Kamis, 29 Desember 2016

Empat Faktor Penyebab Kolaps



Salah seorang ahli lingkungan, Jared Diamond, dalam bukunya berjudul Collapse: How Societies choose to Fail or Survive, ditemukan beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa keruntuhan peradaban-peradaban besar di masa lalu ternyata disebabkan oleh “kiamat kecil” yang tak lain adalah kerusakan lingkungan. Menurut Jared, peradaban-peradaban kuno seperti Ankor Wat di Kamboja, Harappa di India, Maya di Amerika Tengah, Pulau Kreta di Yunani, Zimbabwe raya di Afrika, Kerajaan Fir’aun di Mesir dan macam-macam peradaban lainnya yang pernah muncul dan bertakhta di muka bumi ini hancur dan punah disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah mereka masing-masing.

Masih menurut Jared, kerusakan lingkungan atau dalam bahasa akademisnya disebut environmental degradation terjadi jika sebuah masyarakat secara tidak sadar telah merusak lingkungan mereka yang sebenarnya mereka sendiri sangat tergantung dengannya. Mereka melakukan pengrusakan terhadap lingkungan sebab mereka butuh bahan-bahan yang membuat mereka tetap dapat hidup enak dan bahkan hidup berlebih-lebihan. Saat mereka sadar lingkungan
sudah tidak bisa menyediakan bahan yang mereka butuhkan, keruntuhan pun hanya tinggal menunggu waktu.

Empat Faktor Penyebab “kiamat”
1. kerusakan lingkungan
2. perubahan iklim
3. perang antarbangsa
4. ketidaktanggapan suatu bangsa dalam menghadapi kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayahnya

Jared Diamond percaya bahwa ada empat faktor yang membuat peradaban-peradaban terdahulu kolaps. Pertama adalah kerusakan lingkungan, kedua adalah perubahan iklim, ketiga tak lain adalah perang antarbangsa, dan yang keempat adalah ketidaktanggapan suatu bangsa dalam menghadapi kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayahnya. Dari keempat faktor diatas, cuma satu faktor (perang antar bangsa) yang tidak berkaitan langsung dengan permasalahan lingkungan. Tiga faktor lainnya sangat berkaitan dengan permasalahan lingkungan. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam sejarah umat manusia, kerusakan lingkungan merupakan faktor utama dari hancurnya sebuah peradaban.

Jared Diamond berkesimpulan bahwa dari empat faktor yang ada, faktor rusaknya lingkungan adalah faktor yang paling mempengaruhi kehancuran peradaban-peradaban terdahulu. Dan menurutnya, tampaknya kita pun sekarang sedang menuju ke arah yang sama dengan yang telah dirasakan oleh peradaban-peradaban terdahulu. Perbedaanya, kalau dulu kehancuran peradaban umat manusia terjadi dalam skala yang kecil, maka sekarang kehancuran
peradaban umat manusia terjadi dalam skala global.

Namun apa alasan rasional yang membuat kerusakan lingkungan dapat berujung kepada kehancuran sebuah peradaban atau lebih besar lagi sebuah “kiamat”? Mungkin jawabannya dapat kita temukan dari hasil buah pikiran Garreth Hardin, seorang pemikir lingkungan generasi awal. Mari kita lihat kita lihat kenapa kiamat bisa muncul akibat adanya kerusakan lingkungan. Untuk menjelaskan proses “kehancuran” bumi yang ada di depan kita, Hardin menggunakan terminologi tragedy of the commons.

Tragedy of the Commons
Nature provides a free lunch, but only if we control our appetites.
William Ruckelshaus

Sebelum mendengar ceritanya, pertama-tama Hardin meminta kita membayangkan sebuah desa kecil dipinggiran sungai dengan padang rumput luas yang mengelilinginya. Sudah membayangkannya? Kalau anda belum bisa membayangkan desanya Hardin, bayangkan saja deskripsi desa Edensor-nya Andrea Hirata di novel Edensor. Hardin menyebut desa ini sebagai the English Village (di Inggris, desanya mayoritas memang seperti yang digambarkan Hardin). Di desa ini, sembilan puluh sembilan persen penghuninya alias semua penduduk desa adalah penggembala ternak. Setiap warga setidak-tidaknya memiliki seekor ternak. Karena desa ini punya padang rumput yang luas, setiap penduduk desa dapat mengakses secara gratis padang rumput tersebut untuk tempat mencari makan domba-domba yang mereka miliki. Padang rumput ini, dalam bahasa Hardin, disebut the common atau dalam bahasa Indonesia, barang gratisan.

Kondisi the common ini dapat berjalan dengan lancar selama jumlah ternak yang dimiliki setiap warga relatif kecil jika dibandingkan dengan luas padang rumput. Tapi tatkala jumlah ternak yang dimiliki warga melebihi batas kemampuan yang dimiliki padang rumput, rerumputan yang ada di padang rumput tersebut lambat laun akan terus berkurang. Karena rerumputan terus berkurang, ternak-ternak pun pada kekurangan makan. Kekurangan makan membuat mereka menghasilkan susu dan daging yang juga semakin sedikit bagi penduduk desa. Jika jumlah ternak yang mencari makan di padang rumput yang mulai overcrowded (kelebihan jumlah) itu masih bertambah banyak, kehancuran total padang rumput tinggal menunggu waktu. Penduduk desa tidak bisa lagi menggembalakan ternaknya di padang rumput gratisan tersebut. Kondisi seperti ini disebut Hardin sebagai the tragedy. Alhasil, orang mengenal kisah Garrett Hardin ini sebagai kisah the Tragedy of the Common, tragedi barang gratisan. Pelajaran yang berharga bukan!

Tragedi ini menurut Hardin disebabkan setiap penduduk desa tidak ada yang mau merugi. Dalam kalkulasi mereka, jika ternak mereka jumlahnya terus bertambah, maka pemasukan juga akan terus bertambah, karena mumpung padang rumputnya gratisan jadi tidak perlu membayar ongkos makan ternak. Penduduk desa juga berpikir karena padang rumput adalah barang gratisan, maka berapapun luas padang rumput sebaiknya merekalah yang paling banyak menggunakan padang rumput tersebut. Jadi, Jika ternak yang mereka miliki jumlahnya sedikit, sedangkan ternak tetangga jumlahnya jauh lebih banyak, pastinya merka adalah orang yang paling merugi di
desa ini. Bisa dibayangkan, bila terdapat seribu hektar padang rumput, sedangkan saya hanya memiliki tiga ternak dan tetangga saya memiliki tujuh, yang diuntungkan tentu tetangga saya yang memiliki tujuh ternak karena tetangga saya yang punya ternak lebih banyak ternak mampu mengkonsumsi rumput lebih banyak dibandingkan saya yang cuma memiliki tiga ternak. Jadi biar saya tidak rugi, makanya, saya juga harus memperbanyak ternak saya.

Karena penduduk desa mayoritas pintar semua, tidak heran bila seluruh penduduk desa memiliki pola pikir yang sama seperti diatas. Tindakan penduduk desa murni tindakan yang rasional. Alhasil, padang rumput akan enyah dari kampung kecil itu karena rerumputan akan habis dimakan oleh ternak yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Tak ada rumput yang tersisa untuk makanan ternak di masa depan. Desa Hardin pada akhirnya punah karena sistem perekonomiannya hancur gara-gara tak ada lagi resource gratisan untuk memberi makan ternak penduduk yang semakin lama semakin kurus dan akhirnya mati. Cerita selesai sampai di sini. No happy ending.

Kembali ke cerita Jared Diamond di awal, ketamakan manusia dapat membuat sebuah peradaban hancur-lebur. Hancur-leburnya sebuah peradaban terdahulu juga tidak serta-merta langsung terjadi, tapi melalui proses-proses yang harus dilewati dan proses itu terjadi secara perlahan-lahan sehingga proses penghancuran itu tidak terasa sama sekali. Ada peradaban yang hancur karena mereka bertempur dengan peradaban lain untuk memperebutkan sumber daya yang tersisa. Siapa yang menang, dia yang menguasai sumber daya, yang kalah tinggal dibantai habis-habisan. Ada juga peradaban yang hancur karena kelaparan yang panjang karena tidak ada lagi yang bisa dimakan. Begitu banyak peradaban hancur tanpa pernah memahami proses penghancuran peradaban mereka telah terjadi jauh sebelum tanda-tanda kehancuran terlihat di depan mata mereka.

Jika dilihat-lihat lagi, apa yang dirasakan oleh peradabanperadaban terdahulu dengan yang terjadi sama desa kecilnya Garrett Hardin tidaklah jauh berbeda. Cuma ada dua pilihan yang dimiliki oleh masyarakat di desa Hardin jika mereka tidak mau mengurangi jumlah ternak mereka. Pertama, mereka harus berperang satu sama lainnya untuk memperebutkan padang rumput yang sudah makin sedikit. Kedua, seluruh penduduk desa akan mati kelaparan. Dua pilihan yang buruk bukan?

Sekarang, kita ubah saja analogi village-nya Hardin tadi dengan global village yang kita tempati sekarang yang tak lain adalah bumi kita tercinta. Jarang orang yang aware jika bumi yang kita tempati sekarang ini punya yang namanya carriying capacity atau ambang batas bagi penghuninya untuk bisa mengkonsumsi secara gratis. Jika konsumsi kita sudah lebih dari carriying capacity itu, maka yang terjadi adalah pengurangan secara kontinu atas apa saja yang ada di bumi.

Lihat saja keadaan perikanan dunia. Para nelayan selama ribuan tahun terus mengangkap ikan di laut namun tidak pernah terjadi kondisi dimana ikan di bumi ini berkurang karena ditangkap terusmenerus. Tapi sekarang, hanya dalam beberapa dekade aja, keadaan ajeg ini berubah. Dengan bantuan sonar, radar laut, potret satelit, dan berbagai macam teknologi-teknologi lainnya, manusia dapat melakukan penangkapan ikan dalam jumlah yang amat besar sehingga ikan yang jumlahnya tak terhitung di muka bumi ini semakin lama makin berkurang.

Sama seperti padang rumput di desa Hardin, ikan juga merupakan barang common yang bila kita bisa dapatkan melalui mancing, barang itu jadi punya kita. Aturannya juga sama seperti
desanya Hardin bahwa jumlah ikan dibagi dengan jumlah pemancing yang ada. Karena negara-negara maju punya teknologi yang lebih maju, mereka dapat lebih banyak mengambil ikan-ikan yang ada di laut. Lihat saja bagaimana kapal Thailand, Cina, dan yang paling parah kapal Jepang yang menangkap ikan-ikan di perairan Laut Cina Selatan yang notabene merupakan wilayah dari Indonesia. Sekali raupan jala, ribuan ikan diraih. Alhasil, makin lama bumi semakin kekurangan populasi ikan akibat penangkapan ikan besar-besaran.

Tidak cuma ikan, udara pun juga bisa digolongkan barang common dalam terminologinya Hardin. Pada tahun 1980’an, para ilmuwan menemukan lubang ozon di kutub selatan akibat penggunaan CFC oleh rumah tangga dan industri besar. Lubang ozon ini sangat berbahaya dan berimplikasi besar bagi manusia secara keseluruhan. Akibat tidak adanya lapisan ozon, sinar ultraviolet dengan mudah masuk ke bumi dan menghancurkan segala macam kehidupan yang ada di muka bumi tanpa terkecuali manusia. Bila dipikir-pikir, desanya Hardin lebih baik dibandingkan bumi yang kita tinggali ini. Jika di desa Hardin, hampir semua penduduk desa menikmati padang rumput yang tersedia gratis. Tapi di bumi tempat kita tinggal sekarang hanya segelintir saja yang dapat menikmati “padang rumput” yang gratis ini.

Sebenarnya Allah SWT telah memberikan begitu banyak hal di bumi bagi manusia. Bisa dikatakan, sebenarnya bumi ini diciptakan dengan nikmat dari Allah yang sangat berlimpah. Bayangkan saja udara yang tidak ada habis-habisnya, hutan yang lebat serta lautan yang terhampar luas mewarnai bumi kita dengan warna hijau dan biru. Namun manusia tidak pernah mensyukuri limpahan rahmat tersebut. Alih-alih menjaganya, manusia malah menghancurkan nikmat tersebut secara perlahan.

Patut diingat, kiamat yang sedang kita tuju sekarang ini bukanlah diakibatkan oleh fenomena-fenomena alami seperti bencana-bencana alam yang telah menghancurkan peradaban terdahulu. Kerusakan alam yang akan menggiring kita kepada kiamat merupakan murni akibat ulah manusia.

Banyak ilmuwan Barat termasuk Garrett Hardin sendiri yang berargumen bahwa kerusakan lingkungan diakibatkan oleh membludaknya populasi manusia. Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Kita harus percaya bahwa nikmat Allah terhadap manusia, berapa pun jumlah manusia yang ada di muka bumi, tak akan pernah habis. Namun, semua ini tidak berlaku jika yang hidup di bumi itu orangorang yang rakus. Al Qur’an melihat bahwa nikmat Allah itu tidak
terbatas dan begitu juga sumber-sumber alam yang telah disediakan Allah dimuka Bumi ini. Tapi kekufuran dan kerakusan manusia atas nikmat Allah, telah menciptakan ketidakseimbangan dalam alam. Kita tentu masih ingat dengan kata-kata Gandhi yang mengatakan bahwa “The earth has enough for everyone’s need but not for anyone’s greed” (Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tidak untuk mereka yang rakus).

Allah sendiri telah berfirman dalam Al Qur’an “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya. Dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Al-Hijr: 19-21)

Dalam ayat ini jelas bagaimana Allah menjadikan alam ini beserta segala sesuatu yang dihasilkannya menurut ukuran tertentu. Apa yang dimaksud dengan ukuran? Ukuran tersebut tak lain adalah carrying capacity bumi dalam menanggung beban manusia. Ukuran tersebut pastinya dapat menanggung seluruh manusia yang ada di bumi. Tapi ukuran tersebut tidak dapat menanggung beban bagi manusia-manusia yang rakus dan tamak karena bumi berserta isinya tidak diciptakan untuk orang-orang yang tamak tersebut. Bumi beserta isinya diciptakan Allah kepada manusia yang dapat menjadi khalifah fil Ardh. Apakah orang-orang tamak itu bisa disebut khalifah fil ardh? So pasti tidak dong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar