Sabtu, 24 Desember 2016

Pandangan Kaum Optimis Terhadap Makna Hidup



Pandangan Kaum Optimis
Kaum optimis memandang bahwa hidup ini memiliki makna dan tujuan. Oleh karena itu, "menghidupkan" atau "menghidupi" orang adalah lebih baik daripada "mematikan"-nya. Kenyataan yang umum pada hampir setiap orang ialah pandangan bahwa hidup ini cukup berharga, sekurang-kurangnya sebelum ia menyadari bahwa ia akan berakhir dengan kematian. Kesadaran akan pasti datangnya kematian yang membuat semua kegiatan menjadi muspra itu, bagi sementara orang, memang bisa membuatnya putus asa begitu rupa sehingga akan menghalangi kemungkinannya melakukan tindakan bermakna dalam hidupnya. Tapi keputusasaan itu bukanlah suatu kemestian yang mutlak tak terhindarkan. Ia bisa dihindari, dan kebanyakan orang memang mampu menghindarinya. Sedangkan sikap berlarut-larut tenggelam dalam keputusasaan adalah suatu gejala sakit (patologis) dan tidak wajar. Dalam kewajaran, yaitu sebagaimana terjadi pada umumnya orang, bahkan ketika seseorang merasa kurang mampu sekalipun biasanya masih berusaha sedapat-dapatnya mewujudkan keinginan atau cita-citanya. Ini cermin adanya harapan, dan harapan itu bertumpu kepada pandangan bahwa hidup ini cukup berharga untuk clijalarii dengan penuh minat dan sungguh-sungguh.
Menurut kaum optimis, hidup ini berharga, karena memiliki makna dan tujuan. Tujuan hidup ialah memperoleh kebahagiaan, dan makna hidup ada dalam usaha mencapai tujuan itu. Artinya, pertanyaan tentang makna hidup dilontarkan dalam rangka memutuskan bagaimana caranya menjalani hidup. Oleh karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak mempunyai makna dan tujuan hidup. Sebab setiap orang mempunyai tujuan yang cukup berharga untuk diperjuangkan agar terwujud. Maka hidup ini cukup berharga, dan kenyataannya ialah bahwa hampir setiap orang berjuang untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya, biarpun ia mungkin merasa sengsara di dunia ini. Namun adanya harapan dalam hati menjadi penyangga kekuatan jiwanya untuk tetap hidup, kalau dapat selama mungkin, di dunia ini.
Satu hal yang menarik dalam perbincangan kaum optimis ini adalah tidak semua kaum optimis itu agamawan, kaum komunis pun termasuk dalam kelompok ini. Perbedaan antara kaum optimis yang agamawan dengan yang komunis terletak pada "sumber makna hidup". Bagi kaum agamawan, agama adalah sumber makna dan tujuan hidup, sementara bag! kaum komunis makna
dan tujuan hidup ada dan ditemukan dalam hidup pada dunia nyata ini, dan pengalaman hidup bermakna dan bertujuan itu tidak akaii melewati saat kematian. Sekalipun begitu, semua kaum optimis melihat hidup ini cukup berharga (worthwhile), dan tidak masuk akal bahwa mati adalah lebih baik daripada hidup. Hidup, bagaimana pun, adalah lebih baik daripada mati.
Friederick Nietzsche, sorang filosof eksistensialisme, misalnya, menyatakan bahwa kehidupan adalah kenikmatan yang hams dihayati sedalam-dalamnya. Seseorang yang menyatakan bawa hidup ini tidak berharga adalah mereka yang dekaden. Mereka ini seharusnya menyatakan dengan terus terang "Kami ini tak berharga". Pada hakikatnya bukan kehidupan dan
hidup ini yang salah, tetapi justru mereka sendiri yang tak mampu untuk mencapai diri setinggi-tingginya dalam hidupnya. Nietszhe berkata: "Aku ajarkan kepadamu manusia unggul, dahulu dosa yang terbesar adalah dosa melawan T\ihan, tetapi Tiihan sudah mati, dan bersama Dia matilah mereka yang berdosa itu.
Manusia kerdil adalah kaum yang lekas percaya dan menyerah pada dongeng yang tidak mengandung kebenaran. Mereka ini merasa telah membuat kebaikan dengan jalan menyerah saja kepada yang dipujanya. Mereka tidak mempunyai keberanian untuk mengarungi bahtera kehidupan. Untuk itu manusia hams bebas dari segala kekhawatiran dan rasa dosa. Mereka harus cinta kepada kehidupan, karena cinta itu berarti sanggup menanggung kenyataan bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai. Manusia harus berani menghadapi segala ancaman dan hanya karena hanya dengan itulah manusia dapat bertahan hidup. Manusia harus berani dan tidak
perlu takut karena keberanian adalah kebajikan yang unggul. Manusia tidak sekedar mau hidup, ia harus semakin kuasa lagi, dan makin kuat lagi.
Jean Paul Sartre berkata: "Realitas manusia adalah bebas, secara asasi sepenuhnya bebas". Konsekuensi kebebasan mutlak dan tak terbatas adalah tanggung jawab yang tanpa batas. Sebagai manusia yang bebas, ia dapat menjatuhkan pilihan dan bertindak atas pilihannya itu. Meskipun keputusan itu bersifat pribadi, namun pada akhirnya merupakan suatu keputusan yang
menyangkut kemanusiaan dari tanggung jawab yang tak terbatas pula kepada orang lain.
Karl Mark melihat, agama merupakan kesadaran dari perasaan pribadi manusia, di saat ia belum menemukan dirinya atau di saat ia belum kehilangan dirinya. Tetapi manusia itu bukanlah sejenis makhluk abstrak yang berdiam di luar dunia. Manusia adalah dunia manusia, negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat itu menghasilkan agama yang merupakan suatu kesadaran terhadap dunia yang tidak masuk akal Agama adalah teori umum tentang dunia realisasi fantastik manusia. Kesengsaraan religius di satu pihak adalah pernyataan dari kesengsaraan nyata, di sisi lain ia merupakan suatu protes terhadap kesengsaraan yang nyata itu. Agama adalah keluh kesah
makhluk yang tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tidak berkalbu. Agama adalah candu bagi rakyat".
Ketika manusia tidak mampu menghadapi penderitaan, kesengsaraan dan semua problem-problem sosial dan ekonomi, maka agama dapat digunakan sebagai pelipur lara dan candu bag! rakyat untuk dapat melupakan segala kesengsaraan yang sedang mereka alami. Dengan janji kebahagiaan para pendeta dan rahib itu, menurut Marx, agama membolehkan manusia mencapai kodratnya yang sejati, sebagai makhluk yang tertinggi sekaligus sebagai pencipta dunia.
Tampaknya kritikan, celaan dan penolakan Marx terhadap agama didasari oleh humanisme, yang memandang bahwa manusia harus dikembalikan kepada asalnya yang sejati. Marx melihat bahwa manusia sebagai makhluk sosial terkungkung oleh struktur sosial itu sendiri, sehingga ia tidak menemukan kesejatian dirinya dalam struktur tersebut. Agama dan negara adalah struktur yang menjadi faktor yang paling berpengaruh dan mengeksploitasi jati diri manusia. Dengan menghilangkan struktur sosial dan kelas-kelas dalam masyarakat manusia kembali ke alam kesejatiannya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Secara otomatis, khayalan tentang janji-janji agama akan hilang.
Sumber: Andewi Suhartini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar