Jumat, 30 Desember 2016

Rio Conference



Puncaknya, pada tahun 1992, PBB, mengadakan lagi Konferensi yang mirip dengan konferensi Stockholm tahun 1972. Nama konferensi kali ini adalah United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) dan diadakan di Rio de Jeneiro. Karena diadakan di Rio de Jeneiro, maka nama lain dari konferensi ini adalah Konferensi Rio. Konferensi Rio dihadiri oleh delegasi resmi dari 178 negara. Kalangan NGO dan Media yang diundang secara resmi dalam konferensi ini mencapai jumlah 1.400 orang. Belum lagi 30.000 orang aktivis LSM yang memadati Taman Flamengo yang 40 km jauhnya dari tempat konferensi untuk melakukan konferensi tandingan.

Konferensi ini bukan hanya sebuah konferensi yang dihadiri delegasi-delegasi perwakilan resmi negara saja, tetapi juga ada delegasi yang mewakili LSM-LSM yang bergerak dalam bidang lingkungan dan tentunya aktor yang tidak bisa dilepaskan peranannya dalam permasalahan lingkungan yakni Perusahaan-perusahaan Multinasional (peranannya tentu hampir kebanyakan sebagai pengrusak lingkungan).

Konferensi Rio menghasilkan beberapa output yang lumayan bagus jika dibandingkan dengan output dari Konferensi Stockholm. Konferensi Rio menghasilkan Agenda 21 yang menjadi tonggak kerja sama internasional dalam penanganan isu lingkungan hidup. Selain itu, Konferensi ini turut menghasilkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim dan Convention on Biological Diversity (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman hayati.

Namun yang paling penting dari semuanya, Konferensi Rio untuk pertama kalinya menghasilkan sebuah wacana baru dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Wacana tersebut adalah wacana sustainable development atau Pembangunan Berkelanjutan. Wacana ini diharapkan dapat menjadi paradigma dalam melakukan pelestarian lingkungan. Wacana ini merupakan poin terpenting dari deklarasi Agenda 21.

Tapi sebenarnya, konsepsi sustainable development sendiri menjadi semacam blunder bagi gerakan pelestarian lingkungan. Sebagaimana yang dijelaskan diatas, Konferensi Rio turut dihadiri oleh perwakilan perusahaan multinasional. Buat apa perusahaan multinasional turut hadir dalam Konferensi mengenai lingkungan? Jawabannya karena perusahaan multinasional sangat berkepentingan dalam isu-isu lingkungan. Dan mereka perlu hadir di sana untuk memastikan kepentingan mereka tetap terakomodir. Bahkan perusahaan-perusahaan multinasional ini beraliansi dalam satu wadah untuk mengahadapi permasalahan lingkungan. Mereka membentuk World Business Council for Sustainable Development (WBCSD). Melalui WBCSD, perusahaan-perusahaan multinasional merasa terlegitimasi untuk menjadi salah satu aktor yang dapat berkontribusi dalam pemecahan masalah lingkungan.

Melalui WBCSD, perusahaan multinasional dapat melakukan intervensi secara terang-terangan terhadap usaha-usaha pelestarian lingkungan. WBCSD tidak terlalu kerepotan untuk me-leading agenda yang sedang dibahas dalam Konferensi Rio, wong mereka punya duit banyak. melalui modal yang mereka miliki, WBCSD dapat melobi pemerintah baik pemerintah dari negara maju maupun pemerintah dari negara berkembang untuk menggolkan kepentingan mereka. BCSD pun dapat hak-hak istimewa dari sekretariat PBB sebagai delegasi pada Konferensi Rio. Makanya majalah terkemuka Jerman, Der Spiegel menyebut bahwa KTT Bumi di Rio sebagai “Festival Kemunafikan”.

Keberhasilan utama intervensi WBCSD terhadap output dari Konferensi Rio tak lain adalah berhasilnya konsepsi sustainable development sebagai paradigma utama pelestarian lingkungan. Dengan kata lain, konsep sustainable development adalah konsep yang menurut WBCSD dapat mengakomodir kepentingan mereka. Makanya mereka berkepentingan sekali untuk menggolkan konsep sustainable development. Bagi kalangan aktivis, konsep sustainable development adalah sebuah blunder. Pasti banyak yang kaget, mengapa konsep sustainable development itu merupakan sebuah blunder bagi usaha untuk melakukan pelestarian lingkungan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar