Kita mengerti lebih dahulu makna beberapa istilah yang disebut pada bagian
ini. Kosmologi berarti ilmu tentang alam semesta atau ilmu tentang kosmos.
Para ilmuwan meneliti asal-usul alam semesta, proses perkembangannya
dan elemen-elemen yang membentuk alam semesta termasuk
segala sesuatu yang berada di alam semesta ini. Ilmu pengetahuan alam
seperti fisika, biologi, astronomi, geophisika, kimia dsb. Merupakan bagian
kosmologi, yaitu bagian dari penelitian ilmiah terhadap kosmos. Tetapi
kosmologi memuat juga dimensi filosofisnya. Ketika kita berfilsafat tentang
alam semesta, maka kita turut mengembangkan satu sistem filsafat tentang
alam semesta; cabang filsafat yang bergelut tentang alam semesta disebut
filsafat kosmologi atau filsafat alam dunia. Hal yang diteliti dalam filsafat
alam semesta adalah inti sari atau hakekat dan struktur dasar dari seluruh
alam semesta, hakekat dan struktur dasar yang melampaui dunia fisis
alam ini; itu berarti satu dunia meta-physis yang mendasari alam semesta
yang konkrit ini.
Kita menyebut dalam pokok ini “kosmologi post-modernisme“. Istilah ini
hanya menunjukkan kepada kita bahwa ada perbedaan mendasar kosmologi
dalam era modernisme dan kosmologi dalam era postmodernisme. Tentu
kita tidak bermaksud untuk menjelaskan seluruh traktat
tentang filsafat modernisme dan filsafat post-modernisme. Kita hanya
memperlihatkan perbedaan gambaran atau perlukisan tentang alam semesta
dalam era modernisme dan dalam era post-modernisme, dan dari gambaran
yang berbeda ini kita menarik satu kesimpulan yang dapat kita kenakan
untuk penafsiran apakah bencana itu memang hasil kesalahan manusia
atau rencana Allah di balik itu.
Kosmologi dalam era modernisme ditandai oleh apa yang menjadi ciri khas
modernisme. Era modernisme adalah era ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Kekuatan dan kemampuan akal budi manusia begitu kuat dipercayai
dan diagung-agungkan, karena berhasil menembusi rahasia-rahasia alam
melalui penelitian alam, eksplorasi alam, eksperimen, penemuan
sarana tekhnik dan pemanfaatan alam untuk kepentingan manusia.
Abad-abad ini, khususnya abad 19 dan 20, ditandai oleh berbagai macam
spesialisasi ilmu pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan khusus sebagai
bagian dari ilmu-ilmu terapan untuk menggali dan mengolah alam semesta
ini. Maka, kita bisa saksikan perkembangan pesat di berbagai macam
bidang ilmu seperti di bidang fisika, biologi, astronomi, geologi, dsb,
bahkan di tiap-tiap bidang ilmu seperti biologi masih lagi ada spesifikasinya
(bio-kemis, bio-molekular, bio-tekhnik dsb.). Kosmologi dalam
era modernisme ini lalu menjadi satu ilmu untuk meneliti dan mengeksplorasi
alam menurut cabang-cabang ilmu sesuai dengan kekhasan dan
metode dari cabang ilmu itu. Akibatnya ialah bahwa gambaran dan perlukisan
tentang alam semesta tidaklah bersifat holistik (menyeluruh), tetapi
bersifat fragmentaris dan parsial, yaitu terpotong-potong dan sebagian
saja. Tiap ilmu memiliki perlukisannya sendiri tentang alam semesta
menurut sudut pandang ilmunya.
Gambaran tentang alam semesta yang demikian disebabkan juga oleh pemahaman
dasar tentang manusia dalam alam semesta. Manusia dilihat sebagai
mahkota ciptaan dan diberi tugas oleh Allah untuk menguasai dunia.
Dia menjadi tuan atas alam semesta, dan karena itu, adalah tugasnya untuk
menaklukkan alam melalui pengetahuan dan tekhniknya. Pengurasan
alam, bencana alam dan peperangan dsb., adalah hasil dari penerapan
semangat “menguasai dan menaklukkan“ dunia. Dalam semangat
itu juga, keyakinan bahwa ada rencana Allah dalam seluruh gerak-gerik
alam, semakin menipis. Bencana terjadi karena hukum alam dan
akibat perbuatan manusia.
Perlukisan alam dalam era modernisme itu berubah pada masa kini yang
disebut sebagai era post-modernisme. Perubahan ini sejalan dengan pendirian
dasar filsafat post-modernisme. Kekuatan akal budi yang telah menghasilkan
ilmu pengetahuan dan tekhnik dalam era modernism menemui
batas-batasnya, dan manusia mulai menemukan kembali posisinya
yang lebih bersahabat dengan alam dari pada sebelumnya. Bila dalam
era modernisme manusia menjadi tuan atas alam, maka dalam era post-modernisme
manusia memandang diri sebagai “bagian dari alam“; dia
tidak berdiri sebagai penakluk atau penguasa alam. Dia berusaha berdamai
dengan alam dan bersolider dengannya. Dengan itu, dia mengambil
langkah-langkah yang membuat alam bersahabat dengannya.
Dengan pemahaman dasar ini, manusia memandang alam semesta secara
lain. Ia tidak mengabsolutir cara ilmu pengetahuan dan tekhnik dalam
melihat alam. Manusia tidak meninggalkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,
tetapi tidak mendewakannya, malah mengembangkan pengamatan,
penelitian, dan pemahaman yang bersifat interdisipliner untuk menemukan
satu pemahaman yang bersifat “menyeluruh“ (holistik) tentang
alam semesta dan mengurangkan pemahaman yang bersifat fragmentaris.
Itu berarti bahwa ada ruang juga untuk cara pemahaman yang
bersifat metafisis-religius, karena selengkap-lengkapnya manusia menangkap
dan mengerti alam semesta, dia terbentur pada batas-batasnya. Dan di balik
keterbatasannya, ia memberi tempat untuk penampakkan diri Allah
dalam alam semesta. Di sinilah letak dimensi religius dari satu kosmologi
yang dibangun dengan semangat post-modernisme.
Lalu, kita kembali kepada pertanyaan tema kita. Dalam terang satu kosmologi
yang berdimensi religius ini, apakah bencana itu kesalahan manusia
atau rencana Allah? Jawabannya ialah bahwa bencana itu bisa merupakan
kesalahan manusia dan rencana Allah. Bisa juga kesalahan manusia
semata dan bukan rencana Allah. Bisa juga bukan kesalahan manusia
tapi rencana Allah semata. Bisa juga bukan kesalahan manusia dan
bukan juga rencana Allah. Argumentasinya ialah bahwa cara pandang kita
terhadap alam dalam semangat post-modernisme tidak hanya bersifat ilmiah,
tetapi melibatkan juga cara pandang filosofis-religius, yaitu cara penafsiran
yang terus menerus terhadap alam sesuai dengan pengalaman religius
pribadi seseorang ketika berhadapan dengan bencana. Bisa saja satu
bencana yang menimpa manusia tertentu merupakan satu penyelenggaraan
ilahi untuk orang bersangkutan, atau bisa saja bencana itu
merupakan kesalahan manusia sendiri semata tanpa ada sangkut pautnya
dengan rencana Allah, bisa juga bencana itu merupakan kesalahan manusia
dan sekaligus juga penyelenggaraan ilahi untuk manusia yang mengalami
bencana itu. Singkatnya, terdapat rupa-rupa penafsiran terhadap
bencana, dan semua penafsiran itu mendapat tempat dalam kosmologi
yang berdimensi religius ini.
Sumber:
Donatus Sermada Kelen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar