun sebagai teorema dengan pembuktian
logika. Masing – masing teorema ini (T) menjadi konsekwen dalam pernyataan
implikasi. Konjungsi dari aksioma matematika (A) digunakan dalam bukti
tergabung dalam pernyataan implikasi sebagai antiseden (dalam Carnap, 1931).
Jadi, semua asumsi matematika (A) yang mana tergantung pada teorema sekarang
digabungkan ke dalam bentuk teorema yang baru (AT), menghindarkan kebutuhan
untuk aksioma matematika.
Banyak
manipulasi untuk sebuah pengakuan bahwa matematika adalah sistem hipotesis
deduktif, dimana konsekwensi dari himpunan asumsi aksioma di eksplorasi, tanpa
menegaskan kebenaran yang diperlukan dalam matematika.
Sayangnya,
perangkat ini juga mengarah pada kegagalan, karena tidak semua kebenaran
matematika, seperti aritmatika Peano konsisten dapat dinyatakan sebagai
pernyataan implikasi seperti pendapat Marchover (1983).
Keberatan
yang kedua, yang terlepas dari validitas dari dua tuntutan logicit, yang
merupakan alasan utama untuk menolak formalisme. Ini adalah teorema
ketidaklengkapan Godel, yang menetapkan bahwa pembuktian deduktif cukup untuk
menunjukkan semua kebeanaran matematika. Oleh karena itu pengurangan kesuksesan
dari aksioma matematika untuk logika masih tidak akan cukup untuk derivasi dari
semua kebenaran matematika.
Keberatan
yang ketiga yang mungkin menyangkut kepastian dan keandalan yang mendasari
logika. Hal ini tergantung pada keterujian dan pendapat, asumsi yang
dibenarkan. Dengan demikian program logika mengurangi kepastian pengetahuan
matematika untuk itu logika gagal dalam prinsip. Logika tidak menyediakan dasar
yang pasti untuk pengetahuan matematika.
Dalam
istilah populer, formalisme merupakan pandangan bahwa sebuah permainan formal
yang tidak berarti yang dimainkan dengan tanda-tanda diatas kertas, mengikuti
aturan-aturan.
Jejak
filsafat dari formalis matematika dapat ditemukan dalam tulisan – tulisan Uskup
Berkeley, tetapi pendukung utama formalisme adalah David Hilbert (1925),
awalnya J. Von Neumann (1931) dan H. Curry (1951). Program formalis Hilbert
bertujuan untuk menerjemahkan matematika kedalam sistem tafsiran formal. Dengan
arti yang terbatas tetapi bermakna sistem formal metamatematika terbukti memadai untuk
matematika, dengan menurunkan keformalan dari semua kebenaran matematika, dan
aman untuk matematika melalui bukti yang konsisten.
Menurut
Ernest (1991) formalis memiliki dua tesis, yaitu:
1. Matematika
dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan
sembarangan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal.
2. Keamanan dari sistem formal ini dapat
didemostrasikan dengan terbebasnya dari ketidak konsistenan.
Kekuranglengkapan
teorema Kurt Godel (Godel, 1931) menunjukkan bahwa program tidak bisa dipenuhi.
Teorema yang pertama menunjukkan bahwa tidak semua kebenaran aritmatika dapat
diturunkan dari aksioma Peano ( atau beberapa himpunan aksioma yang lebih
rekursif luas).
Hasil
pembuktian-teori ini sejak itu sudah dicontohkan dalam matematika oleh Paris
dan Harrington, yang merupakan teorema versi Ramsey benar tetapi tidak dapat
dibuktikan dalam aritmatika Peano (Barwise, 1977). Ketidaklengkapan teorema
yang kedua menunjukkan bahwa dalam kasus konsistensi yang diinginkan
membuktikan sebuah meta-matematika lebih kuat daripada sistem yang akan dijaga,
yang mana jadinya tidak terjaga samasekali. Misalnya, untuk membuktikan
konsistensi aritmatika Peano mengharuskan semua aksioma sistem itu dan
selanjutnya asumsi, seperti sistem induksi transfinite atas nomor urutan hitung
(Gentzen, 1936)
Program
formalis, seandainya berhasil, akan memberikan dukungan untuk sebuah pandangan
kebenaran absolut matematika. Untuk bukti formal berbasis dalam konsistensi
sistem matematika formalakan memberikan ujian untuk kebenaran matematika.
Namun, dapat dilihat bahwa dalam kedua tuntutan formalisme telah
disangkal. Tidak semua kebenaran matematika dapat dipresentasikan sebagai
teorema dalam sistem formal, dan selanjtunya sistem itu sendiri tidak dapat
dijamin kebenarannya.
Intuisionisme
seperti L.E.J. Brouwer (1882-1966), berpendapat bahwa matematika suatu kreasi
akal budi manusia. Bilangan, seperti cerita bohong adalah hanya entitas mental,
tidak akan ada apabila tidak ada akal budi manusia memikirkannya. Selanjutnya
intuisionis menyatakan bahwa obyek segala sesuatu termasuk matematika,
keberadaannya hanya terdapat pada pikiran kita, sedangkan secara eksternal
dianggap tidak ada.
Kebenaran
pernyataan p tidak diperoleh melalui kaitan dengan obyek realitas, oleh
karena itu intusionisme tidak menerima kebenaran logika bahwa yang benar itu p
atau bukan p (Anglin, 1994). Intuisionisme mengaku memberikan suatu
dasar untuk kebenaran matematika menurut versinya, dengan menurunkannya (secara
mental) dari aksima-aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan
metode yang aman dalam pembuktian. Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang
eksklusifpada keyakinan yang subyektif. Tetapi kebenaran absolut (yang diakui
diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan pada padangan yang subyektif
semata (Ernest, 1991).
Ada
berbagai macam keberatan terhadap intusionisme, antara lain;
(1) intusionisme tidak dapat mempertanggung
jawabkan bahwa obyek matematika bebas, jika tidak ada manusia apakah 2 + 2
masih tetap 4;
(2) matematisi intusionisme adalah manusi timpang
yang buruk dengan menolak hukum logika p atau bukan p dan mengingkari
ketakhinggaan, bahwa mereka hanya memiliki sedikit pecahan pada matematika masa
kini. Intusionisme, menjawab keberata tersebut seperti berikut; tidak ada dapat
diperbuat untuk manusia untuk mencoba membayangkansuatu dunia tanpa manusia;
(3) Lebih baik memiliki sejumlah sejumlah kecil
matematika yang kokoh dan ajeg dari pada memiliki sejumlah besar matematika
yang kebanyakan omong kosong (Anglin, 1994).
Sumber : http://devisutinimartha12.blogspot.co.id/2016/10/filsafat-matematika-dan-hakekat.html
Sumber : http://devisutinimartha12.blogspot.co.id/2016/10/filsafat-matematika-dan-hakekat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar