Usaha-usaha yang dilakukan oleh par
aktivis ini tidak berakhir dengan sia-sia. Berkat desakan mereka, maka PBB
berinisiatif melaksanakan sebuah konferensi yang bertajuk The United Nations
Conference on the Human Environment (UNCHE) atau Konferensi PBB mengenai
Lingkungan Hidup Manusia. Diputuskan bahwa pelaksanaan konferensi tersebut
dilaksanakan di sebuah kota bernama Stockholm pada tahun 1972. Karena nama
konferensinya panjang, kebanyakan orang menyebut konferensi itu cukup dengan Konferensi
Stockholm. Konferensi ini menjadi titik tolak keberhasilan para aktivis
lingkungan karena akhirnya isu lingkungan dilirik juga oleh PBB.
Konferensi yang dilaksanakan tanggal
5-16 juni 1972 ini lingkungan. Konferensi Stockholm dihadiri lebih dari 1.200
delegasi dari 114 negara namun seluruh negara-negara Blok Komunis menolak hadir
dengan alasan bahwa Konferensi ini adalah konferensi yang membahas mengenai
dampak dari kapitalisme. Negara-negara Komunis tidak merasa bertanggung jawab
akan rusaknya lingkungan karena yang paling banyak merusak Lingkungan adalah
kapitalis-kapitalis maruk yang mengeruk potensi bumi dan meninggalkan kerusakan
terhadapnya. Inti permasalahannya sederhana menurut kaum komunis, lenyapkan
saja kapitalisnya, dapat dipastikan tidak ada lagi kerusakan lingkungan.
Dalam beberapa hal, apa yang dikatakan
Blok Komunis ada benarnya, bahwa memang kerusakan lingkungan kebanyakan disebabkan
ulah kapitalisme. Tapi negara-negara Blok Komunis juga tidak sedikit yang
merusak alam. Uni Soviet adalah salah satu negara yang menghasilkan emisi gas
terbesar di dunia. Sebenarnya, negaranegara blok komunis ini cuma ingin
berkilah dibalik kekejaman kapitalisme, padahal mereka sendiri lebih kejam
dalam merusak lingkungan. Kita masih ingatkan kasus meledaknya reaktor nuklir Soviet
di Chernobyl, Ukraina. Kasus Chenrobyl ini jelas-jelas itu pengrusakan terhadap
lingkungan.
Balik lagi ke konferensi Stockholm.
Meski konferensi ini dapat dikatakan sebagai sebuah prestasi, namun kelanjutan
dari konferensi ini tidak begitu menggembirakan. Hasil dari konferensi
Stockholm yaitu Principle 21, sama sekali bukanlah aturan yang mengikat seluruh
negara-negara yang hadir. Misalnya, ada aturan yang menyarankan kepada
negara-negara yang ikut hadir dalam konferensi ini untuk sebisa mungkin memproteksi
sumber daya alam yang mereka miliki dari eksploitasi masif. Kenyataannya, masih
saja ada eksploitasi sumber daya alam masif yang anehnya disponsori oleh negara.
secara umum, pasca Konferensi Stockholm, tidak ada kemajuan yang menggembirakan
dalam pelestarian lingkungan hidup.
Meski tidak ada langkah nyata untuk
menjaga lingkungan, yang jelas, berkat Konferensi Stockholm, sudah ada
keinginan yang ditunjukkan PBB untuk menempatkan masalah lingkungan sebagai masalah
yang harus diselesaikan secara global dan bersama-sama. Keinginan untuk
melestarikan lingkungan ini diimplementasikan dengan pembentukan badan PBB yang
kerjaannya mengurus masalah lingkungan global. Kita mengenalnya dengan nama
UNEP (United Nations for Environmental Protection) atau Badan PBB yang
mengurusi masalah perlindungan lingkungan. Mungkin inilah salah satu
keberhasilan nyata dari Konferensi Stockholm meski secara umum konferensi ini
belum menghasilkan perubahan yang lebih baik bagi lingkungan kita.
Setelah Konferensi Stockholm selesai,
semua tampak kembali seperti semula. Eksploitasi terhadap alam terus terjadi.
Para kapitalis terus-menerus mendapatkan untung. Dan tentunya rakyat-rakyat negara
dunia ketiga, termasuk di dalamnya satu milyar Umat Islam, tidak mengalami
peningkatan yang berarti dalam bidang kesejahteraan kecuali segelintir orang
saja. Kasus-kasus kerusakan lingkungan akibat ulah manusia pun makin sering
terjadi. Pada tahun 1979, gas beracun bocor dari instalasi industri di Bhopal,
India yang membunuh dua ribu orang dan mencederai lebih dari 200.000. Belum lagi
kasus bocornya kapal-kapal tanker di seluruh dunia yang membuat laut semakin
tercemar. Ledakan di Chernobyl pada tahun 1986 juga memperparah kerusakan
lingkungan (21 negara di Eropa kena imbas dari ledakan ini; ini sekali lagi
membuktikan permasalahan lingkungan tidak kenal batas negara)
Selain itu atas nama pembangunan,
elite-elite di negara-negara berkembang tidak bersedia untuk melestarikan
sumber daya alam yang mereka miliki dari ekploitasi. Mereka pikir, semakin
banyak sumber daya alam yang dikeruk akan membuat semakin cepat negara mereka
menjadi makmur. Kenyataannya, bukan rakyat yang makin makmur, tapi
perusahaan-perusahaan besar yang ngeruk sumber daya alam dan pejabat-pejabat
negara yang memiliki kekuasaan sajalah yang makin makmur.
Meski demikian, perkembangan teknologi
yang semakin maju semakin membuktikan bahwa dunia semakin lama semakin rusak dan
tidak nyaman untuk ditinggali. Fakta-fakta seperti ditemukan lubang Ozon di
Kutub Selatan serta terdeteksinya pemanasan global semakin menumbukan kesadaran
lingkungan di kalangan masyarakat sipil terutama di negara-negara maju (seperti
biasa, masyarakat sipil di negara-negara Islam masih menghadapi masalahmasalah internalnya
sendiri-sendiri). Fakta-fakta ini sebenarnya tidak bisa dibantah oleh para
pengrusak lingkungan yang berkedok dalam baju para bussinesman.
Anehnya, di saat kesadaran publik
tentang bahaya kerusakan lingkunga mulai mencuat, elite-elite penguasa tetap
saja tidak sadar betapa seriusnya masalah kerusakan lingkungan. Maklum, elite penguasa
ini telah bermain mata dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang rugi
jikalau pemerintah mempunyai program untuk melestarikan lingkungan dan sumber
daya alam yang mereka miliki. Alhasil, walaupun ada bukti ilmiah dan desakan
dari masyarakat sipil, kerusakan lingkungan terus aja terjadi.
Tapi beberapa kelompok dari masyarakat
sipil tidak mau berhenti berjuang. Mereka terus mendesak pemerintah untuk lebih
peduli terhadap masalah pengrusakan lingkungan. Mungkin memang sudah fitrah manusia,
jika ada kedzhaliman yang berlangsung di depan mata, selalu ada sekelompok
orang yang terus melawan kedzhaliman tersebut.
Usaha mereka lagi-lagi tidak sia-sia.
Mostafa Tolba, direktur UNEP kala itu, mencatat bahwa diakhir dekade 1980’an,
isu kerusakan lingkungan menjadi isu paling hangat dalam kancah politik
internasional. Ada dua kemungkinan kenapa kerusakan lingkungan dapat menjadi
isu paling hangat. Pertama, karena adanya usaha tanpa kenal lelah yang
dilakukan kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk menyuarakan isu lingkungan.
Kedua, karena perubahan percaturan politik internasional yang ditandai dengan
melemahnya Uni Soviet.
Terbukti pada tahun 1988, WMO (World
Meteorological Organization) atau Badan Meteorologi Dunia membentuk IPCC (Intergovernmental
Panel on Climate Change) yang bertujuan untuk memantau perkembangan kerusakan
lingkungan terutama yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan pemanasan global.
Sampai sekarang, IPCC terus menjadi penyedia data paling lengkap dan mutakhir
mengenai perkembangan perubahan iklim dan pemanasan global serta dampaknya
kepada masyarakat. Buku ditangan anda ini pun, data-datanya juga banyak yang
berasal dari IPCC. Tak heran pada tahun 2007, IPCC dan Al Gore mendapatkan
Nobel perdamaian berkat perjuangan mereka memperingatkan bahaya dari perubahan
iklim. IPCC sendiri adalah organisasi yang disana berkumpul ribuan
profesor-profesor yang ahli dalam klimatologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar