Puncaknya, pada tahun 1992, PBB,
mengadakan lagi Konferensi yang mirip dengan konferensi Stockholm tahun
1972. Nama konferensi kali ini adalah United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED) dan diadakan di Rio de Jeneiro. Karena
diadakan di Rio de Jeneiro, maka nama lain dari konferensi ini adalah
Konferensi Rio. Konferensi Rio dihadiri oleh delegasi resmi dari 178 negara.
Kalangan NGO dan Media yang diundang secara resmi dalam konferensi ini mencapai
jumlah 1.400 orang. Belum lagi 30.000 orang aktivis LSM yang memadati Taman Flamengo
yang 40 km jauhnya dari tempat konferensi untuk melakukan konferensi tandingan.
Konferensi ini bukan hanya sebuah
konferensi yang dihadiri delegasi-delegasi perwakilan resmi negara saja, tetapi
juga ada delegasi yang mewakili LSM-LSM yang bergerak dalam bidang lingkungan
dan tentunya aktor yang tidak bisa dilepaskan peranannya dalam permasalahan
lingkungan yakni Perusahaan-perusahaan Multinasional (peranannya tentu hampir
kebanyakan sebagai pengrusak lingkungan).
Konferensi Rio menghasilkan beberapa output
yang lumayan bagus jika dibandingkan dengan output dari Konferensi
Stockholm. Konferensi Rio menghasilkan Agenda 21 yang menjadi tonggak kerja sama
internasional dalam penanganan isu lingkungan hidup. Selain itu, Konferensi ini
turut menghasilkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
atau Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim dan Convention on
Biological Diversity (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman hayati.
Namun yang paling penting dari
semuanya, Konferensi Rio untuk pertama kalinya menghasilkan sebuah wacana baru
dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Wacana tersebut adalah wacana sustainable
development atau Pembangunan Berkelanjutan. Wacana ini diharapkan dapat menjadi
paradigma dalam melakukan pelestarian lingkungan. Wacana ini merupakan poin
terpenting dari deklarasi Agenda 21.
Tapi sebenarnya, konsepsi sustainable
development sendiri menjadi semacam blunder bagi gerakan pelestarian
lingkungan. Sebagaimana yang dijelaskan diatas, Konferensi Rio turut dihadiri oleh
perwakilan perusahaan multinasional. Buat apa perusahaan multinasional turut
hadir dalam Konferensi mengenai lingkungan? Jawabannya karena perusahaan multinasional
sangat berkepentingan dalam isu-isu lingkungan. Dan mereka perlu hadir di sana
untuk memastikan kepentingan mereka tetap terakomodir. Bahkan perusahaan-perusahaan
multinasional ini beraliansi dalam satu wadah untuk mengahadapi permasalahan
lingkungan. Mereka membentuk World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD). Melalui WBCSD, perusahaan-perusahaan multinasional merasa
terlegitimasi untuk menjadi salah satu aktor yang dapat berkontribusi dalam
pemecahan masalah lingkungan.
Melalui WBCSD, perusahaan multinasional
dapat melakukan intervensi secara terang-terangan terhadap usaha-usaha
pelestarian lingkungan. WBCSD tidak terlalu kerepotan untuk me-leading agenda
yang sedang dibahas dalam Konferensi Rio, wong mereka punya duit banyak.
melalui modal yang mereka miliki, WBCSD dapat melobi pemerintah baik pemerintah
dari negara maju maupun pemerintah dari negara berkembang untuk menggolkan
kepentingan mereka. BCSD pun dapat hak-hak istimewa dari sekretariat PBB sebagai
delegasi pada Konferensi Rio. Makanya majalah terkemuka Jerman, Der Spiegel menyebut
bahwa KTT Bumi di Rio sebagai “Festival Kemunafikan”.
Keberhasilan utama intervensi WBCSD
terhadap output dari Konferensi Rio tak lain adalah berhasilnya konsepsi
sustainable development sebagai paradigma utama pelestarian
lingkungan. Dengan kata lain, konsep sustainable development adalah
konsep yang menurut WBCSD dapat mengakomodir kepentingan mereka. Makanya mereka
berkepentingan sekali untuk menggolkan konsep sustainable development.
Bagi kalangan aktivis, konsep sustainable development adalah
sebuah blunder. Pasti banyak yang kaget, mengapa konsep sustainable
development itu merupakan sebuah blunder bagi usaha untuk melakukan
pelestarian lingkungan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar