Seorang
seniman dalam menciptakan karya seni perlu kebebasan dan kemerdekaan dalam
melahirkan imajinasinya. Kebebasan tentunya tidak lepas dari konteks budaya
yang melingkupinya. Penciptaan seni rupa tidak hanya mempertimbangkan aspek
estetika saja tetapi juga memperhatikan aspek etika sesuai dengan norma budaya
yang berlaku dan agama tentunya. Penciptaan seni tidak hanya menjawab kebebasan
berekspresi saja tetapi juga memperhatikan masyarakat pendukungnya. Sebagai
ilustrasi seperti yang diunkapkan Engincer (1990) menggambarkan perjalanan
Muhammad menghasilkan tiga kebebasan, Pertama, pembebasan
sosio-kultural, masyarakat Arab dikenal sangat feodal dan paternal yang selalu
melahirkan penindasan. Terdapat dua kelas sosial yaitu kelas terhormat yang
selalu menindas dan kelas budak dan orang miskin yang selalu tertindas. Islam melalui
Muhammad tidak lagi mengenal polarisasi kaya-miskin, lamah-kuat, penindas
tertindas, dan seterusnya. Kedua, keadilan ekonomi, sejak Qur’an diturunkan
menekankan pemerataan dan keadilan untuk semua. Qur’an menganjurkan orang yang
berkecukupan menafkahkan sebagaian hartanya kepada fakir miskin (Q.S.2:29). Ketiga,
sikap toleransi kepada agama dan kepercayaan lain. Qur’an telah membuat diktum secara
tegas tidak ada pemaksaan dalam beragama, (QS.2:256) bagiku agamaku, bagimu agamamu,
dan Qur’an telah mengajarkan penghormatan kepada Nabi yang diturunkan Allah ke
dunia. Berangkat dari kebebasan itu seniman juga diberikan kebebasan untuk
memilih meniti karir sesuai dengan keyakinannya, dan harus saling menghormati,
menghargai, dan toleransi kepada sesama umat dan warga pelestari dan pengembang
budaya.
Kegiatan
penciptaan karya seni digolongkan sebagai kegiatan intelektual yang berhubungan
dengan hikmah dan makrifat. Seorang arsitek pelukis, dan pematung ingin
mencapai puncak kariernya mestilah mempelajari cabang-cabang ilmu pengetahuan
lain seperti metafisika, logika, ilmu fiqih, hadist, tafsir Qur’an, matematika,
dan sebagainya. Dalam kaitan khusus dengan seni lukis, seni khat dan seni
geometri ,pembicaraan estetika dilakukan antara lain oleh Dust Muhammad, Arudi,
Reza Abazi dan sebagainya. Estetika Islam yang dikembangkan para sufi itu tidak
hanya mempengaruhi karya sastra, tetapi juga arsitek, seni musik gamelan,
batik, seni ukir, atau seni rupa pada
umumnya. Gema estetika Islam dapat dirasakan pada karya Amir Hamzah, Danarto,
Kuntowijoyo, pelukis Ahmad Sadali, AD Firous, Amri Yahya, Amang Rachman, Oesman
Efendy. Dalam tradisi Islam istilah yang digunakan untuk keindahan estetik
diambil dari Al-Qur’an dan hadis yang berbunyi jamal (keindahan batin)
dan husn (keindahan zahir). Hadist yang berbunyi “Tuhan itu maha
indah dan mencintai keindahan” kata yang digunakan dalam hadis ini adalah jamal
dan kata tersebut dikaitkan dengan cinta. Tetapi tidak semua keindahan yang
tergolong husn bermakna negatif, karena untuk nama Tuhan yang indah
disebut asma al-husna. Keindahan disini dapat dibedakan menjadi keindahan
yang bersifat sementara zawahir (fenomenal) dan keindahan yang langgeng
atau sejati.
Al Ghazali mengatakan
bahwa peringkat keindahan estetis sejajar dengan peringkat pengalaman kesufian.
Ia berjalan dari peringkat syariat (formal), melalui peringkat tarekat,
menuju hakikat maknawi dan akhirnya makhrifat. Pencapai keindahan
tertinggi dengan melibatkan latihan spiritual. Sesuai peringkatnya keindahan
dapat dibagi menjadi (1) keindahan sensual dan duniawi, yaitu keindahan yang
terkait dengan hedonisme dan materialisme, (2) keindahan alam, ciptaan
Tuhan (3) keindahan akliah yaitu keindahan yang ditampilkan karya seni
yang dapat merangsang pikiran dan renungan, (4) keindahan rohaniah berkaitan
dengan ahklak dan adanya pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu yang ada
dalam diri seseorang atau karya seni, dan (5) keindahan Illahi.
Keindahan
sensual (nafsani) dan duniawi tidak dapat disebut keindahan sejati,
karena pengaruhnya banyak negatif dibanding positifnya, seperti mendatangkan
kemungkaran dan kesombongan diri. Keindahan sejati dicintai, walaupun tidak
menghasilkan keuntungan material atau kesenangan badani. Menikmati keindahan
alam danau, pegunungan yang indah misalnya tidak mendatangkan keuntungan
material, tetapi dicintai karena menyenangkan, menenangkan, dan menyehatkan
jiwa. Kelezatan, kesenangan, kepuasan yang ditimbulkan keindahan sejati
menyebabkan jiwa sehat, ahlak bertambah, pengetahuan dan kerarifan meningkat, pengalaman
rohani dan religius semakin kaya. Dalam keindahan sejati yaitu keindahan alam,
akliyah, rohaniah, dan illahiyah, manusia dapat melihat asal usulnya di alam
kerohanian yang diliputi oleh kebaikan, kebenaran, dan kesmpurnaan sesuai
ukurannya.
Imam
Ghazali melihat keindahan berdasarkan penampakan kesempurnaan dari sudut objek
sesuai dengan kualitas kesempurnaan ideal yang sepatutnya ada dalam sebuah objek.
Hal ini berlaku dalam sebuah karya seni, yang dicipta dengan maksud dan tujuan
berbeda, dan karenanya untuk fungsi yang berbeda pula dan dengan takaran bobot
dan mutu yang berbeda pula. Seekor kuda dikatakan indah sesuai sifat dan
proporsi tubuhnya yang ideal bagi seekor kuda yang tangkas dan gagah. Sekuntum bunga
dikatakan indah karena proporsi dan komposisi unsurnya ideal bagi sekuntum
bunga.
Keindahan
tertinggi menurut Imam Ghazali adalah menghubungkannya dengan peringkat kebenaran
atau pengetahuan yang ada pada karya atau pribadi yang kita nilai indah. Pengetahuan
dan kebenaran tertinggi hanya dapat ditangkap melalui indra keenam yaitu penglihatan
batin atau hati dan jiwa universal. Sebagai contoh seluruh kehidupan dan
pribadi Nabi Muhammad SAW hanya dapat dilihat nilai dan mutu keindahannya
melalui indra keenam. Dilihat secara lahiriah Nabi adalah manusia biasa karena
beliau juga makan, tidur, berumah tangga, dan memiliki keindahan seperti
manusia lainnya. Tetapi dilihat dari kehidupan spiritual dan moralnya beliau
adalah lebih dari sekedar manusia biasa. Melalui penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa penglihatan batin sangat penting dalam membangun kehidupan manusia, serta
menumbuhkan semangat religius.
Estetika
dalam Islam merupakan perjalanan dari bentuk-bentuk (sunah) menuju
hakikat segala bentuk (ma’na) dari mana manusia berasal. Dalam tradisi
Islam estetika dikaitkan dengan metafisika atau ontologi, pengetahuan dan pemahaman
tentang wujud dan peringkat-peringkatnya dari yang zahir sampai ke yang
batin. Karya seni dipahami sebagai manifestasi estetika yang paling tinggi yang
diharapkan dapat membawa penikmatnya pada tingkatan kearifan yang lebih tinggi.
Atau mendorong manusia melakukan pendakian dari yang zahir menuju yang
batin, dari alam tasybih yaitu alam dan bentuk yang dapat dicerna indra
menuju alam tanzih yaitu alam transidental yang menuntut tajamnya
kepekaan penglihatan kalbu.
Sifat
Tuhan yang Maha Indah dan merupakan wajah atau penampakan-Nya ialah al-rahman
dan al-rahim. Dengan demikian keindahan karya Tuhan dapat dilihat pada besarnya
cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya. Dalam menilai karya seni Islam azas cinta dalam
diri atau pada manusia sebagai penghasil karya seni ialah kecenderungan akan
keimanan, ketakwaan, kebahagiaan dan hasratnya untuk menegakan kebaikan dan menentang
segala bentuk keburukan, kejahilan, kezaliman, buruk sangka, dan ketidakadilan.
Seni dalam padangan ini tidak lain adalah suatu bentuk ibadah, pengabdian, dan
kepasrahan kepada Tuhan.
Apresiasi
terhadap karya sufistik saat ini sejalan dengan meningkatnya minat dan
perhatian masyarakat terhadaf tasawuf, tetapi tidak diikuti kajian terhadapnya.
Terutama kajian mendalam tentang makna dan estetikanya. Dalam sejarah
kecendikiawan Islam estetika dan hermenutika merupakan dua bidang ilmu yang
tidak terpisahkan, baik dalam penciptaan karya seni maupun dalam telaah karya
seni. Dalam pandangan cendekiawan Islam estetika selalu mempunyai kaitan dengan
epistimologi, kosmologi, psikologi, dan metafisika terutama seperti yang digagas
para filosuf sufi seperti Ibn Sina, Imam Al Ghazali dan sebagainya. Banyak yang
menempatkan seni sebagai hiburan yang dangkal, yang kelewatan sehingga
menyempurnakan proses pendangkalan budaya. Sekarang seni yang mengambil bentuk bersifat
borjuis sebagai misinya bagi kehidupan, ia berada di surga bikinan yang
dibangun dibumi untuk memenuhi kesenangan hedonisme yang antara lain meliputi
makan, berfoya-foya, dan melampiaskan nafsu rendah.
Tolok
ukur penting dari seni yang baik ialah penemuan terhadap kepribadian manusia
dan penyebab mekarnya kemungkinan-kemungkinan transenden manusia, yang
mengatasi intelek dan logika. Manusia sebagai individu yang mampu menciptakan
karya seni bukan hanya makhluk sosial tetapi juga makhluk rohani, sebagai
makhluk sosial manusia harus menjalin hubungan sesama manusia dengan seni dan
sebagai makhluk rohani harus menghubungkan diri dengan kehendak Illahi. Manusia
sebagai mahkluk Tuhan dikatakan bahwa dosa utama manusia adalah lupa. Sifat
pelupa dan acuh tak acuh membuat kita terlena dan membangun dunia impian di sekelilingnya,
yang membuat lupa akan dirinya dan akan yang seharusnya dikerjakan di dunia
ini. Manusia sebagai makhluk theomorfis tujuannya adalah merealisisr
sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia, serta mengingatkan bahwa perjalanan
hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian.
Estetika
seni Islam yang membahas tentang penghargaan bentuk seni seperti seni
kaligrafi, seni ragam hias tumbuhan dan geometrik menempati tempat istimewa,
sedangkan lukisan dan seni patung realisme dan naturalisme tidak begitu
diistemewakan dalam kehidupan Islam. Seni kaligrafi dan lukisan geometri
sepenuhnya merupakan hasil abstraksi dan imajinasi manusia. Kecintaan umat Islam
terhadap Al Qur’an mendorong pesatnya perkembangan seni kaligrafi dan menjadikan
seni kaligrafi sebagai simbol utama seni Islam dan perwujudan paling istimewa
dari esteika Islam, demikian juga dalam seni dekorasi. Secara sepintas telah
digambarkan kecenderungan estetika dalam Islam yaitu kuatnya sikap penolakan
meniru objek luar secara realis dan naturalis. Sikap ini ada kaitannya dengan
sikap
Islam
yang anti berhala atau ikonoklastis. Manusia memang cenderung menyukai
bentuk luar dan keindahan lahiriah. Tetapi seseorang yang telah dianugerahi
sikap tauchid, maka segala bentuk kesyirikan yang berkembang dalam dirinya akan
dapat dibersihkan. Penciptaan seni dalam Islam dengan bentuk-bentuk yang anti ikonografis
dan wataknya sebagai manifestasi zikir dan puji-pujian kepada Tuhan yang
Esa. Berkarya seni dalam pandangan islam adalah ungkapan ekspresi penyucian
diri dari segala bentuk berhala alam yang bersifat bendawi. Dari prinsip itu
maka lahirlah seni Islam yang bersifat dekoratif menghindari bentuk realis dan
naturalis.
Sumber:
Martono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar