Pandangan
Kaum Optimis
Kaum
optimis memandang bahwa hidup ini memiliki makna dan tujuan. Oleh karena itu,
"menghidupkan" atau "menghidupi" orang adalah lebih baik daripada "mematikan"-nya.
Kenyataan yang umum pada hampir setiap orang ialah pandangan bahwa hidup ini cukup berharga, sekurang-kurangnya sebelum ia menyadari bahwa ia akan
berakhir dengan kematian. Kesadaran akan
pasti datangnya kematian yang membuat semua kegiatan menjadi muspra itu, bagi sementara orang,
memang bisa membuatnya putus asa begitu rupa
sehingga akan menghalangi kemungkinannya melakukan tindakan bermakna dalam hidupnya. Tapi keputusasaan itu bukanlah suatu
kemestian yang mutlak tak
terhindarkan. Ia bisa dihindari, dan kebanyakan orang memang mampu menghindarinya. Sedangkan sikap berlarut-larut
tenggelam dalam keputusasaan adalah
suatu gejala sakit (patologis) dan tidak wajar. Dalam kewajaran, yaitu sebagaimana terjadi pada umumnya orang,
bahkan ketika seseorang merasa
kurang mampu sekalipun biasanya masih berusaha sedapat-dapatnya mewujudkan keinginan atau cita-citanya. Ini
cermin adanya harapan, dan harapan
itu bertumpu kepada pandangan bahwa hidup ini cukup berharga untuk clijalarii dengan penuh minat dan sungguh-sungguh.
Menurut
kaum optimis, hidup ini berharga, karena memiliki makna dan tujuan. Tujuan hidup ialah memperoleh kebahagiaan, dan makna
hidup ada dalam usaha mencapai
tujuan itu. Artinya, pertanyaan tentang makna hidup dilontarkan dalam rangka memutuskan bagaimana caranya menjalani hidup. Oleh karena itu, hampir tidak
ada orang yang tidak mempunyai makna dan
tujuan hidup. Sebab setiap orang mempunyai tujuan yang cukup berharga untuk
diperjuangkan agar terwujud. Maka hidup ini cukup berharga, dan kenyataannya ialah bahwa hampir setiap
orang berjuang untuk mempertahankan dan
meningkatkan taraf hidupnya, biarpun ia mungkin merasa sengsara di dunia ini. Namun adanya harapan dalam hati menjadi
penyangga kekuatan jiwanya untuk
tetap hidup, kalau dapat selama mungkin, di dunia ini.
Satu
hal yang menarik dalam perbincangan kaum optimis ini adalah tidak semua kaum optimis itu agamawan, kaum komunis pun termasuk
dalam kelompok ini. Perbedaan antara
kaum optimis yang agamawan dengan yang komunis
terletak pada "sumber makna hidup". Bagi kaum agamawan, agama adalah sumber makna dan tujuan hidup,
sementara bag! kaum komunis makna
dan
tujuan hidup ada dan ditemukan dalam hidup pada dunia nyata ini, dan pengalaman
hidup bermakna dan bertujuan itu tidak akaii melewati saat kematian. Sekalipun
begitu, semua kaum optimis melihat hidup ini cukup berharga (worthwhile), dan
tidak masuk akal bahwa mati adalah lebih baik daripada hidup. Hidup, bagaimana
pun, adalah lebih baik daripada mati.
Friederick
Nietzsche, sorang filosof eksistensialisme, misalnya, menyatakan bahwa
kehidupan adalah kenikmatan yang hams dihayati sedalam-dalamnya. Seseorang yang
menyatakan bawa hidup ini tidak berharga adalah mereka yang dekaden. Mereka ini
seharusnya menyatakan dengan terus terang "Kami ini tak berharga".
Pada hakikatnya bukan kehidupan dan
hidup
ini yang salah, tetapi justru mereka sendiri yang tak mampu untuk mencapai diri
setinggi-tingginya dalam hidupnya. Nietszhe berkata: "Aku ajarkan kepadamu
manusia unggul, dahulu dosa yang terbesar adalah dosa melawan T\ihan, tetapi
Tiihan sudah mati, dan bersama Dia matilah mereka yang berdosa itu.
Manusia
kerdil adalah kaum yang lekas percaya dan menyerah pada dongeng yang tidak
mengandung kebenaran. Mereka ini merasa telah membuat kebaikan dengan jalan
menyerah saja kepada yang dipujanya. Mereka tidak mempunyai keberanian untuk
mengarungi bahtera kehidupan. Untuk itu manusia hams bebas dari segala
kekhawatiran dan rasa dosa. Mereka harus cinta kepada kehidupan, karena cinta
itu berarti sanggup menanggung kenyataan bahwa manusia bukanlah sesuatu yang
sudah selesai. Manusia harus berani menghadapi segala ancaman dan hanya karena
hanya dengan itulah manusia dapat bertahan hidup. Manusia harus berani dan
tidak
perlu
takut karena keberanian adalah kebajikan yang unggul. Manusia tidak sekedar mau
hidup, ia harus semakin kuasa lagi, dan makin kuat lagi.
Jean
Paul Sartre berkata: "Realitas manusia adalah bebas, secara asasi sepenuhnya
bebas". Konsekuensi kebebasan mutlak dan tak terbatas adalah tanggung
jawab yang tanpa batas. Sebagai manusia yang bebas, ia dapat menjatuhkan
pilihan dan bertindak atas pilihannya itu. Meskipun keputusan itu bersifat
pribadi, namun pada akhirnya merupakan suatu keputusan yang
menyangkut
kemanusiaan dari tanggung jawab yang tak terbatas pula kepada orang lain.
Karl
Mark melihat, agama merupakan kesadaran dari perasaan pribadi manusia, di saat
ia belum menemukan dirinya atau di saat ia belum kehilangan dirinya. Tetapi
manusia itu bukanlah sejenis makhluk abstrak yang berdiam di luar dunia.
Manusia adalah dunia manusia, negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat itu
menghasilkan agama yang merupakan suatu kesadaran terhadap dunia yang tidak
masuk akal Agama adalah teori umum tentang dunia realisasi fantastik manusia. Kesengsaraan
religius di satu pihak adalah pernyataan dari kesengsaraan nyata, di sisi lain
ia merupakan suatu protes terhadap kesengsaraan yang nyata itu. Agama adalah
keluh kesah
makhluk
yang tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tidak berkalbu. Agama adalah candu
bagi rakyat".
Ketika
manusia tidak mampu menghadapi penderitaan, kesengsaraan dan semua
problem-problem sosial dan ekonomi, maka agama dapat digunakan sebagai pelipur
lara dan candu bag! rakyat untuk dapat melupakan segala kesengsaraan yang
sedang mereka alami. Dengan janji kebahagiaan para pendeta dan rahib itu,
menurut Marx, agama membolehkan manusia mencapai kodratnya yang sejati, sebagai
makhluk yang tertinggi sekaligus sebagai pencipta dunia.
Tampaknya
kritikan, celaan dan penolakan Marx terhadap agama didasari oleh humanisme, yang
memandang bahwa manusia harus dikembalikan kepada asalnya yang sejati. Marx
melihat bahwa manusia sebagai makhluk sosial terkungkung oleh struktur sosial
itu sendiri, sehingga ia tidak menemukan kesejatian dirinya dalam struktur
tersebut. Agama dan negara adalah struktur yang menjadi faktor yang paling
berpengaruh dan mengeksploitasi jati diri manusia. Dengan menghilangkan
struktur sosial dan kelas-kelas dalam masyarakat manusia kembali ke alam
kesejatiannya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Secara otomatis, khayalan tentang
janji-janji agama akan hilang.
Sumber:
Andewi Suhartini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar