1. Untuk merealisasikan diri menjadi semakin sempurna dan utuh. Dengan kata lain kehidupan bagi manusia merupakan kesempatan baginya untuk semakin merealisasikan dirinya. Kesimpulan ini berangkat dari penyelidikan atas fakta bahwa manusia tidak pernah merasa hidupnya sudah sempurna. Sebaliknya ia mengalami dirinya selalu ditarik ke atas ke arah kesempurnaan, kebijaksanaan, keutamaan, kebaikan terus-menerus. Dengan kata lain manusia tidak pernah menerima dirinya sebagai sudah sempurna, sudah utuh sampai kehidupan itu sendiri dialaminya bertemu dengan kematian.
Selanjutnya
Leahy (1998;107) tidak ada apapun di dunia ini yang mampu untuk memenuhi hasrat
manusia untuk mengalami kebahagiaan yang paripurna dan definitif. Setelah seseorang
mengalami kebahagiaan, kebahagian itu seolah cepat memudar dan lenyap sehingga
menuntut pemenuhan lagi. Hal-hal di dunia ini sering menipu manusia, sebab
tampaknya dapat memberikan kebahagiaan yang sempurna, kenyataannya tidak
demikian. Menurutnya pengalaman manusiawi yang mengajari bahwa tidak ada satu
hal di dunia ini yang dapat memberikan kebahagiaan sempurna. Mengusaha kan
kebahagiaan sempurna di dunia ini ibarat menyelami sumur tanpa dasar, artinya
merupakan usaha yang siasia.
Berdasarkan
hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan yang dirindukan oleh manusia
adalah kehidupan bahagia yang paripurna. Kehidupan bahagia yang paripurna
tersebut diawali di dunia ini dengan cara mencintai
kebijaksanaan/keutamaan/kebaikan sesuai dengan ajaran Plato, seorang filsuf
yang jiwanya didorong oleh rasa rindu akan yang baik. Salah satu contoh konkret
dalam mencintai kebijaksanaan adalah dengan berusaha secara konsisten menjalani
kehidupan berdasarkan pada proses kerelaan untuk melepaskan, memberi dan menerima.
Menjalani
kehidupan sebagai proses melepaskan berarti hidup dengan kesadaran bahwa
kehidupan adalah proses pelepasan secara terus-menerus sampai pada akhirnya
tiba pada suatu pelepasan yang radikal yakni terlepasnya badan dan jiwa. Oleh
karena itu sebelum dipaksa oleh kematian untuk melepaskan hal-hal yang mengikat,
adalah bijaksana untuk melepaskannya secara sadar dengan suka rela. Orang yang
sudah dewasa butuh melepaskan masa kecilnya. Jika orang sudah tua, maka ia
butuh melepaskan masa mudanya. Setiap orang butuh melepaskan masa lalunya, apapun
bentuknya. Setiap orang butuh melepaskan kekuasaannya, dalam berbagai
bentuknya. Secara singkat setiap orang butuh melepaskan diri dari kemelekatan
terhadap: kenikmatan, kekuasaan, kekayaan dan lain-lain yang menghalanginya untuk
menjadi lebih lepas bebas.
Menghidupi
kehidupan dengan memberi berarti hidup dengan kesadaran untuk rela berbagi
dengan yang lain. Setiap orang dapat (1) Memberi cinta kasihnya kepada orang
lain. (2) Memberi perhatiannya. (3) Memberi kepada orang lain hak-hak mereka.
(4) Memberi maaf dan pengampunan. (5) Memberi kegembiraan dan harapan. (6)
Membei damai. Memberi merupakan hakikat cinta. Sementara menjalani kehidupan
dengan menerima berarti hidup dengan kesadaran untuk mau memikul tanggung
jawab. Setiap orang bertanggung jawab terhadap: (1) diri dan hidupnya; (2)
sesamanya, (3) semua makhluk hidup, (4) alam sekitarnya:seperti udara, air dan
tanah, (5) kelangsungan hidup di planet bumi ini.
Berdasarkan
uraian sebelumnya tentang kecenderungan jiwa manusia pada kehidupan setelah kematian
dan kebahagiaan, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kehidupan setelah kematian
benar-benar ada. Seandainya kerinduan semacam itu ada di dalam jiwa manusia
tetapi ternyata bahwa kerinduan itu tidak dapat dipenuhi oleh apa pun yang ada
di dunia ini maka kecenderungan itu haruslah dipahami sebagai benih yang
sengaja ditanam oleh Sang Pencipta dengan maksud tertentu yaitu untuk
memperingatkan kita bahwa adanya kecenderungan itu bukan percuma tetapi
benarbenar akan dipenuhi setelah kematian tubuh. Oleh sebab seandainya Sang Pencipta
telah menanamkan benih keabadian itu tetapi tidak memenuhinya maka sama saja
dengan mengatakan bahwa Sang Pencipta itu tidak menepati janjinya dan, Jika
Sang Pencipta tidak menepati berarti Ia bukan Allah lagi.
Mengacu
pada fakta yang ada bahwa jiwa manusia berbeda dengan materi. Jiwa berupa
realitas spiritual yang dinamis, tanpa keluasan dan kuantitas. Jiwa manusia
tidak terdiri atas bagian-bagian seperti materi sehingga jiwa itu tidak bisa
bercerai berai atau hancur setelah tubuh mati. Dengan kata lain ciri yang ada
pada jiwa membuatnya tidak dapat dikenai oleh hukum-hukum materi seperti pembusukan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setelah kehancuran badan, jiwa tetap bertahan,
yang berarti bahwa adanya kekekalan jiwa menunjuk pada adanya kehidupan setelah
kematian.
Sumber:
Linus K. Palindangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar