Minggu, 04 Desember 2016

Kosmologi Post-Modernisme: Satu Kosmologi dengan Dimensi Religius



Kita mengerti lebih dahulu makna beberapa istilah yang disebut pada bagian ini. Kosmologi berarti ilmu tentang alam semesta atau ilmu tentang kosmos. Para ilmuwan meneliti asal-usul alam semesta, proses perkembangannya dan elemen-elemen yang membentuk alam semesta termasuk segala sesuatu yang berada di alam semesta ini. Ilmu pengetahuan alam seperti fisika, biologi, astronomi, geophisika, kimia dsb. Merupakan bagian kosmologi, yaitu bagian dari penelitian ilmiah terhadap kosmos. Tetapi kosmologi memuat juga dimensi filosofisnya. Ketika kita berfilsafat tentang alam semesta, maka kita turut mengembangkan satu sistem filsafat tentang alam semesta; cabang filsafat yang bergelut tentang alam semesta disebut filsafat kosmologi atau filsafat alam dunia. Hal yang diteliti dalam filsafat alam semesta adalah inti sari atau hakekat dan struktur dasar dari seluruh alam semesta, hakekat dan struktur dasar yang melampaui dunia fisis alam ini; itu berarti satu dunia meta-physis yang mendasari alam semesta yang konkrit ini.
Kita menyebut dalam pokok ini “kosmologi post-modernisme“. Istilah ini hanya menunjukkan kepada kita bahwa ada perbedaan mendasar kosmologi dalam era modernisme dan kosmologi dalam era postmodernisme. Tentu kita tidak bermaksud untuk menjelaskan seluruh traktat tentang filsafat modernisme dan filsafat post-modernisme. Kita hanya memperlihatkan perbedaan gambaran atau perlukisan tentang alam semesta dalam era modernisme dan dalam era post-modernisme, dan dari gambaran yang berbeda ini kita menarik satu kesimpulan yang dapat kita kenakan untuk penafsiran apakah bencana itu memang hasil kesalahan manusia atau rencana Allah di balik itu.
Kosmologi dalam era modernisme ditandai oleh apa yang menjadi ciri khas modernisme. Era modernisme adalah era ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Kekuatan dan kemampuan akal budi manusia begitu kuat dipercayai dan diagung-agungkan, karena berhasil menembusi rahasia-rahasia alam melalui penelitian alam, eksplorasi alam, eksperimen, penemuan sarana tekhnik dan pemanfaatan alam untuk kepentingan manusia. Abad-abad ini, khususnya abad 19 dan 20, ditandai oleh berbagai macam spesialisasi ilmu pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan khusus sebagai bagian dari ilmu-ilmu terapan untuk menggali dan mengolah alam semesta ini. Maka, kita bisa saksikan perkembangan pesat di berbagai macam bidang ilmu seperti di bidang fisika, biologi, astronomi, geologi, dsb, bahkan di tiap-tiap bidang ilmu seperti biologi masih lagi ada spesifikasinya (bio-kemis, bio-molekular, bio-tekhnik dsb.). Kosmologi dalam era modernisme ini lalu menjadi satu ilmu untuk meneliti dan mengeksplorasi alam menurut cabang-cabang ilmu sesuai dengan kekhasan dan metode dari cabang ilmu itu. Akibatnya ialah bahwa gambaran dan perlukisan tentang alam semesta tidaklah bersifat holistik (menyeluruh), tetapi bersifat fragmentaris dan parsial, yaitu terpotong-potong dan sebagian saja. Tiap ilmu memiliki perlukisannya sendiri tentang alam semesta menurut sudut pandang ilmunya.
Gambaran tentang alam semesta yang demikian disebabkan juga oleh pemahaman dasar tentang manusia dalam alam semesta. Manusia dilihat sebagai mahkota ciptaan dan diberi tugas oleh Allah untuk menguasai dunia. Dia menjadi tuan atas alam semesta, dan karena itu, adalah tugasnya untuk menaklukkan alam melalui pengetahuan dan tekhniknya. Pengurasan alam, bencana alam dan peperangan dsb., adalah hasil dari penerapan semangat “menguasai dan menaklukkan“ dunia. Dalam semangat itu juga, keyakinan bahwa ada rencana Allah dalam seluruh gerak-gerik alam, semakin menipis. Bencana terjadi karena hukum alam dan akibat perbuatan manusia.
Perlukisan alam dalam era modernisme itu berubah pada masa kini yang disebut sebagai era post-modernisme. Perubahan ini sejalan dengan pendirian dasar filsafat post-modernisme. Kekuatan akal budi yang telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan tekhnik dalam era modernism menemui batas-batasnya, dan manusia mulai menemukan kembali posisinya yang lebih bersahabat dengan alam dari pada sebelumnya. Bila dalam era modernisme manusia menjadi tuan atas alam, maka dalam era post-modernisme manusia memandang diri sebagai “bagian dari alam“; dia tidak berdiri sebagai penakluk atau penguasa alam. Dia berusaha berdamai dengan alam dan bersolider dengannya. Dengan itu, dia mengambil langkah-langkah yang membuat alam bersahabat dengannya.
Dengan pemahaman dasar ini, manusia memandang alam semesta secara lain. Ia tidak mengabsolutir cara ilmu pengetahuan dan tekhnik dalam melihat alam. Manusia tidak meninggalkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, tetapi tidak mendewakannya, malah mengembangkan pengamatan, penelitian, dan pemahaman yang bersifat interdisipliner untuk menemukan satu pemahaman yang bersifat “menyeluruh“ (holistik) tentang alam semesta dan mengurangkan pemahaman yang bersifat fragmentaris. Itu berarti bahwa ada ruang juga untuk cara pemahaman yang bersifat metafisis-religius, karena selengkap-lengkapnya manusia menangkap dan mengerti alam semesta, dia terbentur pada batas-batasnya. Dan di balik keterbatasannya, ia memberi tempat untuk penampakkan diri Allah dalam alam semesta. Di sinilah letak dimensi religius dari satu kosmologi yang dibangun dengan semangat post-modernisme.
Lalu, kita kembali kepada pertanyaan tema kita. Dalam terang satu kosmologi yang berdimensi religius ini, apakah bencana itu kesalahan manusia atau rencana Allah? Jawabannya ialah bahwa bencana itu bisa merupakan kesalahan manusia dan rencana Allah. Bisa juga kesalahan manusia semata dan bukan rencana Allah. Bisa juga bukan kesalahan manusia tapi rencana Allah semata. Bisa juga bukan kesalahan manusia dan bukan juga rencana Allah. Argumentasinya ialah bahwa cara pandang kita terhadap alam dalam semangat post-modernisme tidak hanya bersifat ilmiah, tetapi melibatkan juga cara pandang filosofis-religius, yaitu cara penafsiran yang terus menerus terhadap alam sesuai dengan pengalaman religius pribadi seseorang ketika berhadapan dengan bencana. Bisa saja satu bencana yang menimpa manusia tertentu merupakan satu penyelenggaraan ilahi untuk orang bersangkutan, atau bisa saja bencana itu merupakan kesalahan manusia sendiri semata tanpa ada sangkut pautnya dengan rencana Allah, bisa juga bencana itu merupakan kesalahan manusia dan sekaligus juga penyelenggaraan ilahi untuk manusia yang mengalami bencana itu. Singkatnya, terdapat rupa-rupa penafsiran terhadap bencana, dan semua penafsiran itu mendapat tempat dalam kosmologi yang berdimensi religius ini.

Sumber: Donatus Sermada Kelen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar