Salah seorang ahli lingkungan, Jared
Diamond, dalam bukunya berjudul Collapse: How Societies choose to Fail or
Survive, ditemukan beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa keruntuhan peradaban-peradaban
besar di masa lalu ternyata disebabkan oleh “kiamat kecil” yang tak lain adalah
kerusakan lingkungan. Menurut Jared, peradaban-peradaban kuno seperti Ankor Wat
di Kamboja, Harappa di India, Maya di Amerika Tengah, Pulau Kreta di Yunani, Zimbabwe
raya di Afrika, Kerajaan Fir’aun di Mesir dan macam-macam peradaban lainnya
yang pernah muncul dan bertakhta di muka bumi ini hancur dan punah disebabkan
oleh kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah mereka masing-masing.
Masih menurut Jared, kerusakan
lingkungan atau dalam bahasa akademisnya disebut environmental degradation terjadi
jika sebuah masyarakat secara tidak sadar telah merusak lingkungan mereka yang
sebenarnya mereka sendiri sangat tergantung dengannya. Mereka melakukan
pengrusakan terhadap lingkungan sebab mereka butuh bahan-bahan yang membuat
mereka tetap dapat hidup enak dan bahkan hidup berlebih-lebihan. Saat mereka
sadar lingkungan
sudah tidak bisa menyediakan bahan yang mereka butuhkan, keruntuhan
pun hanya tinggal menunggu waktu.
Empat Faktor Penyebab “kiamat”
1. kerusakan lingkungan
2. perubahan iklim
3. perang antarbangsa
4. ketidaktanggapan suatu bangsa dalam menghadapi kerusakan
lingkungan yang terjadi di wilayahnya
Jared Diamond percaya bahwa ada empat
faktor yang membuat peradaban-peradaban terdahulu kolaps. Pertama adalah
kerusakan lingkungan, kedua adalah perubahan iklim, ketiga tak lain adalah
perang antarbangsa, dan yang keempat adalah ketidaktanggapan suatu bangsa dalam
menghadapi kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayahnya. Dari keempat faktor
diatas, cuma satu faktor (perang antar bangsa) yang tidak berkaitan langsung
dengan permasalahan lingkungan. Tiga faktor lainnya sangat berkaitan dengan permasalahan
lingkungan. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam sejarah umat manusia,
kerusakan lingkungan merupakan faktor utama dari hancurnya sebuah peradaban.
Jared Diamond berkesimpulan bahwa dari
empat faktor yang ada, faktor rusaknya lingkungan adalah faktor yang paling mempengaruhi
kehancuran peradaban-peradaban terdahulu. Dan menurutnya, tampaknya kita pun
sekarang sedang menuju ke arah yang sama dengan yang telah dirasakan oleh
peradaban-peradaban terdahulu. Perbedaanya, kalau dulu kehancuran peradaban
umat manusia terjadi dalam skala yang kecil, maka sekarang kehancuran
peradaban umat manusia terjadi dalam skala global.
Namun apa alasan rasional yang membuat
kerusakan lingkungan dapat berujung kepada kehancuran sebuah peradaban atau
lebih besar lagi sebuah “kiamat”? Mungkin jawabannya dapat kita temukan dari hasil
buah pikiran Garreth Hardin, seorang pemikir lingkungan generasi awal. Mari
kita lihat kita lihat kenapa kiamat bisa muncul akibat adanya kerusakan lingkungan.
Untuk menjelaskan proses “kehancuran” bumi yang ada di depan kita, Hardin
menggunakan terminologi tragedy of the commons.
Tragedy of the Commons
Nature provides a free
lunch, but only if we control our appetites.
William Ruckelshaus
Sebelum mendengar ceritanya,
pertama-tama Hardin meminta kita membayangkan sebuah desa kecil dipinggiran
sungai dengan padang rumput luas yang mengelilinginya. Sudah membayangkannya? Kalau
anda belum bisa membayangkan desanya Hardin, bayangkan saja deskripsi desa Edensor-nya
Andrea Hirata di novel Edensor. Hardin menyebut desa ini sebagai the English
Village (di Inggris, desanya mayoritas memang seperti yang digambarkan Hardin).
Di desa ini, sembilan puluh sembilan persen penghuninya alias semua penduduk
desa adalah penggembala ternak. Setiap warga setidak-tidaknya memiliki seekor
ternak. Karena desa ini punya padang rumput yang luas, setiap penduduk desa
dapat mengakses secara gratis padang rumput tersebut untuk tempat mencari makan
domba-domba yang mereka miliki. Padang rumput ini, dalam bahasa Hardin, disebut
the common atau dalam bahasa Indonesia, barang gratisan.
Kondisi the common ini dapat
berjalan dengan lancar selama jumlah ternak yang dimiliki setiap warga relatif
kecil jika dibandingkan dengan luas padang rumput. Tapi tatkala jumlah ternak
yang dimiliki warga melebihi batas kemampuan yang dimiliki padang rumput, rerumputan
yang ada di padang rumput tersebut lambat laun akan terus berkurang. Karena
rerumputan terus berkurang, ternak-ternak pun pada kekurangan makan. Kekurangan
makan membuat mereka menghasilkan susu dan daging yang juga semakin sedikit bagi
penduduk desa. Jika jumlah ternak yang mencari makan di padang rumput yang
mulai overcrowded (kelebihan jumlah) itu masih bertambah banyak, kehancuran
total padang rumput tinggal menunggu waktu. Penduduk desa tidak bisa lagi
menggembalakan ternaknya di padang rumput gratisan tersebut. Kondisi seperti
ini disebut Hardin sebagai the tragedy. Alhasil, orang mengenal kisah
Garrett Hardin ini sebagai kisah the Tragedy of the Common, tragedi
barang gratisan. Pelajaran yang berharga bukan!
Tragedi ini menurut Hardin disebabkan setiap penduduk desa tidak
ada yang mau merugi. Dalam kalkulasi mereka, jika ternak mereka jumlahnya terus
bertambah, maka pemasukan juga akan terus bertambah, karena mumpung padang
rumputnya gratisan jadi tidak perlu membayar ongkos makan ternak. Penduduk desa
juga berpikir karena padang rumput adalah barang gratisan, maka berapapun
luas padang rumput sebaiknya merekalah yang paling banyak menggunakan padang
rumput tersebut. Jadi, Jika ternak yang mereka miliki jumlahnya sedikit,
sedangkan ternak tetangga jumlahnya jauh lebih banyak, pastinya merka adalah
orang yang paling merugi di
desa ini. Bisa dibayangkan, bila terdapat seribu hektar padang rumput,
sedangkan saya hanya memiliki tiga ternak dan tetangga saya memiliki tujuh,
yang diuntungkan tentu tetangga saya yang memiliki tujuh ternak karena tetangga
saya yang punya ternak lebih banyak ternak mampu mengkonsumsi rumput lebih
banyak dibandingkan saya yang cuma memiliki tiga ternak. Jadi biar saya tidak
rugi, makanya, saya juga harus memperbanyak ternak saya.
Karena penduduk desa mayoritas pintar
semua, tidak heran bila seluruh penduduk desa memiliki pola pikir yang sama
seperti diatas. Tindakan penduduk desa murni tindakan yang rasional. Alhasil,
padang rumput akan enyah dari kampung kecil itu karena rerumputan akan habis
dimakan oleh ternak yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Tak ada rumput
yang tersisa untuk makanan ternak di masa depan. Desa Hardin pada akhirnya
punah karena sistem perekonomiannya hancur gara-gara tak ada lagi resource
gratisan untuk memberi makan ternak penduduk yang semakin lama semakin kurus
dan akhirnya mati. Cerita selesai sampai di sini. No happy ending.
Kembali ke cerita Jared Diamond di
awal, ketamakan manusia dapat membuat sebuah peradaban hancur-lebur.
Hancur-leburnya sebuah peradaban terdahulu juga tidak serta-merta langsung
terjadi, tapi melalui proses-proses yang harus dilewati dan proses itu terjadi secara
perlahan-lahan sehingga proses penghancuran itu tidak terasa sama sekali. Ada
peradaban yang hancur karena mereka bertempur dengan peradaban lain untuk
memperebutkan sumber daya yang tersisa. Siapa yang menang, dia yang menguasai
sumber daya, yang kalah tinggal dibantai habis-habisan. Ada juga peradaban yang
hancur karena kelaparan yang panjang karena tidak ada lagi yang bisa dimakan.
Begitu banyak peradaban hancur tanpa pernah memahami proses penghancuran peradaban
mereka telah terjadi jauh sebelum tanda-tanda kehancuran terlihat di depan mata
mereka.
Jika dilihat-lihat lagi, apa yang dirasakan
oleh peradabanperadaban terdahulu dengan yang terjadi sama desa kecilnya
Garrett Hardin tidaklah jauh berbeda. Cuma ada dua pilihan yang dimiliki oleh
masyarakat di desa Hardin jika mereka tidak mau mengurangi jumlah ternak
mereka. Pertama, mereka harus berperang satu sama lainnya untuk memperebutkan
padang rumput yang sudah makin sedikit. Kedua, seluruh penduduk desa akan mati
kelaparan. Dua pilihan yang buruk bukan?
Sekarang, kita ubah saja analogi village-nya
Hardin tadi dengan global village yang kita tempati sekarang yang tak lain
adalah bumi kita tercinta. Jarang orang yang aware jika bumi yang kita
tempati sekarang ini punya yang namanya carriying capacity atau ambang batas
bagi penghuninya untuk bisa mengkonsumsi secara gratis. Jika konsumsi kita
sudah lebih dari carriying capacity itu, maka yang terjadi adalah
pengurangan secara kontinu atas apa saja yang ada di bumi.
Lihat saja keadaan perikanan dunia.
Para nelayan selama ribuan tahun terus mengangkap ikan di laut namun tidak
pernah terjadi kondisi dimana ikan di bumi ini berkurang karena ditangkap
terusmenerus. Tapi sekarang, hanya dalam beberapa dekade aja, keadaan ajeg ini
berubah. Dengan bantuan sonar, radar laut, potret satelit, dan berbagai macam
teknologi-teknologi lainnya, manusia dapat melakukan penangkapan ikan dalam
jumlah yang amat besar sehingga ikan yang jumlahnya tak terhitung di muka bumi
ini semakin lama makin berkurang.
Sama seperti padang rumput di desa
Hardin, ikan juga merupakan barang common yang bila kita bisa dapatkan
melalui mancing, barang itu jadi punya kita. Aturannya juga sama seperti
desanya Hardin bahwa jumlah ikan dibagi dengan jumlah pemancing yang
ada. Karena negara-negara maju punya teknologi yang lebih maju, mereka dapat
lebih banyak mengambil ikan-ikan yang ada di laut. Lihat saja bagaimana kapal Thailand,
Cina, dan yang paling parah kapal Jepang yang menangkap ikan-ikan di perairan
Laut Cina Selatan yang notabene merupakan wilayah dari Indonesia. Sekali raupan
jala, ribuan ikan diraih. Alhasil, makin lama bumi semakin kekurangan populasi
ikan akibat penangkapan ikan besar-besaran.
Tidak cuma ikan, udara pun juga bisa
digolongkan barang common dalam terminologinya Hardin. Pada tahun
1980’an, para ilmuwan menemukan lubang ozon di kutub selatan akibat penggunaan
CFC oleh rumah tangga dan industri besar. Lubang ozon ini sangat
berbahaya dan berimplikasi besar bagi manusia secara keseluruhan. Akibat
tidak adanya lapisan ozon, sinar ultraviolet dengan mudah masuk ke bumi
dan menghancurkan segala macam kehidupan yang ada di muka bumi tanpa
terkecuali manusia. Bila dipikir-pikir, desanya Hardin lebih baik
dibandingkan bumi yang kita tinggali ini. Jika di desa Hardin, hampir
semua penduduk desa menikmati padang rumput yang tersedia gratis. Tapi
di bumi tempat kita tinggal sekarang hanya segelintir saja yang dapat
menikmati “padang rumput” yang gratis ini.
Sebenarnya Allah SWT telah memberikan
begitu banyak hal di bumi bagi manusia. Bisa dikatakan, sebenarnya bumi ini diciptakan
dengan nikmat dari Allah yang sangat berlimpah. Bayangkan saja udara yang tidak
ada habis-habisnya, hutan yang lebat serta lautan yang terhampar luas mewarnai
bumi kita dengan warna hijau dan biru. Namun manusia tidak pernah mensyukuri limpahan
rahmat tersebut. Alih-alih menjaganya, manusia malah menghancurkan nikmat
tersebut secara perlahan.
Patut diingat, kiamat yang sedang kita
tuju sekarang ini bukanlah diakibatkan oleh fenomena-fenomena alami seperti
bencana-bencana alam yang telah menghancurkan peradaban terdahulu. Kerusakan alam
yang akan menggiring kita kepada kiamat merupakan murni akibat ulah manusia.
Banyak ilmuwan Barat termasuk Garrett
Hardin sendiri yang berargumen bahwa kerusakan lingkungan diakibatkan oleh membludaknya
populasi manusia. Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Kita harus percaya bahwa
nikmat Allah terhadap manusia, berapa pun jumlah manusia yang ada di muka bumi,
tak akan pernah habis. Namun, semua ini tidak berlaku jika yang hidup di bumi
itu orangorang yang rakus. Al Qur’an melihat bahwa nikmat Allah itu tidak
terbatas dan begitu juga sumber-sumber alam yang telah
disediakan Allah dimuka Bumi ini. Tapi kekufuran dan kerakusan manusia atas nikmat
Allah, telah menciptakan ketidakseimbangan dalam alam. Kita tentu masih ingat
dengan kata-kata Gandhi yang mengatakan bahwa “The earth has enough for
everyone’s need but not for anyone’s greed” (Bumi ini cukup untuk
memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tidak untuk mereka yang rakus).
Allah sendiri telah berfirman dalam Al
Qur’an “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya
gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.
Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan
(Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan
pemberi rezeki kepadanya. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi
Kamilah khazanahnya. Dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan
ukuran tertentu.” (Al-Hijr: 19-21)
Dalam ayat ini jelas bagaimana Allah
menjadikan alam ini beserta segala sesuatu yang dihasilkannya menurut ukuran
tertentu. Apa yang dimaksud dengan ukuran? Ukuran tersebut tak lain adalah carrying
capacity bumi dalam menanggung beban manusia. Ukuran tersebut pastinya
dapat menanggung seluruh manusia yang ada di bumi. Tapi ukuran tersebut tidak
dapat menanggung beban bagi manusia-manusia yang rakus dan tamak karena bumi
berserta isinya tidak diciptakan untuk orang-orang yang tamak tersebut. Bumi beserta
isinya diciptakan Allah kepada manusia yang dapat menjadi khalifah fil Ardh.
Apakah orang-orang tamak itu bisa disebut khalifah fil ardh? So pasti tidak
dong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar