Dua tahun terakhir ini, dunia digentarkan oleh wabah penyakit yang mematikan.
Dua tahun lalu, manusia dihadang oleh penyakit menular yang disebut
SARS, satu virus yang menyerang paru-paru dan mempersulit pernapasan.
Tahun lalu dan masih sampai sekarang, wabah Flu Burung merebak
di seantero dunia termasuk Indonesia. Sudah ada korban manusia karenanya.
Begitu juga wabah yang sedang melanda wilayah kita, yaitu DBD
alias Demam Berdarah. Menurut laporan Malang Post Senin 8 Maret 2004,
jumlah korban DBD di Kabupaten Malang melonjak, dan kini tercatat sebanyak
143 orang, sementara di Jakarta sendiri pada waktu yang sama ini,
jumlah korban sudah mencapai 1400 orang. Kebanyakan anak-anak menjadi
mangsa dari wabah yang ganas ini.
Kita beralih ke fenomen lain, yaitu bencana alam. Kita tidak perlu membuat
laporan rinci. Manusia menjadi korban banjir bandang di beberapa
tempat di Pulau Jawa, juga korban gempa bumi seperti yang terjadi
di Iran, Alor dan Nabire di tanah air, dan yang paling aktual korban gempa
bumi teriring gelombang tsunami yang menghempas wilayah-wilayah Asia
tenggara dan selatan seperti Sri Langka, India Timur, Indonesia, Maladewa,
Bangladesh, Malaysia dan Thailand, dan memporak-porandakan
apa saja yang diterjangnya. Bencana itu terjadi pada pagi hari tanggal
26 Desember 2004, dan sampai berita ini tercatat bencana itu telah memakan
korban sekitar 23.200 orang tewas menurut Kompas 28 Desember,
2004, sementara belum diketahui berapa banyak orang yang masih
hilang serta berapa kerugian material yang diderita manusia. Dalam siaran
khusus Metro TV pada hari Senin 27 Desember 2004, Pk. 14.20 ditayangkan
mayat-mayat berserakan dan bergelimpangan. Sementara itu, seorang
ibu muda menggendong anaknya yang sudah menjadi mayat. Sang ibu
meronta-ronta menangis dan tampak tidak bisa menerima kenyataan kematian
sang anak yang berusia sekitar dua tahun itu. Betapa kejamnya bencana
itu!
Dari bencana penyakit dan bencana alam, kita memalingkan perhatian ke
bencana yang berasal dari ulah perbuatan jahat manusia sendiri. Di dalam
Kompas pernah dilukiskan tentang seorang guru Madura yang sudah bekerja
lama di Sampit. Ketika pembantaian merebak, dia meloloskan diri. Tetapi
rumahnya habis terbakar, dan beberapa keluarganya dibunuh. Dia berada
seorang diri, dan ketika dia didekati wartawan, dia menangis tersedu-sedu
sambil berkata: “Apa salahku ... Saya telah mendidik orang-orang setempat
sekian lama, bahkan satu dari mereka telah menjadi sarjana ...
tapi rumahku dibakar, harta milikku tiada yang tertinggal ... keluargaku dibunuh
... apa salahku.“ Di dalam situasi ini sang guru tidak menemukan jawaban
yang tepat dan juga tidak memperoleh pemecahan yang jitu mengapa
dia harus menderita.
Ketiga contoh bencana yang dilukiskan di atas merupakan bagian kecil dari
sekian banyak bencana yang terjadi di atas muka bumi ini. Baik bencana alam,
bencana penyakit maupun bencana yang berasal dari perbuatan jahat manusia
sudah terjadi, kini sedang terjadi dan bakal terjadi. Ada perulangan terus
menerus peristiwa bencana dalam bentuknya yang berbeda. Penyakit baru
bermunculan, bencana alam tidak bosan berhenti dan kejahatan manusia
tetap ada. Para cendekiawan, khususnya para filsuf coba mengkategorikannya. Bencana
yang berasal dari kekuatan alam dikategorikan sebagai kejahatan
fisis (malum physicum), sementara bencana yang berasal
dari ulah jahat manusia disebutnya kejahatan moral (malum
morale). Ada lagi yang mempersoalkan apakah bencana-bencana seperti
itu berasal dari satu realitas kejahatan yang sungguh ada dan yang memanifestasikan
diri ke dalam bencana-bencana konkrit. Pertanyaan filosofisnya:
“Apakah ada kejahatan metaphyisis (malum metaphysicum) yang
menjadi dasar bagi kedua jenis kejahatan tersebut“?
Ketika manusia berhadapan dengan bencana-bencana itu, ia berusaha untuk
menafsirkan fenomen itu dan berusaha untuk menanganinya. Tetapi sebelum
manusia berusaha untuk menafsirkan dan menangani bencana-bencana yang
menimpanya, ada satu kenyataan yang tidak bisa diragukan. Kenyataan
itu ialah kekuatan-kekuatan kosmis yang bersifat kodrati dan hukum
alam yang melekat dalam kodrat itu sendiri.2 Semua
bencana, termasuk bencana yang diciptakan manusia sendiri seperti kasus pembantaian
yang dilukiskan sebelumnya, merupakan manifestasi dari kekuatan
alam yang mengikuti hukum-hukumnya tanpa memperhitungkan apakah
manusia mau atau tidak untuk menghadapinya. Bila sebuah batu dibuang
ke atas ke arah langit, batu itu harus turun jatuh ke bumi. Itu hukum alamnya.
Begitu juga, bila terjadi banjir besar, maka batu-batu dari atas bukit
turut terhanyut dan pohon-pohon sekitar tercabut dari akarnya. Rumah-rumah
dan manusia yang ada di dekat jalur banjir dengan sendirinya
terhanyut. Kodrat banjir adalah menyapu rata apa saja yang dilewatinya.
Kodrat api adalah panas dan menghanguskan. Jika sebuah rumah
terbakar hangus, maka penghuni yang masih berada di dalam rumah itu
terbakar hangus juga. Kobaran api tidak lebih dahulu bertanya kepada manusia
yang berada dalam rumah apakah dia mau dibakar hangus atau tidak.
Lalu, bagaimana dengan bencana yang berasal dari perbuatan jahat manusia?
Apakah perbuatan jahat manusia mewujudkan kekuatan alam? Jawabannya
ialah ya. Manusia mewujudkan kekuatan alam yang dimilikinya.
Satu fakta yang tidak diragukan ialah bahwa hidup manusia merupakan
bagian dari alam. Itu berarti bahwa hidupnya juga mengikuti hukum
alam dan memiliki kekuatan kodrati yang bisa membinasakan manusia
lain. Bila dia menggunakan parang untuk memotong leher sesamanya,
maka dia menggunakan kekuatan kodratinya sendiri dan kekuatan
kodrat parang untuk membunuh sesamanya. Dengan tangannya dia
memegang parang dan mengayunkannya, sementara parang dari kodratnya
bisa membuat leher binatang atau manusia terputus ketika dihunuskan
ke arahnya. Kematian binatang yang terbunuh dengan parang tidak beda
dengan kematian manusia yang terbunuh dengan parang.
Dengan demikian, kita melihat bahwa kekuatan alam dan hukum kodrat
bekerja menurut hukumnya tanpa bertanya tentang apakah konsekuensi
yang diakibatkan oleh kekuatan itu baik atau buruk. Kerjanya kekuatan-kekuatan
alam itu pada kodratnya sama sekali tidak berkaitan dengan
soal moral. Mereka bekerja dan berfungsi menurut hukum-hukum alam.
Maka pertanyaan tentang tema kita: Bencana, kesalahan manusia atau
rencana Allah, menjadi tidak relevan. Pertanyaan ini hanyalah urusan manusia
untuk merefleksikan bencana yang menimpanya. Bencana sebagai bencana
tidak tunduk pada kehendak dan pertimbangan manusia. Memandang
bencana atas cara ini justru membantu manusia untuk menggali
pengetahuan tentang alam, kekuatan alam dan hukum-hukum alam
(ilmu pengetahuan), dan pada gilirannya untuk membuat eksperimen dan
menggalakkan usaha-usaha nyata lain untuk menangani bencana. Tidaklah
dibutuhkan lagi soal-jawab tentang kekuatan adikodrati yang turut
campur tangan di dalam proses kerja alam.
Sumber: Donatus Sermada Kelen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar