Tema kita “Bencana, kesalahan manusia atau rencana Allah“ mengajak kita
untuk tidak berhenti pada level kekuatan alam dan hukum alam. Kita mau
tidak mau dihantar untuk merefleksikan bencana itu. Maka di sinilah awal
mula penafsiran: Apa bencana itu kesalahan manusia atau rencana Allah“.
Karena itu, bagaimanapun juga refleksi dan penafsiran kita menyentuh
soal-soal yang melampaui dunia fisik; itu berarti soal-soal metafisis.
Satu persoalan metafisis di balik semua kejadian yang membawa bencana,
yaitu bahwa apakah bencana itu merupakan manifestasi dari satu kekuatan
jahat atau semata-mata produk dari kekuatan alam. Bila itu manifestasi
dari satu kekuatan jahat, apakah kekuatan jahat itu berasal dari manusia
atau satu kekuatan jahat yang direncanakan oleh Allah sendiri untuk
dunia kita. Kita coba memeriksa penafsiran terhadap bencana dalam terang
dua tradisi yang berbeda.
Tradisi Barat. Dalam tradisi barat terdapat gagasan yang
berasal dari dunia kristen, Yahudi dan Yunani, dan gagasan yang berasal dari dunia
di luar kristen teristimewa dari dunia filsafat. Gagasan kristen tentang kejahatan
sudah dipandang sebagai gagasan yang dianuti dalam gereja katolik
sampai dewasa ini.
Bila berbicara tentang bencana apakah itu merupakan kesalahan manusia
atau rencana Allah dalam membiarkan bencana, maka tradisi kristen
menjawab bahwa bencana itu merupakan satu cacat, entah cacat itu
ditemukan dalam alam sendiri atau juga cacat itu dibuat oleh manusia. Bencana
tidak masuk dalam rencana Allah. Alasannya ialah bahwa
alam semesta dan manusia diciptakan oleh Tuhan, dan seluruh ciptaan pada dasarnya
memiliki kualitas “baik“. Segala sesuatu itu baik adanya. Allah sendiri
sebagai satu realitas Ada berkwalitas baik, sempurna dan tak terbatas
dalam realisasi diriNya. Bencana sebagai satu cacat hanyalah satu kekurangan
dari sesuatu yang pada dasarnya baik. Kebaikanlah yang direncanakan
Allah untuk berada di atas dunia ini. Bila bertanya tentang apakah
kejahatan itu sungguh ada, maka dalam garis pemikiran ini kejahatan
itu secara hakiki tidak ada. Dia tidak masuk dalam penyelenggaran
Allah.
Konsekuensinya ialah bahwa segala bencana yang ada di muka bumi bisa berasal
dari perbuatan ulah manusia (kerusakan ekologi), bisa juga merupakan manifestasi
dari kekuatan alam. Bencana tidak bisa dimasukkan dalam wacana ciptaan Allah.
Gagasan kristen ini diperdalam oleh para filsuf modern, khususnya teori
Kant dan Kantianisme (pengikut aliran pemikiran Kant). Soal apakah bencana itu
merupakan rencana Allah tidaklah menjadi persoalan pokok pikiran Kant. Manusia
tidak bisa mengenal apakah Allah merencanakan bencana itu untuk manusia atau
tidak. Tetapi fakta yang tidak boleh diragukan ialah bahwa ada bencana di sana
sini, baik bencana alam maupun bencana yang dibuat oleh manusia. Pikiran dasar
di balik itu menurut Kant dan pengikutnya ialah bahwa bencana itu adalah bagian
dari kejahatan yang ada di muka bumi. Kejahatan yang disebut Kant kejahatan
yang radikal adalah pengrusakkan atau penghancuran dasar semua prinsip. Ada
prinsip hukum alam yang mengikuti hukum sebab-akibat dan mekanis, dan prinsip
moral yang berlaku untuk manusia. Bencana alam masuk dalam kategori
pengrusakkan prinsip hukum alam, tapi bisa juga pengrusakkan prinsip moral bila
bencana alam itu adalah akibat dari ulah perbuatan manusia. Prinsip moral yaitu
prinsip universal untuk berbuat baik, dan prinsip ini membawahi semua prinsip
subyektif. Kejahatan muncul karena prinsip moral itu dilanggar atau tidak ditaati,
dan ia ditandai dengan hati yang jahat oleh karena kerapuhan kodrat manusia.
Bencana, khususnya bencana yang dilakukan manusia dalam kaitan dengan
pelanggaran hukum moral universal adalah kesalahan manusia oleh karena
kerapuhan kodrat manusia dan hatinya yang jahat. Dengan demikian kita melihat
bahwa soal rencana Allah di balik bencana itu tidak masuk dalam pertimbangan
para filsuf ini. Bencana lebih menyangkut prinsip hukum alam dan prinsip moral.
Pertanyaan tentang dari mana asal kejahatan itu, dijawab Kant bahwa itu satu
teka-teki, tapi de fakto, kejahatan dan kebaikan merupakan dua prinsip yang
hendak berkuasa atas manusia.
Teori yang lain dalam tradisi barat berbeda dengan dua teori yang disebut
sebelumnya. Teori ini disebut Teori Kantian-Postmodern (Jacob Rogozinski, J.L.
Nancy dsb.). Teori ini bertolak dari gagasan dasar bahwa kejahatan perlu
dilihat secara positif. Kejahatan dipahami sama seperti kebaikan. Itu berarti
bahwa kejahatan bukannya tidak ada, tapi ada secara real. Kejahatan dan
kebaikan berdiri sejajar dan keduanya berasal dari satu realitas yang
berkehendak rasional, dan dalam bahasa filosofis-teologis, keduanya berasal
dari Allah. Melalui kuasa kejahatan, manusia dapat menghancurkan manusia lain, dan
alam dapat membawa bencana. Kejahatan dan kebaikan merupakan sesuatu yang sudah
lebih dahulu ada, dan melekat pada realitas Allah sebagai realitas Ada. Kualifikasi
moral sudah ada sebelum ada perbuatan konkrit manusia. Dengan demikian, realitas
Allah sebagai realitas “Ada“ dapat saja memanifestir diri dalam ekstrim kebaikan,
tapi dapat pula menghasilkan ekstrim kejahatan. Ingatlah gambaran Allah yang
murka, yang marah dan yang membawa bencana dalam beberapa kisah Perjanjian Lama.
Dalam penderitaan orang-orang yang tak bersalah, Allah dicap sebagai Allah yang
tidak adil, yang membawa kemalangan terus menerus kepada yang bersangkutan.
Teori ini sangat jelas menghantar kita kepada kesimpulan bahwa bencana sebagai manifestasi
kekuatan jahat sungguh-sungguh masuk dalam rencana Allah. Kejahatan adalah
hasil rencana Allah sendiri.
Konsekuensi untuk etika dalam gagasan-gagasan tradisi barat tampak dalam
usaha manusia untuk menghadapi bencana. Menurut Prof. Franz von Magnis, manusia
barat sangat menekankan etika kewajiban untuk menaklukkan kejahatan. Bila ada
bencana, semangat dasar yang menggerakkan manusia ialah wajib mengatasi
bencana. Segala usaha dikerahkan untuk mengalahkan kejahatan dan menaklukkan
bencana. Karena itu, pertama-tama yang harus dibuat ialah usaha
mengidentifikasikan kejahatan dan pelaku kejahatan atau usaha untuk mengenal seluk
beluk bencana, sebab musabab bencana dan pada gilirannya menetapkan sarana yang
efektif untuk mengatasi bencana. Mana yang baik dan mana yang jahat harus
dibedakan secara tajam, dan dengan adanya pembedaan yang tajam ini, manusia wajib
menegakkan kebaikan dan menaklukkan kejahatan. Bencana ditangani atas semangat
tersebut.
Tradisi Timur. Tentu, teori yang diberikan di sini merupakan
salah satu teori yang cukup representatif dalam tradisi timur, meskipun dia
tidak mewakili seluruh gagasan tradisi timur. Kami mengutip sebuah teks: “And even
there where the text mentions evil works only, we must consider good works also
to be implied therein, because the results of the latter also are inferior to
the result of knowledge“ (Dan malah di sana di mana teks hanya mengungkapkan
perbuatan yang jahat, kita toh harus memandang perbuatan yang baik juga termuat
di dalamnya, karena hasil perbuatan baik juga tunduk pada hasil pengetahuan). Teks
ini dikutip dari teks Upanishad (600 Seb.M.) dan ditafsirkan oleh Sankara (788
- 820 Ses. M.) dalam terang filsafat Advaita-Vedanta.
Realitas yang sesungguhnya adalah Brahman. Dalam refleksi metafisis, Brahman
identik dengan Allah sebagai satu realitas mutlak. Brahman sebagai satu
realitas Ada Mutlak bersifat tak terbagi, tidak berbentuk, tidak berkarakter,
homogen, tak dapat diungkapkan, tak dapat digambarkan, tak dapat diberi
kwalifikasi. Karena itu, Brahman ada tanpa kwalifikasi moral seperti
semata-mata baik; dia melampaui kebaikan dan kejahatan. Secara
hakiki (ontologis) tidak ada kebaikan dan tidak ada kejahatan. Yang ada
hanyalah perbuatan yang baik bercampur perbuatan jahat atau karman yang baik
bercampur karman yang jahat, tetapi ini pun satu ilusi, khayalan atau maya.
Bencana adalah juga ilusi, khayalan, tidak termasuk dalam realitas Brahman.
Pertanyaan tentang apakah bencana itu kesalahan manusia atau rencana Brahman
tidak penting, karena dengan pertanyaan itu, kita menjatuhkan penilaian moral
terhadap bencana. Bencana tidak menyandang kwalifikasi moral. Bila bencana
menimpa manusia, maka itu merupakan bagian dari hukum karman yang harus manusia
jalani.
Lalu, apa konsekwensi etis dari konsep itu untuk etika? Seluruh hidup
manusia, terutama etikanya, berpusat pada usaha untuk mencapai kesatuan dengan
Brahman, dan bila dia bersatu, dia melebur dengan Brahman dan adalah Brahman
(aku adalah Brahman= aham Brahma asmi atau itu adalah engkau= Tat tvam asi).
Tetapi tujuan ini tidak pernah tercapai di atas muka bumi, karena manusia
berada dalam hukum karman yang tidak pernah dihancurkan secara tuntas. Karena
Brahman melampaui kwalitas baik atau jahat, maka adalah sangat sulit untuk mengukur
mana perbuatan baik dan mana perbuatan jahat; tidak ada patokan mutlak hukum
moral. Karena itu, tidak ada distinksi jelas antara perbuatan baik dan
perbuatan jahat; keduanya berada dalam roda hukum karman. Gagasan ini mempunyai
dampak terhadap etika timur yang dilukiskan oleh Franz von Magnis dalam karyanya
“Etika Jawa“.8 Etika timur mengutamakan etika kebijaksanaan dan bukannya etika
kewajiban dalam menghadapi kejahatan. Karena tidak ada pemisahan tajam antara
yang baik dan yang jahat, maka manusia perlu bijaksana untuk menangani satu
kejahatan. Satu kejahatan belum tentu jahat seratus persen, begitu juga satu
kebaikan belum tentu baik seratus persen. Begitu juga, bencana baik bencana
alam maupun bencana yang berasal dari perbuatan manusia belum tentu merupakanmmanifestasi
kejahatan sematamata. Bencana bisa saja merupakan satu berkah.
Sumber: Donatus Sermada Kelen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar