Minggu, 04 Desember 2016

Refleksi Metafisis dan Konsekwensinya untuk Etika



Tema kita “Bencana, kesalahan manusia atau rencana Allah“ mengajak kita untuk tidak berhenti pada level kekuatan alam dan hukum alam. Kita mau tidak mau dihantar untuk merefleksikan bencana itu. Maka di sinilah awal mula penafsiran: Apa bencana itu kesalahan manusia atau rencana Allah“. Karena itu, bagaimanapun juga refleksi dan penafsiran kita menyentuh soal-soal yang melampaui dunia fisik; itu berarti soal-soal metafisis. Satu persoalan metafisis di balik semua kejadian yang membawa bencana, yaitu bahwa apakah bencana itu merupakan manifestasi dari satu kekuatan jahat atau semata-mata produk dari kekuatan alam. Bila itu manifestasi dari satu kekuatan jahat, apakah kekuatan jahat itu berasal dari manusia atau satu kekuatan jahat yang direncanakan oleh Allah sendiri untuk dunia kita. Kita coba memeriksa penafsiran terhadap bencana dalam terang dua tradisi yang berbeda.
Tradisi Barat. Dalam tradisi barat terdapat gagasan yang berasal dari dunia kristen, Yahudi dan Yunani, dan gagasan yang berasal dari dunia di luar kristen teristimewa dari dunia filsafat. Gagasan kristen tentang kejahatan sudah dipandang sebagai gagasan yang dianuti dalam gereja katolik sampai dewasa ini.
Bila berbicara tentang bencana apakah itu merupakan kesalahan manusia atau rencana Allah dalam membiarkan bencana, maka tradisi kristen menjawab bahwa bencana itu merupakan satu cacat, entah cacat itu ditemukan dalam alam sendiri atau juga cacat itu dibuat oleh manusia. Bencana tidak masuk dalam rencana Allah. Alasannya ialah bahwa alam semesta dan manusia diciptakan oleh Tuhan, dan seluruh ciptaan pada dasarnya memiliki kualitas “baik“. Segala sesuatu itu baik adanya. Allah sendiri sebagai satu realitas Ada berkwalitas baik, sempurna dan tak terbatas dalam realisasi diriNya. Bencana sebagai satu cacat hanyalah satu kekurangan dari sesuatu yang pada dasarnya baik. Kebaikanlah yang direncanakan Allah untuk berada di atas dunia ini. Bila bertanya tentang apakah kejahatan itu sungguh ada, maka dalam garis pemikiran ini kejahatan itu secara hakiki tidak ada. Dia tidak masuk dalam penyelenggaran
Allah. Konsekuensinya ialah bahwa segala bencana yang ada di muka bumi bisa berasal dari perbuatan ulah manusia (kerusakan ekologi), bisa juga merupakan manifestasi dari kekuatan alam. Bencana tidak bisa dimasukkan dalam wacana ciptaan Allah.
Gagasan kristen ini diperdalam oleh para filsuf modern, khususnya teori Kant dan Kantianisme (pengikut aliran pemikiran Kant). Soal apakah bencana itu merupakan rencana Allah tidaklah menjadi persoalan pokok pikiran Kant. Manusia tidak bisa mengenal apakah Allah merencanakan bencana itu untuk manusia atau tidak. Tetapi fakta yang tidak boleh diragukan ialah bahwa ada bencana di sana sini, baik bencana alam maupun bencana yang dibuat oleh manusia. Pikiran dasar di balik itu menurut Kant dan pengikutnya ialah bahwa bencana itu adalah bagian dari kejahatan yang ada di muka bumi. Kejahatan yang disebut Kant kejahatan yang radikal adalah pengrusakkan atau penghancuran dasar semua prinsip. Ada prinsip hukum alam yang mengikuti hukum sebab-akibat dan mekanis, dan prinsip moral yang berlaku untuk manusia. Bencana alam masuk dalam kategori pengrusakkan prinsip hukum alam, tapi bisa juga pengrusakkan prinsip moral bila bencana alam itu adalah akibat dari ulah perbuatan manusia. Prinsip moral yaitu prinsip universal untuk berbuat baik, dan prinsip ini membawahi semua prinsip subyektif. Kejahatan muncul karena prinsip moral itu dilanggar atau tidak ditaati, dan ia ditandai dengan hati yang jahat oleh karena kerapuhan kodrat manusia. Bencana, khususnya bencana yang dilakukan manusia dalam kaitan dengan pelanggaran hukum moral universal adalah kesalahan manusia oleh karena kerapuhan kodrat manusia dan hatinya yang jahat. Dengan demikian kita melihat bahwa soal rencana Allah di balik bencana itu tidak masuk dalam pertimbangan para filsuf ini. Bencana lebih menyangkut prinsip hukum alam dan prinsip moral. Pertanyaan tentang dari mana asal kejahatan itu, dijawab Kant bahwa itu satu teka-teki, tapi de fakto, kejahatan dan kebaikan merupakan dua prinsip yang hendak berkuasa atas manusia.
Teori yang lain dalam tradisi barat berbeda dengan dua teori yang disebut sebelumnya. Teori ini disebut Teori Kantian-Postmodern (Jacob Rogozinski, J.L. Nancy dsb.). Teori ini bertolak dari gagasan dasar bahwa kejahatan perlu dilihat secara positif. Kejahatan dipahami sama seperti kebaikan. Itu berarti bahwa kejahatan bukannya tidak ada, tapi ada secara real. Kejahatan dan kebaikan berdiri sejajar dan keduanya berasal dari satu realitas yang berkehendak rasional, dan dalam bahasa filosofis-teologis, keduanya berasal dari Allah. Melalui kuasa kejahatan, manusia dapat menghancurkan manusia lain, dan alam dapat membawa bencana. Kejahatan dan kebaikan merupakan sesuatu yang sudah lebih dahulu ada, dan melekat pada realitas Allah sebagai realitas Ada. Kualifikasi moral sudah ada sebelum ada perbuatan konkrit manusia. Dengan demikian, realitas Allah sebagai realitas “Ada“ dapat saja memanifestir diri dalam ekstrim kebaikan, tapi dapat pula menghasilkan ekstrim kejahatan. Ingatlah gambaran Allah yang murka, yang marah dan yang membawa bencana dalam beberapa kisah Perjanjian Lama. Dalam penderitaan orang-orang yang tak bersalah, Allah dicap sebagai Allah yang tidak adil, yang membawa kemalangan terus menerus kepada yang bersangkutan. Teori ini sangat jelas menghantar kita kepada kesimpulan bahwa bencana sebagai manifestasi kekuatan jahat sungguh-sungguh masuk dalam rencana Allah. Kejahatan adalah hasil rencana Allah sendiri.
Konsekuensi untuk etika dalam gagasan-gagasan tradisi barat tampak dalam usaha manusia untuk menghadapi bencana. Menurut Prof. Franz von Magnis, manusia barat sangat menekankan etika kewajiban untuk menaklukkan kejahatan. Bila ada bencana, semangat dasar yang menggerakkan manusia ialah wajib mengatasi bencana. Segala usaha dikerahkan untuk mengalahkan kejahatan dan menaklukkan bencana. Karena itu, pertama-tama yang harus dibuat ialah usaha mengidentifikasikan kejahatan dan pelaku kejahatan atau usaha untuk mengenal seluk beluk bencana, sebab musabab bencana dan pada gilirannya menetapkan sarana yang efektif untuk mengatasi bencana. Mana yang baik dan mana yang jahat harus dibedakan secara tajam, dan dengan adanya pembedaan yang tajam ini, manusia wajib menegakkan kebaikan dan menaklukkan kejahatan. Bencana ditangani atas semangat tersebut.
Tradisi Timur. Tentu, teori yang diberikan di sini merupakan salah satu teori yang cukup representatif dalam tradisi timur, meskipun dia tidak mewakili seluruh gagasan tradisi timur. Kami mengutip sebuah teks: “And even there where the text mentions evil works only, we must consider good works also to be implied therein, because the results of the latter also are inferior to the result of knowledge“ (Dan malah di sana di mana teks hanya mengungkapkan perbuatan yang jahat, kita toh harus memandang perbuatan yang baik juga termuat di dalamnya, karena hasil perbuatan baik juga tunduk pada hasil pengetahuan). Teks ini dikutip dari teks Upanishad (600 Seb.M.) dan ditafsirkan oleh Sankara (788 - 820 Ses. M.) dalam terang filsafat Advaita-Vedanta.
Realitas yang sesungguhnya adalah Brahman. Dalam refleksi metafisis, Brahman identik dengan Allah sebagai satu realitas mutlak. Brahman sebagai satu realitas Ada Mutlak bersifat tak terbagi, tidak berbentuk, tidak berkarakter, homogen, tak dapat diungkapkan, tak dapat digambarkan, tak dapat diberi kwalifikasi. Karena itu, Brahman ada tanpa kwalifikasi moral seperti semata-mata baik; dia melampaui kebaikan dan kejahatan. Secara hakiki (ontologis) tidak ada kebaikan dan tidak ada kejahatan. Yang ada hanyalah perbuatan yang baik bercampur perbuatan jahat atau karman yang baik bercampur karman yang jahat, tetapi ini pun satu ilusi, khayalan atau maya. Bencana adalah juga ilusi, khayalan, tidak termasuk dalam realitas Brahman. Pertanyaan tentang apakah bencana itu kesalahan manusia atau rencana Brahman tidak penting, karena dengan pertanyaan itu, kita menjatuhkan penilaian moral terhadap bencana. Bencana tidak menyandang kwalifikasi moral. Bila bencana menimpa manusia, maka itu merupakan bagian dari hukum karman yang harus manusia jalani.
Lalu, apa konsekwensi etis dari konsep itu untuk etika? Seluruh hidup manusia, terutama etikanya, berpusat pada usaha untuk mencapai kesatuan dengan Brahman, dan bila dia bersatu, dia melebur dengan Brahman dan adalah Brahman (aku adalah Brahman= aham Brahma asmi atau itu adalah engkau= Tat tvam asi). Tetapi tujuan ini tidak pernah tercapai di atas muka bumi, karena manusia berada dalam hukum karman yang tidak pernah dihancurkan secara tuntas. Karena Brahman melampaui kwalitas baik atau jahat, maka adalah sangat sulit untuk mengukur mana perbuatan baik dan mana perbuatan jahat; tidak ada patokan mutlak hukum moral. Karena itu, tidak ada distinksi jelas antara perbuatan baik dan perbuatan jahat; keduanya berada dalam roda hukum karman. Gagasan ini mempunyai dampak terhadap etika timur yang dilukiskan oleh Franz von Magnis dalam karyanya “Etika Jawa“.8 Etika timur mengutamakan etika kebijaksanaan dan bukannya etika kewajiban dalam menghadapi kejahatan. Karena tidak ada pemisahan tajam antara yang baik dan yang jahat, maka manusia perlu bijaksana untuk menangani satu kejahatan. Satu kejahatan belum tentu jahat seratus persen, begitu juga satu kebaikan belum tentu baik seratus persen. Begitu juga, bencana baik bencana alam maupun bencana yang berasal dari perbuatan manusia belum tentu merupakanmmanifestasi kejahatan sematamata. Bencana bisa saja merupakan satu berkah.

Sumber: Donatus Sermada Kelen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar