Sabtu, 24 Desember 2016

Estetika dalam Tradisi Islam



Seorang seniman dalam menciptakan karya seni perlu kebebasan dan kemerdekaan dalam melahirkan imajinasinya. Kebebasan tentunya tidak lepas dari konteks budaya yang melingkupinya. Penciptaan seni rupa tidak hanya mempertimbangkan aspek estetika saja tetapi juga memperhatikan aspek etika sesuai dengan norma budaya yang berlaku dan agama tentunya. Penciptaan seni tidak hanya menjawab kebebasan berekspresi saja tetapi juga memperhatikan masyarakat pendukungnya. Sebagai ilustrasi seperti yang diunkapkan Engincer (1990) menggambarkan perjalanan Muhammad menghasilkan tiga kebebasan, Pertama, pembebasan sosio-kultural, masyarakat Arab dikenal sangat feodal dan paternal yang selalu melahirkan penindasan. Terdapat dua kelas sosial yaitu kelas terhormat yang selalu menindas dan kelas budak dan orang miskin yang selalu tertindas. Islam melalui Muhammad tidak lagi mengenal polarisasi kaya-miskin, lamah-kuat, penindas tertindas, dan seterusnya. Kedua, keadilan ekonomi, sejak Qur’an diturunkan menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua. Qur’an menganjurkan orang yang berkecukupan menafkahkan sebagaian hartanya kepada fakir miskin (Q.S.2:29). Ketiga, sikap toleransi kepada agama dan kepercayaan lain. Qur’an telah membuat diktum secara tegas tidak ada pemaksaan dalam beragama, (QS.2:256) bagiku agamaku, bagimu agamamu, dan Qur’an telah mengajarkan penghormatan kepada Nabi yang diturunkan Allah ke dunia. Berangkat dari kebebasan itu seniman juga diberikan kebebasan untuk memilih meniti karir sesuai dengan keyakinannya, dan harus saling menghormati, menghargai, dan toleransi kepada sesama umat dan warga pelestari dan pengembang budaya.
Kegiatan penciptaan karya seni digolongkan sebagai kegiatan intelektual yang berhubungan dengan hikmah dan makrifat. Seorang arsitek pelukis, dan pematung ingin mencapai puncak kariernya mestilah mempelajari cabang-cabang ilmu pengetahuan lain seperti metafisika, logika, ilmu fiqih, hadist, tafsir Qur’an, matematika, dan sebagainya. Dalam kaitan khusus dengan seni lukis, seni khat dan seni geometri ,pembicaraan estetika dilakukan antara lain oleh Dust Muhammad, Arudi, Reza Abazi dan sebagainya. Estetika Islam yang dikembangkan para sufi itu tidak hanya mempengaruhi karya sastra, tetapi juga arsitek, seni musik gamelan, batik,  seni ukir, atau seni rupa pada umumnya. Gema estetika Islam dapat dirasakan pada karya Amir Hamzah, Danarto, Kuntowijoyo, pelukis Ahmad Sadali, AD Firous, Amri Yahya, Amang Rachman, Oesman Efendy. Dalam tradisi Islam istilah yang digunakan untuk keindahan estetik diambil dari Al-Qur’an dan hadis yang berbunyi jamal (keindahan batin) dan husn (keindahan zahir). Hadist yang berbunyi “Tuhan itu maha indah dan mencintai keindahan” kata yang digunakan dalam hadis ini adalah jamal dan kata tersebut dikaitkan dengan cinta. Tetapi tidak semua keindahan yang tergolong husn bermakna negatif, karena untuk nama Tuhan yang indah disebut asma al-husna. Keindahan disini dapat dibedakan menjadi keindahan yang bersifat sementara zawahir (fenomenal) dan keindahan yang langgeng atau sejati.
Al Ghazali mengatakan bahwa peringkat keindahan estetis sejajar dengan peringkat pengalaman kesufian. Ia berjalan dari peringkat syariat (formal), melalui peringkat tarekat, menuju hakikat maknawi dan akhirnya makhrifat. Pencapai keindahan tertinggi dengan melibatkan latihan spiritual. Sesuai peringkatnya keindahan dapat dibagi menjadi (1) keindahan sensual dan duniawi, yaitu keindahan yang terkait dengan hedonisme dan materialisme, (2) keindahan alam, ciptaan Tuhan (3) keindahan akliah yaitu keindahan yang ditampilkan karya seni yang dapat merangsang pikiran dan renungan, (4) keindahan rohaniah berkaitan dengan ahklak dan adanya pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang atau karya seni, dan (5) keindahan Illahi.
Keindahan sensual (nafsani) dan duniawi tidak dapat disebut keindahan sejati, karena pengaruhnya banyak negatif dibanding positifnya, seperti mendatangkan kemungkaran dan kesombongan diri. Keindahan sejati dicintai, walaupun tidak menghasilkan keuntungan material atau kesenangan badani. Menikmati keindahan alam danau, pegunungan yang indah misalnya tidak mendatangkan keuntungan material, tetapi dicintai karena menyenangkan, menenangkan, dan menyehatkan jiwa. Kelezatan, kesenangan, kepuasan yang ditimbulkan keindahan sejati menyebabkan jiwa sehat, ahlak bertambah, pengetahuan dan kerarifan meningkat, pengalaman rohani dan religius semakin kaya. Dalam keindahan sejati yaitu keindahan alam, akliyah, rohaniah, dan illahiyah, manusia dapat melihat asal usulnya di alam kerohanian yang diliputi oleh kebaikan, kebenaran, dan kesmpurnaan sesuai ukurannya.
Imam Ghazali melihat keindahan berdasarkan penampakan kesempurnaan dari sudut objek sesuai dengan kualitas kesempurnaan ideal yang sepatutnya ada dalam sebuah objek. Hal ini berlaku dalam sebuah karya seni, yang dicipta dengan maksud dan tujuan berbeda, dan karenanya untuk fungsi yang berbeda pula dan dengan takaran bobot dan mutu yang berbeda pula. Seekor kuda dikatakan indah sesuai sifat dan proporsi tubuhnya yang ideal bagi seekor kuda yang tangkas dan gagah. Sekuntum bunga dikatakan indah karena proporsi dan komposisi unsurnya ideal bagi sekuntum bunga.
Keindahan tertinggi menurut Imam Ghazali adalah menghubungkannya dengan peringkat kebenaran atau pengetahuan yang ada pada karya atau pribadi yang kita nilai indah. Pengetahuan dan kebenaran tertinggi hanya dapat ditangkap melalui indra keenam yaitu penglihatan batin atau hati dan jiwa universal. Sebagai contoh seluruh kehidupan dan pribadi Nabi Muhammad SAW hanya dapat dilihat nilai dan mutu keindahannya melalui indra keenam. Dilihat secara lahiriah Nabi adalah manusia biasa karena beliau juga makan, tidur, berumah tangga, dan memiliki keindahan seperti manusia lainnya. Tetapi dilihat dari kehidupan spiritual dan moralnya beliau adalah lebih dari sekedar manusia biasa. Melalui penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penglihatan batin sangat penting dalam membangun kehidupan manusia, serta menumbuhkan semangat religius.
Estetika dalam Islam merupakan perjalanan dari bentuk-bentuk (sunah) menuju hakikat segala bentuk (ma’na) dari mana manusia berasal. Dalam tradisi Islam estetika dikaitkan dengan metafisika atau ontologi, pengetahuan dan pemahaman tentang wujud dan peringkat-peringkatnya dari yang zahir sampai ke yang batin. Karya seni dipahami sebagai manifestasi estetika yang paling tinggi yang diharapkan dapat membawa penikmatnya pada tingkatan kearifan yang lebih tinggi. Atau mendorong manusia melakukan pendakian dari yang zahir menuju yang batin, dari alam tasybih yaitu alam dan bentuk yang dapat dicerna indra menuju alam tanzih yaitu alam transidental yang menuntut tajamnya kepekaan penglihatan kalbu.
Sifat Tuhan yang Maha Indah dan merupakan wajah atau penampakan-Nya ialah al-rahman dan al-rahim. Dengan demikian keindahan karya Tuhan dapat dilihat pada besarnya cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya. Dalam menilai karya seni Islam azas cinta dalam diri atau pada manusia sebagai penghasil karya seni ialah kecenderungan akan keimanan, ketakwaan, kebahagiaan dan hasratnya untuk menegakan kebaikan dan menentang segala bentuk keburukan, kejahilan, kezaliman, buruk sangka, dan ketidakadilan. Seni dalam padangan ini tidak lain adalah suatu bentuk ibadah, pengabdian, dan kepasrahan kepada Tuhan.
Apresiasi terhadap karya sufistik saat ini sejalan dengan meningkatnya minat dan perhatian masyarakat terhadaf tasawuf, tetapi tidak diikuti kajian terhadapnya. Terutama kajian mendalam tentang makna dan estetikanya. Dalam sejarah kecendikiawan Islam estetika dan hermenutika merupakan dua bidang ilmu yang tidak terpisahkan, baik dalam penciptaan karya seni maupun dalam telaah karya seni. Dalam pandangan cendekiawan Islam estetika selalu mempunyai kaitan dengan epistimologi, kosmologi, psikologi, dan metafisika terutama seperti yang digagas para filosuf sufi seperti Ibn Sina, Imam Al Ghazali dan sebagainya. Banyak yang menempatkan seni sebagai hiburan yang dangkal, yang kelewatan sehingga menyempurnakan proses pendangkalan budaya. Sekarang seni yang mengambil bentuk bersifat borjuis sebagai misinya bagi kehidupan, ia berada di surga bikinan yang dibangun dibumi untuk memenuhi kesenangan hedonisme yang antara lain meliputi makan, berfoya-foya, dan melampiaskan nafsu rendah.
Tolok ukur penting dari seni yang baik ialah penemuan terhadap kepribadian manusia dan penyebab mekarnya kemungkinan-kemungkinan transenden manusia, yang mengatasi intelek dan logika. Manusia sebagai individu yang mampu menciptakan karya seni bukan hanya makhluk sosial tetapi juga makhluk rohani, sebagai makhluk sosial manusia harus menjalin hubungan sesama manusia dengan seni dan sebagai makhluk rohani harus menghubungkan diri dengan kehendak Illahi. Manusia sebagai mahkluk Tuhan dikatakan bahwa dosa utama manusia adalah lupa. Sifat pelupa dan acuh tak acuh membuat kita terlena dan membangun dunia impian di sekelilingnya, yang membuat lupa akan dirinya dan akan yang seharusnya dikerjakan di dunia ini. Manusia sebagai makhluk theomorfis tujuannya adalah merealisisr sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia, serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian.
Estetika seni Islam yang membahas tentang penghargaan bentuk seni seperti seni kaligrafi, seni ragam hias tumbuhan dan geometrik menempati tempat istimewa, sedangkan lukisan dan seni patung realisme dan naturalisme tidak begitu diistemewakan dalam kehidupan Islam. Seni kaligrafi dan lukisan geometri sepenuhnya merupakan hasil abstraksi dan imajinasi manusia. Kecintaan umat Islam terhadap Al Qur’an mendorong pesatnya perkembangan seni kaligrafi dan menjadikan seni kaligrafi sebagai simbol utama seni Islam dan perwujudan paling istimewa dari esteika Islam, demikian juga dalam seni dekorasi. Secara sepintas telah digambarkan kecenderungan estetika dalam Islam yaitu kuatnya sikap penolakan meniru objek luar secara realis dan naturalis. Sikap ini ada kaitannya dengan sikap
Islam yang anti berhala atau ikonoklastis. Manusia memang cenderung menyukai bentuk luar dan keindahan lahiriah. Tetapi seseorang yang telah dianugerahi sikap tauchid, maka segala bentuk kesyirikan yang berkembang dalam dirinya akan dapat dibersihkan. Penciptaan seni dalam Islam dengan bentuk-bentuk yang anti ikonografis dan wataknya sebagai manifestasi zikir dan puji-pujian kepada Tuhan yang Esa. Berkarya seni dalam pandangan islam adalah ungkapan ekspresi penyucian diri dari segala bentuk berhala alam yang bersifat bendawi. Dari prinsip itu maka lahirlah seni Islam yang bersifat dekoratif menghindari bentuk realis dan naturalis.

Sumber: Martono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar