Minggu, 04 Desember 2016

Kekuatan Kosmis dan Hukum Alam



Dua tahun terakhir ini, dunia digentarkan oleh wabah penyakit yang mematikan. Dua tahun lalu, manusia dihadang oleh penyakit menular yang disebut SARS, satu virus yang menyerang paru-paru dan mempersulit pernapasan. Tahun lalu dan masih sampai sekarang, wabah Flu Burung merebak di seantero dunia termasuk Indonesia. Sudah ada korban manusia karenanya. Begitu juga wabah yang sedang melanda wilayah kita, yaitu DBD alias Demam Berdarah. Menurut laporan Malang Post Senin 8 Maret 2004, jumlah korban DBD di Kabupaten Malang melonjak, dan kini tercatat sebanyak 143 orang, sementara di Jakarta sendiri pada waktu yang sama ini, jumlah korban sudah mencapai 1400 orang. Kebanyakan anak-anak menjadi mangsa dari wabah yang ganas ini.
Kita beralih ke fenomen lain, yaitu bencana alam. Kita tidak perlu membuat laporan rinci. Manusia menjadi korban banjir bandang di beberapa tempat di Pulau Jawa, juga korban gempa bumi seperti yang terjadi di Iran, Alor dan Nabire di tanah air, dan yang paling aktual korban gempa bumi teriring gelombang tsunami yang menghempas wilayah-wilayah Asia tenggara dan selatan seperti Sri Langka, India Timur, Indonesia, Maladewa, Bangladesh, Malaysia dan Thailand, dan memporak-porandakan apa saja yang diterjangnya. Bencana itu terjadi pada pagi hari tanggal 26 Desember 2004, dan sampai berita ini tercatat bencana itu telah memakan korban sekitar 23.200 orang tewas menurut Kompas 28 Desember, 2004, sementara belum diketahui berapa banyak orang yang masih hilang serta berapa kerugian material yang diderita manusia. Dalam siaran khusus Metro TV pada hari Senin 27 Desember 2004, Pk. 14.20 ditayangkan mayat-mayat berserakan dan bergelimpangan. Sementara itu, seorang ibu muda menggendong anaknya yang sudah menjadi mayat. Sang ibu meronta-ronta menangis dan tampak tidak bisa menerima kenyataan kematian sang anak yang berusia sekitar dua tahun itu. Betapa kejamnya bencana itu!
Dari bencana penyakit dan bencana alam, kita memalingkan perhatian ke bencana yang berasal dari ulah perbuatan jahat manusia sendiri. Di dalam Kompas pernah dilukiskan tentang seorang guru Madura yang sudah bekerja lama di Sampit. Ketika pembantaian merebak, dia meloloskan diri. Tetapi rumahnya habis terbakar, dan beberapa keluarganya dibunuh. Dia berada seorang diri, dan ketika dia didekati wartawan, dia menangis tersedu-sedu sambil berkata: “Apa salahku ... Saya telah mendidik orang-orang setempat sekian lama, bahkan satu dari mereka telah menjadi sarjana ... tapi rumahku dibakar, harta milikku tiada yang tertinggal ... keluargaku dibunuh ... apa salahku.“ Di dalam situasi ini sang guru tidak menemukan jawaban yang tepat dan juga tidak memperoleh pemecahan yang jitu mengapa dia harus menderita.
Ketiga contoh bencana yang dilukiskan di atas merupakan bagian kecil dari sekian banyak bencana yang terjadi di atas muka bumi ini. Baik bencana alam, bencana penyakit maupun bencana yang berasal dari perbuatan jahat manusia sudah terjadi, kini sedang terjadi dan bakal terjadi. Ada perulangan terus menerus peristiwa bencana dalam bentuknya yang berbeda. Penyakit baru bermunculan, bencana alam tidak bosan berhenti dan kejahatan manusia tetap ada. Para cendekiawan, khususnya para filsuf coba mengkategorikannya. Bencana yang berasal dari kekuatan alam dikategorikan sebagai kejahatan fisis (malum physicum), sementara bencana yang berasal dari ulah jahat manusia disebutnya kejahatan moral (malum morale). Ada lagi yang mempersoalkan apakah bencana-bencana seperti itu berasal dari satu realitas kejahatan yang sungguh ada dan yang memanifestasikan diri ke dalam bencana-bencana konkrit. Pertanyaan filosofisnya: “Apakah ada kejahatan metaphyisis (malum metaphysicum) yang menjadi dasar bagi kedua jenis kejahatan tersebut“?
Ketika manusia berhadapan dengan bencana-bencana itu, ia berusaha untuk menafsirkan fenomen itu dan berusaha untuk menanganinya. Tetapi sebelum manusia berusaha untuk menafsirkan dan menangani bencana-bencana yang menimpanya, ada satu kenyataan yang tidak bisa diragukan. Kenyataan itu ialah kekuatan-kekuatan kosmis yang bersifat kodrati dan hukum alam yang melekat dalam kodrat itu sendiri.2 Semua bencana, termasuk bencana yang diciptakan manusia sendiri seperti kasus pembantaian yang dilukiskan sebelumnya, merupakan manifestasi dari kekuatan alam yang mengikuti hukum-hukumnya tanpa memperhitungkan apakah manusia mau atau tidak untuk menghadapinya. Bila sebuah batu dibuang ke atas ke arah langit, batu itu harus turun jatuh ke bumi. Itu hukum alamnya. Begitu juga, bila terjadi banjir besar, maka batu-batu dari atas bukit turut terhanyut dan pohon-pohon sekitar tercabut dari akarnya. Rumah-rumah dan manusia yang ada di dekat jalur banjir dengan sendirinya terhanyut. Kodrat banjir adalah menyapu rata apa saja yang dilewatinya. Kodrat api adalah panas dan menghanguskan. Jika sebuah rumah terbakar hangus, maka penghuni yang masih berada di dalam rumah itu terbakar hangus juga. Kobaran api tidak lebih dahulu bertanya kepada manusia yang berada dalam rumah apakah dia mau dibakar hangus atau tidak.
Lalu, bagaimana dengan bencana yang berasal dari perbuatan jahat manusia? Apakah perbuatan jahat manusia mewujudkan kekuatan alam? Jawabannya ialah ya. Manusia mewujudkan kekuatan alam yang dimilikinya. Satu fakta yang tidak diragukan ialah bahwa hidup manusia merupakan bagian dari alam. Itu berarti bahwa hidupnya juga mengikuti hukum alam dan memiliki kekuatan kodrati yang bisa membinasakan manusia lain. Bila dia menggunakan parang untuk memotong leher sesamanya, maka dia menggunakan kekuatan kodratinya sendiri dan kekuatan kodrat parang untuk membunuh sesamanya. Dengan tangannya dia memegang parang dan mengayunkannya, sementara parang dari kodratnya bisa membuat leher binatang atau manusia terputus ketika dihunuskan ke arahnya. Kematian binatang yang terbunuh dengan parang tidak beda dengan kematian manusia yang terbunuh dengan parang.
Dengan demikian, kita melihat bahwa kekuatan alam dan hukum kodrat bekerja menurut hukumnya tanpa bertanya tentang apakah konsekuensi yang diakibatkan oleh kekuatan itu baik atau buruk. Kerjanya kekuatan-kekuatan alam itu pada kodratnya sama sekali tidak berkaitan dengan soal moral. Mereka bekerja dan berfungsi menurut hukum-hukum alam. Maka pertanyaan tentang tema kita: Bencana, kesalahan manusia atau rencana Allah, menjadi tidak relevan. Pertanyaan ini hanyalah urusan manusia untuk merefleksikan bencana yang menimpanya. Bencana sebagai bencana tidak tunduk pada kehendak dan pertimbangan manusia. Memandang bencana atas cara ini justru membantu manusia untuk menggali pengetahuan tentang alam, kekuatan alam dan hukum-hukum alam (ilmu pengetahuan), dan pada gilirannya untuk membuat eksperimen dan menggalakkan usaha-usaha nyata lain untuk menangani bencana. Tidaklah dibutuhkan lagi soal-jawab tentang kekuatan adikodrati yang turut campur tangan di dalam proses kerja alam.

Sumber: Donatus Sermada Kelen
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar