Keyakinan kepada adanya Tuhan harus
didasarkan atas kesadaran akal, bukan sekedar kesadaran yang bersifat
tradisional yakni melestarikan warisan nenek moyang betapapun corak dan
konsepnya (Ahmad Azhar Basyir, 1993:13).
Akal adalah potensi (luar biasa) yang
dianugrahkan Allah kepada manusia, karena dengan akalnya manusia memperoleh
pengetahuan tentang berbagai hal. Dengan akalnya manusia dapat membedakan mana
yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang buruk, mana yang
menyelamatkan mana yang menyesatkan, mengetahui rahasia hidup dan kehidupan dan
seterusnya.
Oleh karena itu adalah pada tempatnya
kalau agama dan ajaran Islam sebaik-baiknya dan seluas-luasnya. Sangat banyak ayat Al-Qur‟an yang memerintahkan manusia
menggunakan akalnya untuk berfikir. Memikirkan alam semesta, memikirkan diri
sendiri, memikirkan pranata atau lembaga-lembaga sosial, dan sebagainya, dengan
tujuan agar perjalanan hidup di dunia dapat ditempuh setepat-tepatnya sesuai dengan
kedudukan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang akan kembali kepada-Nya
serta memetik hasil tanaman amal perbuatannya sendiri di dunia baik sebagai
abdi maupun sebagai khalifah-nya di bumi.
Beberapa contoh ayat Al-Qur‟an yang
memerintahkan manusia berfikir tentang alam, diri sendiri, umat terdahulu dan
pranata (lembaga) sosial, dikemukakan berikut ini. Artinya :“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali-Imran : 190).
Dalam surat Ar-Rum (30) kalimat pertama ayat 8, Allah bertanya. Artinya :”Dan Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya” (Q.S. Ar-Rum :8).
Dalam surat Ar-Rum (30) kalimat pertama ayat 8, Allah bertanya. Artinya :”Dan Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya” (Q.S. Ar-Rum :8).
Dalam surat Al-Mu‟min (40) kalimat
pertama ayat 21 Allah bertanya kepada manusia yang hidup sekarang tentang nasib
mereka yang hidup dahulu. Artinya : “Dan apakah mereka tidak mengadakan
perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang
sebelum mereka. mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan
(lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi[1319], Maka Allah mengazab
mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan mereka tidak mempunyai seorang
pelindung dari azab Allah” (Q.S. Al-Mu‟min :21). [1319] Maksudnya: bangunan,
alat perlengkapan, benteng-benteng dan istana-istana. Artinya: “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S. Ar-Rum
:21).
Akal yang diberi tempat demikian
tinggi di dalam agama Islam, mendorong kaum muslimin mempergunakannya untuk
memahami ajaran-ajaran Islam dengan penalaran rasional, sejauh ajaran itu
menjadi wewenang akal untuk memikirkannya. Oleh karena itu sesungguhnya, pada
hakikatnya umat Islam telah berfilsafat sejak mereka menggunakan penalaran
rasional dalam memahami agama dan ajaran Islam. Penalaran rasional dalam
memahami ajaran Islam adalah mempergunakan akal pikiran (ra‟yu) untuk
berijjtihad sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang Mu‟az bin Jabal, (Ahmad
Azhar Basyit, 1993 : 18-19).
Sebagai ilmu dan bidang studi,
filsafat Islam muncul bersamaan dengan munculnya filsuf yang muncul pertama,
Al-Kindi pada pertengahan abad IX M. atau bagian pertama abad III H, setelah
berlangsung gerakan penterjemahan buku ilmu dan filsafat Yunani ke dalam bahasa
Arab lebih dari setengah abad di bagdad. Oleh karena dapat dipahami kalau ada
ulama yang menganggap filsafat hanyalah hasil pemikiran berdasarkan akal
manusia semata, seperti filsafat Yunani yang diterjemahkan itu. Anggapan
demikian tidak benar, sebab para filsuf muslim yang sama seperti para ulama
lainnya juga, mendasarkan pemikirannya pada Al-Qur‟an dan Al-Hadits dan
memandang Al-Qur‟an dan Al-Hadits di atas segala kebenaran yang didasarkan pada
akal manusia semata. Mereka tertarik kepada filsafat karena berpikir atau berfilsafat
merupakan tuntutan agama dalam rangka mencari kebenaran dan mengamalkan
kebenaran itu. Yang mereka pergunakan sebagai saringan (filter) adalah ajaran
Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Dengan mempergunakan Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagai
dasar dan bingkai pemikiran dapatlah disebut bahwa hasil pemikiran mereka
adalah filsafat Islam atau filsafat dalam Islam (Ensiklopedia Islam Indonesia,
192:232). Filsafat Islam juga membicarakan masalah-masalah besar filsafat,
seperti soal wujud, soal esa dan berbilang, yang banyak dari yang Maha Satu (di
bawah), teori mengenal kebahagiaan dan keutamaan, hubungan manusia dengan Tuhan
dan sebaliknya. Selain itu filsafat Islam mencakup juga tentang kedokteran,
hukum, ekonomi dan sebagainya. Juga memasuki lapangan ilmu-ilmu ke-Islaman lain
seperti ilmu kalam, ilmu fikih serta ilmu tasawuf (juga ilmu akhlak) terdapat
uraian yang logis dan sistematis yang mengandung pemikiran-pemikiran filosofos
(kefilsafatan). Banyak persoalan-persoalan yang dibahas dalam filsafat Islam.
Di antaranya yang penting dalam kajian ini adalah persoalan (hubungan) akal dan
wahyu atau hubungan filsafat dengan agama, soal timbulnya yang banyak dariyang
maha satu yaitu kejadian alam, soal ruh, soal kelanjutan hidup setelah ruh
berpisah dengan badan atau mati (Ensiklopedia Islam jilid II, 1993 : 16-17).
Filsafat Islam mencapai puncaknya di
zaman Al-Farabi dan Ibnu Sina pada abad XI dan XII M atau abad IV dan V H.
Kedua tokoh ini merupakan bintang paling bercahaya dalam sejarah filsafat
Islam, sedang yang lain, sebutlah misalnya Ibnu Maskawih, Ibnu Tufail, Ibnu
Rusyd, juga bintang-bintang filsafat Islam, tetapi cahaya mereka tidaklah secemerlang
cahaya Al Farabi dan Ibnu Sina tersebut di atas. Setelah ada pertentangan di
antara para ahli atau ulama mengenai kefilsafatan seperti yang telah disinggung
di atas yang berpuncak pada polemik antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali sekitar
abad XII M, perhatian orang kepada filsafat menjadi berkurang di kalangan
Sunni. Perhatian itu baru bangkit dan berkembang kembali pada satu abad
terakhir ini (abad XX M). di kalangan Syi‟ah perhatian kepada filsafat (Islam)
tidak pernah berkurang di kalangan Sunni, kalangan Syi‟ah mampu melahirkan
filsuf-filsuf besar, seperti Mulla Sadra (w. 1640M atau 1050H).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar