Minggu, 04 Desember 2016

Kelompok Theodicist dan Kelompok Anti-Theodicist



Theodicist adalah penganut gagasan Theodicea. Theodicea adalah penelaahan filsafiah yang membela adanya Allah melawan mereka yang menolak adanya Allah oleh karena kejahatan di atas dunia. Istilah Theodicea sendiri digunakan pertama kali oleh filsuf Leibniz dalam karyanya “Essais de theodicee“ ketika dia mempermasalahkan Allah yang maha baik di satu pihak dan adanya kejahatan di atas dunia di pihak lain. Pertanyaan Leibniz: “Si Deus est, unde malum? Si Deus non est, unde bonum? (Jika Allah ada, mengapa ada kejahatan? Jika Allah tidak ada, mengapa ada kebaikan?). Kelompok theodicist pada umumnya kaum Theist (kaum yang percaya akan adanya Allah). Anti-theodicist adalah para penganut yang menolak gagasan Theodicea, dan pada umumnya mereka ini adalah kaum Atheist.
Alasan mengapa kita mau berbicara tentang pokok ini pada bagian ini ialah bahwa tema kita “Bencana, kesalahan manusia atau rencana Allah“ disuguhkan kepada pembaca di tanah air yang semuanya percaya kepada Tuhan. Kita semua adalah kelompok Theist yang mendukung keyakinan akan adanya Allah meskipun ada kejahatan di atas dunia. Tetapi dunia kita dewasa ini dibangkitkan lagi oleh diskusi-diskusi mutakhir di bidang filsafat ketuhanan tentang satu tema lama. Pengalaman pahit manusia akan bencana yang menimpanya bertubi-tubi membuat manusia, khususnya para pemikir, mempersoalkan kembali peranan Allah dalam hidup mereka.
Tema lama itu ialah tentang kejahatan di atas dunia dan kaitannya dengan keyakinan akan adanya Allah. Orang beriman percaya bahwa Allah itu maha tahu, maha kuasa dan maha baik. Kelompok anti-theodicist menyerang pernyataan kaum beriman tersebut ketika mereka mengkonfrontir pernyataan itu dengan kenyataan kejahatan di atas dunia. Argumentasi mereka ialah bahwa, bila Allah maha tahu, pasti Ia tahu juga tentang situasi dan kondisi ketika kejahatan dan bencana terjadi. Tetapi Ia tidak maha tahu, sehingga Ia tidak bertindak untuk mencegah kejahatan dan bencana. Jika Ia maha kuasa, mengapa Ia tidak mampu mengatasi kejahatan. Kejahatan dan bencana merupakan tanda ketikdakberdayaan Allah untuk mengatasinya. Jika Ia maha baik, mengapa Ia membiarkan kejahatan dan bencana membawa penderitaan dan kemalangan bagi manusia. Kesimpulan mereka ialah bahwa kejahatan dan bencana yang ada di atas bumi tidak dapat sejalan atau tidak dapat dipadukan dengan pengakuan akan adanya Allah yang berkarakter maha tahu, maha kuasa dan maha baik. Karena itu, Allah tidak ada. Bila Dia ada, Dia itu pun tidak maha tahu, tidak maha kuasa dan tidak maha baik.
Satu naskah klasik tulisan Epikuros (341- 271 Seb.M) diangkat lagi dalam diskusi antara kelompok Theodicist dan Anti-Theodicist dewasa ini. Bila Allah ada, maka salah satu dari empat kemungkinan berikut ini dapat dikenakan pada Allah ketika keberadaanNya dikaitkan dengan kejahatan dan bencana di atas dunia. Pertama, Allah mau meniadakan kejahatan tetapi
Ia tidak mampu. Kedua, Allah mampu meniadakan kejahatan, tetapi Dia tidak mau. Ketiga, Allah tidak mampu meniadakan kejahatan dan juga tidak mau meniadakan kejahatan. Keempat, Allah mampu meniadakan kejahatan dan juga mau meniadakan kejahatan. Bila Allah mau meniadakan kejahatan tetapi Dia tidak mampu, maka Allah yang demikian adalah Allah yang tidak berdaya dan sama sekali tidak maha kuasa. Bila Allah mampu meniadakan kejahatan, tetapi tidak mau menghilangkan kejahatan, maka Allah yang demikian adalah Allah yang jahat hati atau tidak baik dan sama sekali tidak maha baik. Bila Allah tidak mau dan juga tidak mampu menghilangkan kejahatan, maka Allah yang demikian adalah Allah yang jahat dan sekaligus juga Allah yang tidak berdaya; Ia sama sekali tidak maha baik dan tidak maha kuasa. Bila Allah mampu meniadakan kejahatan dan juga mau menghilangkan kejahatan, maka Allah yang demikian adalah Allah yang maha kuasa dan maha baik.
Kemungkinan satu sampai tiga dijabarkan kembali dewasa ini oleh kelompok anti-theodicist; mereka terutama menekankan kemungkinan ketiga, yaitu bahwa Allah tidak mampu menghilangkan kejahatan dan juga tidak mau menghilangkan kejahatan. Argumentasi mereka bertolak dari prinsip moral yang dikenakan pada Allah sebagai kebaikan tertinggi. Ada dua argumentasi penting yang mereka kemukakan dengan dasar moral yang dikenakan pada Allah. Pertama, adanya kejahatan baik kejahatan fisis maupun kejahatan moral bertentangan dengan prinsip moral yang ada pada Allah. Bila Allah itu pencipta segala sesuatu, maka ciptaannya seharusnya tidak melakukan kejahatan. Tetapi kenyataannya ialah bahwa ciptaan terutama manusia dapat berbuat jahat. Itu berarti Allah secara tidak langsung menciptakan kejahatan dengan menanamkan potensi yang ada dalam ciptaan untuk berbuat jahat dan membawa bencana. Alasan kedua ialah bahwa tidaklah dapat dibenarkan untuk menciptakan satu dunia yang penuh dengan kejahatan dan bencana. Hal ini berarti bahwa Allah sebagai pencipta membiarkan makhluk ciptaan terutama manusia untuk bertindak jahat dan membawa bencana bagi yang lain. Kesimpulan para antitheodicist ialah bahwa bencana sebagai manifestasi dari kejahatan selain merupakan kesalahan manusia, juga merupakan rencana Allah. Jika bencana itu merupakan rencana Allah, bencana itu pun menurut para antitheodicist mengungkapkan satu prinsip moral yang tidak baik dalam diri Allah. Lalu, timbullah keragu-raguan, bahkan penolakan bahwa apakah ada Allah yang berkwalitas moral semacam itu.
Para theodicist tentu menolak argumentasi para anti-theodicist tersebut. Mereka masih mempertahankan keyakinan bahwa adanya kejahatan dan bencana di atas dunia sama sekali tidak bertentangan dengan keberadaan Allah sebagai Allah yang maha baik dan maha kuasa. Kemungkinan keempat dari kebijaksanaan Epikuros dipertahankan. Allah mampu meng-hilangkan kejahatan dan juga mau meniadakan kejahatan. Argumentasi para theodicist adalah bahwa makhluk ciptaan terutama manusia diberi kebebasan oleh Allah seluas-luasnya. Karena makhluk ciptaan itu memiliki kebebasan seluas-luasnya, maka ada potensi yang manusia miliki untuk berbuat jahat. Kejahatan dan bencana tidak mungkin berasal dari rencana Allah, tetapi merupakan akibat dari penggunaan kebebasan yang diberikan oleh Allah. Argumentasi ini dilengkapi lagi oleh gagasan bahwa Allah membiarkan adanya kejahatan dan bencana untuk menghasilkan kebaikan dan keuntungan yang lebih besar bagi makhluk ciptaan. Manusia bisa menemukan pengetahuan dan sarana untuk melawan kejahatan dan mengatasi bencana. Untuk mendukung gagasan bahwa Allah tetap maha baik meskipun ada kejahatan dan bencana yang menimpa dunia ciptaan, para theodicist mengemukakan lagi alasan lain bahwa tidaklah mungkin terbina satu etika kemanusiaan seperti cinta kasih, belas kasih, pengampunan, solidaritas, pengorbanan diri, kesabaran, kepercayaan dsb, jika seandainya tidak ada kejahaatan dan bencana. Allah membiarkan kejahatan dan bencana untuk memupuk sikap-sikap seperti itu dalam diri manusia. Allah mendidik manusia melalui kejahatan dan bencana. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kejahatan dan bencana bisa saja masuk dalam penyelenggaran dan rencana Allah untuk tujuan tersebut.

Sumber: Donatus Sermada Kelen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar