Theodicist adalah penganut gagasan Theodicea. Theodicea adalah penelaahan
filsafiah yang membela adanya Allah melawan mereka yang menolak
adanya Allah oleh karena kejahatan di atas dunia. Istilah Theodicea sendiri
digunakan pertama kali oleh filsuf Leibniz dalam karyanya “Essais de
theodicee“ ketika dia mempermasalahkan Allah yang maha baik di satu pihak
dan adanya kejahatan di atas dunia di pihak lain. Pertanyaan Leibniz: “Si
Deus est, unde malum? Si Deus non est, unde bonum? (Jika Allah ada, mengapa
ada kejahatan? Jika Allah tidak ada, mengapa ada kebaikan?). Kelompok
theodicist pada umumnya kaum Theist (kaum yang percaya akan adanya
Allah). Anti-theodicist adalah para penganut yang menolak gagasan Theodicea,
dan pada umumnya mereka ini adalah kaum Atheist.
Alasan mengapa kita mau berbicara tentang pokok ini pada bagian ini ialah
bahwa tema kita “Bencana, kesalahan manusia atau rencana Allah“ disuguhkan
kepada pembaca di tanah air yang semuanya percaya kepada Tuhan.
Kita semua adalah kelompok Theist yang mendukung keyakinan akan
adanya Allah meskipun ada kejahatan di atas dunia. Tetapi dunia kita
dewasa ini dibangkitkan lagi oleh diskusi-diskusi mutakhir di bidang filsafat
ketuhanan tentang satu tema lama. Pengalaman pahit manusia akan bencana
yang menimpanya bertubi-tubi membuat manusia, khususnya para pemikir,
mempersoalkan kembali peranan Allah dalam hidup mereka.
Tema lama itu ialah tentang kejahatan di atas dunia dan kaitannya dengan
keyakinan akan adanya Allah. Orang beriman percaya bahwa Allah
itu maha tahu, maha kuasa dan maha baik. Kelompok anti-theodicist menyerang
pernyataan kaum beriman tersebut ketika mereka mengkonfrontir
pernyataan itu dengan kenyataan kejahatan di atas dunia. Argumentasi
mereka ialah bahwa, bila Allah maha tahu, pasti Ia tahu juga tentang
situasi dan kondisi ketika kejahatan dan bencana terjadi. Tetapi Ia tidak
maha tahu, sehingga Ia tidak bertindak untuk mencegah kejahatan dan
bencana. Jika Ia maha kuasa, mengapa Ia tidak mampu mengatasi kejahatan.
Kejahatan dan bencana merupakan tanda ketikdakberdayaan Allah
untuk mengatasinya. Jika Ia maha baik, mengapa Ia membiarkan kejahatan
dan bencana membawa penderitaan dan kemalangan bagi manusia.
Kesimpulan mereka ialah bahwa kejahatan dan bencana yang ada di
atas bumi tidak dapat sejalan atau tidak dapat dipadukan dengan pengakuan
akan adanya Allah yang berkarakter maha tahu, maha kuasa dan
maha baik. Karena itu, Allah tidak ada. Bila Dia ada, Dia itu pun tidak maha
tahu, tidak maha kuasa dan tidak maha baik.
Satu naskah klasik tulisan Epikuros (341- 271 Seb.M) diangkat lagi dalam
diskusi antara kelompok Theodicist dan Anti-Theodicist dewasa ini. Bila
Allah ada, maka salah satu dari empat kemungkinan berikut ini dapat dikenakan
pada Allah ketika keberadaanNya dikaitkan dengan kejahatan dan
bencana di atas dunia. Pertama, Allah
mau meniadakan kejahatan tetapi
Ia
tidak mampu. Kedua, Allah
mampu meniadakan kejahatan, tetapi Dia tidak mau. Ketiga, Allah tidak mampu meniadakan
kejahatan dan juga tidak mau meniadakan kejahatan. Keempat, Allah mampu meniadakan kejahatan
dan juga mau meniadakan kejahatan. Bila Allah mau meniadakan kejahatan tetapi
Dia tidak mampu, maka Allah yang demikian adalah Allah yang tidak berdaya dan
sama sekali tidak maha kuasa. Bila Allah mampu meniadakan kejahatan, tetapi tidak
mau menghilangkan kejahatan, maka Allah yang demikian adalah Allah yang jahat
hati atau tidak baik dan sama sekali tidak maha baik. Bila Allah tidak mau dan
juga tidak mampu menghilangkan kejahatan, maka Allah yang demikian adalah Allah
yang jahat dan sekaligus juga Allah yang tidak berdaya; Ia sama sekali tidak
maha baik dan tidak maha kuasa. Bila Allah mampu meniadakan kejahatan dan juga
mau menghilangkan kejahatan, maka Allah yang demikian adalah Allah yang maha
kuasa dan maha baik.
Kemungkinan satu sampai tiga dijabarkan kembali dewasa ini oleh kelompok
anti-theodicist; mereka terutama menekankan kemungkinan ketiga, yaitu bahwa
Allah tidak mampu menghilangkan kejahatan dan juga tidak mau menghilangkan
kejahatan. Argumentasi mereka bertolak dari prinsip moral yang dikenakan pada
Allah sebagai kebaikan tertinggi. Ada dua argumentasi penting yang mereka
kemukakan dengan dasar moral yang dikenakan pada Allah. Pertama, adanya kejahatan baik kejahatan fisis maupun kejahatan
moral bertentangan dengan prinsip moral yang ada pada Allah. Bila Allah itu
pencipta segala sesuatu, maka ciptaannya seharusnya tidak melakukan kejahatan.
Tetapi kenyataannya ialah bahwa ciptaan terutama manusia dapat berbuat jahat.
Itu berarti Allah secara tidak langsung menciptakan kejahatan dengan menanamkan
potensi yang ada dalam ciptaan untuk berbuat jahat dan membawa bencana. Alasan kedua ialah bahwa tidaklah dapat
dibenarkan untuk menciptakan satu dunia yang penuh dengan kejahatan dan
bencana. Hal ini berarti bahwa Allah sebagai pencipta membiarkan makhluk
ciptaan terutama manusia untuk bertindak jahat dan membawa bencana bagi yang
lain. Kesimpulan para antitheodicist ialah bahwa bencana sebagai manifestasi
dari kejahatan selain merupakan kesalahan manusia, juga merupakan rencana
Allah. Jika bencana itu merupakan rencana Allah, bencana itu pun menurut para
antitheodicist mengungkapkan satu prinsip moral yang tidak baik dalam diri Allah.
Lalu, timbullah keragu-raguan, bahkan penolakan bahwa apakah ada Allah yang
berkwalitas moral semacam itu.
Para theodicist tentu menolak argumentasi para anti-theodicist
tersebut. Mereka masih mempertahankan keyakinan bahwa adanya kejahatan dan bencana
di atas dunia sama sekali tidak bertentangan dengan keberadaan Allah sebagai
Allah yang maha baik dan maha kuasa. Kemungkinan keempat dari kebijaksanaan Epikuros dipertahankan. Allah mampu meng-hilangkan
kejahatan dan juga mau meniadakan kejahatan. Argumentasi para theodicist adalah
bahwa makhluk ciptaan terutama manusia diberi kebebasan oleh Allah
seluas-luasnya. Karena makhluk ciptaan itu memiliki kebebasan seluas-luasnya,
maka ada potensi yang manusia miliki untuk berbuat jahat. Kejahatan dan bencana
tidak mungkin berasal dari rencana Allah, tetapi merupakan akibat dari
penggunaan kebebasan yang diberikan oleh Allah. Argumentasi ini dilengkapi lagi
oleh gagasan bahwa Allah membiarkan adanya kejahatan dan bencana untuk menghasilkan
kebaikan dan keuntungan yang lebih besar bagi makhluk ciptaan. Manusia bisa
menemukan pengetahuan dan sarana untuk melawan kejahatan dan mengatasi bencana.
Untuk mendukung gagasan bahwa Allah tetap maha baik meskipun ada kejahatan dan
bencana yang menimpa dunia ciptaan, para theodicist mengemukakan lagi alasan
lain bahwa tidaklah mungkin terbina satu etika kemanusiaan seperti cinta kasih,
belas kasih, pengampunan, solidaritas, pengorbanan diri, kesabaran, kepercayaan
dsb, jika seandainya tidak ada kejahaatan dan bencana. Allah membiarkan kejahatan
dan bencana untuk memupuk sikap-sikap seperti itu dalam diri manusia. Allah
mendidik manusia melalui kejahatan dan bencana. Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa kejahatan dan bencana bisa saja masuk dalam penyelenggaran
dan rencana Allah untuk tujuan tersebut.
Sumber:
Donatus Sermada Kelen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar