Jumat, 30 Desember 2016

Stockholm Conference



Usaha-usaha yang dilakukan oleh par aktivis ini tidak berakhir dengan sia-sia. Berkat desakan mereka, maka PBB berinisiatif melaksanakan sebuah konferensi yang bertajuk The United Nations Conference on the Human Environment (UNCHE) atau Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia. Diputuskan bahwa pelaksanaan konferensi tersebut dilaksanakan di sebuah kota bernama Stockholm pada tahun 1972. Karena nama konferensinya panjang, kebanyakan orang menyebut konferensi itu cukup dengan Konferensi Stockholm. Konferensi ini menjadi titik tolak keberhasilan para aktivis lingkungan karena akhirnya isu lingkungan dilirik juga oleh PBB.

Konferensi yang dilaksanakan tanggal 5-16 juni 1972 ini lingkungan. Konferensi Stockholm dihadiri lebih dari 1.200 delegasi dari 114 negara namun seluruh negara-negara Blok Komunis menolak hadir dengan alasan bahwa Konferensi ini adalah konferensi yang membahas mengenai dampak dari kapitalisme. Negara-negara Komunis tidak merasa bertanggung jawab akan rusaknya lingkungan karena yang paling banyak merusak Lingkungan adalah kapitalis-kapitalis maruk yang mengeruk potensi bumi dan meninggalkan kerusakan terhadapnya. Inti permasalahannya sederhana menurut kaum komunis, lenyapkan saja kapitalisnya, dapat dipastikan tidak ada lagi kerusakan lingkungan.

Dalam beberapa hal, apa yang dikatakan Blok Komunis ada benarnya, bahwa memang kerusakan lingkungan kebanyakan disebabkan ulah kapitalisme. Tapi negara-negara Blok Komunis juga tidak sedikit yang merusak alam. Uni Soviet adalah salah satu negara yang menghasilkan emisi gas terbesar di dunia. Sebenarnya, negaranegara blok komunis ini cuma ingin berkilah dibalik kekejaman kapitalisme, padahal mereka sendiri lebih kejam dalam merusak lingkungan. Kita masih ingatkan kasus meledaknya reaktor nuklir Soviet di Chernobyl, Ukraina. Kasus Chenrobyl ini jelas-jelas itu pengrusakan terhadap lingkungan.

Balik lagi ke konferensi Stockholm. Meski konferensi ini dapat dikatakan sebagai sebuah prestasi, namun kelanjutan dari konferensi ini tidak begitu menggembirakan. Hasil dari konferensi Stockholm yaitu Principle 21, sama sekali bukanlah aturan yang mengikat seluruh negara-negara yang hadir. Misalnya, ada aturan yang menyarankan kepada negara-negara yang ikut hadir dalam konferensi ini untuk sebisa mungkin memproteksi sumber daya alam yang mereka miliki dari eksploitasi masif. Kenyataannya, masih saja ada eksploitasi sumber daya alam masif yang anehnya disponsori oleh negara. secara umum, pasca Konferensi Stockholm, tidak ada kemajuan yang menggembirakan dalam pelestarian lingkungan hidup.

Meski tidak ada langkah nyata untuk menjaga lingkungan, yang jelas, berkat Konferensi Stockholm, sudah ada keinginan yang ditunjukkan PBB untuk menempatkan masalah lingkungan sebagai masalah yang harus diselesaikan secara global dan bersama-sama. Keinginan untuk melestarikan lingkungan ini diimplementasikan dengan pembentukan badan PBB yang kerjaannya mengurus masalah lingkungan global. Kita mengenalnya dengan nama UNEP (United Nations for Environmental Protection) atau Badan PBB yang mengurusi masalah perlindungan lingkungan. Mungkin inilah salah satu keberhasilan nyata dari Konferensi Stockholm meski secara umum konferensi ini belum menghasilkan perubahan yang lebih baik bagi lingkungan kita.

Setelah Konferensi Stockholm selesai, semua tampak kembali seperti semula. Eksploitasi terhadap alam terus terjadi. Para kapitalis terus-menerus mendapatkan untung. Dan tentunya rakyat-rakyat negara dunia ketiga, termasuk di dalamnya satu milyar Umat Islam, tidak mengalami peningkatan yang berarti dalam bidang kesejahteraan kecuali segelintir orang saja. Kasus-kasus kerusakan lingkungan akibat ulah manusia pun makin sering terjadi. Pada tahun 1979, gas beracun bocor dari instalasi industri di Bhopal, India yang membunuh dua ribu orang dan mencederai lebih dari 200.000. Belum lagi kasus bocornya kapal-kapal tanker di seluruh dunia yang membuat laut semakin tercemar. Ledakan di Chernobyl pada tahun 1986 juga memperparah kerusakan lingkungan (21 negara di Eropa kena imbas dari ledakan ini; ini sekali lagi membuktikan permasalahan lingkungan tidak kenal batas negara)

Selain itu atas nama pembangunan, elite-elite di negara-negara berkembang tidak bersedia untuk melestarikan sumber daya alam yang mereka miliki dari ekploitasi. Mereka pikir, semakin banyak sumber daya alam yang dikeruk akan membuat semakin cepat negara mereka menjadi makmur. Kenyataannya, bukan rakyat yang makin makmur, tapi perusahaan-perusahaan besar yang ngeruk sumber daya alam dan pejabat-pejabat negara yang memiliki kekuasaan sajalah yang makin makmur.

Meski demikian, perkembangan teknologi yang semakin maju semakin membuktikan bahwa dunia semakin lama semakin rusak dan tidak nyaman untuk ditinggali. Fakta-fakta seperti ditemukan lubang Ozon di Kutub Selatan serta terdeteksinya pemanasan global semakin menumbukan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat sipil terutama di negara-negara maju (seperti biasa, masyarakat sipil di negara-negara Islam masih menghadapi masalahmasalah internalnya sendiri-sendiri). Fakta-fakta ini sebenarnya tidak bisa dibantah oleh para pengrusak lingkungan yang berkedok dalam baju para bussinesman.

Anehnya, di saat kesadaran publik tentang bahaya kerusakan lingkunga mulai mencuat, elite-elite penguasa tetap saja tidak sadar betapa seriusnya masalah kerusakan lingkungan. Maklum, elite penguasa ini telah bermain mata dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang rugi jikalau pemerintah mempunyai program untuk melestarikan lingkungan dan sumber daya alam yang mereka miliki. Alhasil, walaupun ada bukti ilmiah dan desakan dari masyarakat sipil, kerusakan lingkungan terus aja terjadi.

Tapi beberapa kelompok dari masyarakat sipil tidak mau berhenti berjuang. Mereka terus mendesak pemerintah untuk lebih peduli terhadap masalah pengrusakan lingkungan. Mungkin memang sudah fitrah manusia, jika ada kedzhaliman yang berlangsung di depan mata, selalu ada sekelompok orang yang terus melawan kedzhaliman tersebut.

Usaha mereka lagi-lagi tidak sia-sia. Mostafa Tolba, direktur UNEP kala itu, mencatat bahwa diakhir dekade 1980’an, isu kerusakan lingkungan menjadi isu paling hangat dalam kancah politik internasional. Ada dua kemungkinan kenapa kerusakan lingkungan dapat menjadi isu paling hangat. Pertama, karena adanya usaha tanpa kenal lelah yang dilakukan kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk menyuarakan isu lingkungan. Kedua, karena perubahan percaturan politik internasional yang ditandai dengan melemahnya Uni Soviet.

Terbukti pada tahun 1988, WMO (World Meteorological Organization) atau Badan Meteorologi Dunia membentuk IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang bertujuan untuk memantau perkembangan kerusakan lingkungan terutama yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan pemanasan global. Sampai sekarang, IPCC terus menjadi penyedia data paling lengkap dan mutakhir mengenai perkembangan perubahan iklim dan pemanasan global serta dampaknya kepada masyarakat. Buku ditangan anda ini pun, data-datanya juga banyak yang berasal dari IPCC. Tak heran pada tahun 2007, IPCC dan Al Gore mendapatkan Nobel perdamaian berkat perjuangan mereka memperingatkan bahaya dari perubahan iklim. IPCC sendiri adalah organisasi yang disana berkumpul ribuan profesor-profesor yang ahli dalam klimatologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar