Kamis, 29 Desember 2016

Lebih Parah dari Perang Dunia



The struggle to save the global environment is in one way much more difficult than the struggle to vanquish Hitler, for this time the war is with ourselves. We are the enemy, just as we have only ourselves as allies.
Al Gore

Dunia yang kita tempati sekarang sudah terlalu sering merasakan bagaimana sakitnya berada di depan gerbang kiamat. Pada tahun 1914 sampai 1918, orang-orang Eropa dan Asia kecil (Turki) merasakan kejamnya sebuah perang. Tidak tanggung-tanggung, setelah perang usai, lebih dari 15 juta orang tewas. Tapi itu belum seberapa. Pada tahun 1939 sampai 1945, Perang yang lebih mendunia pecah dengan tiga wilayah perang; Eropa, Asia Pasifik, dan Afrika Utara.

Setelah perang berakhir, lebih dari 50 juta orang tewas dan puluhan juta lainnya kehilangan tempat tinggal. Tidak ada kota-kota di Eropa yang masih utuh usai perang terjadi bahkan dua kota di Jepang rata dengan tanah akibat Bom Atom. Semuanya hancur berantakan. Dunia mengingat dua momen ini sebagai Perang Dunia I dan II. Tapi jika kita mau membandingkan head to head mana yang lebih memakan korban antara PD I dan PD II dengan kerusakan lingkungan yang sedang terjadi di dunia ini, maka Perang Dunia yang begitu hebatnya itu tidak ada apa-apanya dengan dampak yang akan dihasilkan oleh kerusakan lingkungan.

By the way, untuk menjelaskan dampak yang dihasilkan oleh pengrusakan lingkungan, teman-teman kudu nonton film berjudul The Day after Tomorrow. Film ini, walaupun film fiksi, namun masih relevan dengan realitas yang kita hadapi sekarang. Kritikus film mengatakan bahwa film ini merupakan refleksi dari kronik kerusakan lingkungan yang terjadi dewasa ini. Tapi bagi yang belum pernah nonton jangan kecewa, di buku ini, penulis akan coba ulas sedikit mengenai apa yang diangkat oleh film yang judulnya dalam bahasa Indonesia berarti “Hari Akhirat” itu.

Alkisah, akibat terjadinya pemanasan global terus menerus, banyak sekali daerah lapisan es di Greenland dan Antartika yang mencair. Cairnya es di kedua daerah ini membuat air di samudra atlantik utara menjadi berkurang kadar garamnya (sudah pasti, karena es selalu berwujud air tawar, jika es mencair maka volume air tawar ikut meningkat). Fenomena ini berdampak kepada kacau-balaunya sirkulasi thermohaline dan memperlambat arus teluk (arus panas yang bergerak di Samudra Atlantik). Karena arus teluk yang membawa panas sudah semakin menghilang, maka daerah utara yang biasanya dihangatkan oleh adanya arus ini semakin lama semakin dingin. Keseluruhan fenomena ini memancing munculnya anomali cuaca yang menyebabkan daerah bagian utara yang meliputi negaranegara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada tertutup Es abadi layaknya waktu di Zaman Es. Di akhir film, Es yang menutupi wilayah Utara Bumi membuat terjadinya migrasi besarbesaran penduduk dunia pertama ke negara-negara dunia ketiga seperti Meksiko dan negara-negara Asia.

Film ini secara terang-terangan mengritik habis negara-negara maju (yang notabene ada di belahan bumi utara) yang tidak serius menangani pemanasan global hingga (dalam film ini) akhirnya mereka sendiri yang mengungsi ke negara-negara dunia ketiga. Walaupun, film ini adalah campuran antara sains, realitas, dan sains fiksi, namun film ini tidak terlalu berlebihan dalam menggambarkan ancaman perubahan iklim karena film ini disupervisi oleh Dr. Michael Molitor, seorang konsultan dalam negosiasi Protokol Kyoto. Secara umum, film ini dapat menjelaskan kiamat yang akan kita hadapi bersama-sama. Apa yang digambarkan dalam film ini tentu jauh lebih menakutkan dari dahsyatnya Perang Dunia.

Perang Dunia II mungkin dapat saja membunuh lima puluh juta orang, tapi kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan tiga milyar penduduk bumi terbunuh, entah itu oleh kelaparan, perang akibat lingkungan, kekeringan, dan kekurangan sumber daya alam.

Ancaman kerusakan lingkungan sebenarnya sangat nyata sekali, cuma sayangnya kita tidak pernah peduli terhadap ancaman ini. Kita merasa terancam jika seseorang mengarahkan sepucuk pistol dan siap menyerang kita. Kita merasa terancam bila sebuah negara yang menjadi musuh bebuyutan dari negara kita mengirimkan pasukan mereka masuk ke wilayah teritori kita. Pendek kata, kita merasa terancam jika musuh yang kita hadapi itu tepat berada di depan kita dan merupakan musuh yang terlihat.

Bila kita masih berparadigma seperti ini, akan sangat susah bagi kita menempatkan masalah kerusakan lingkungan sebagai ancaman nyata. Sebab, sebagaimana yang dikatakan beberapa ilmuwan, kerusakan lingkungan itu disebut juga threat without enemy. Kerusakan lingkungan itu ancaman, tapi dia bukan musuh sebagaimana yang ada di dalam benak kita. Sebab, kerusakan lingkungan tidak menghancurkan segala yang kita miliki secara frontal layaknya dalam sebuah perang. Namun secara perlahan-lahan dan tanpa kita sadari, ia membuat kita kehilangan apa yang kita miliki. Tatkala apa yang kita miliki sudah habis, barulah kita sadar
bahwa kita telah lalai menjaga lingkungan kita.

Ancaman pengrusakan lingkungan sangatlah nyata terhadap umat manusia khususnya terhadap umat Islam. Tapi anehnya secara umum, partisipasi dunia Islam (terutama umatnya) dalam memberikan solusi bagi permasalahan lingkungan masih sangat minim. Hal ini bisa jadi karena umat Islam belum sadar betapa berbahayanya fenomena kerusakan lingkungan.

Kita bisa belajar banyak dari negeri-negeri yang musnah dahulu kala. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jared diatas, kebanyakan dari bangsa-bangsa yang musnah dahulu kala, musnah akibat kerusakan lingkungan. Dan sudah jelas di depan kita bahaya yang mengancam kita, tapi kita, umat Islam, malah menyibukkan diri terhadap hal-hal yang tidak perlu. Bukannya mau menyalahkan, tapi anehnya umat ini asyik untuk mencari-cari skenario kiamat yang seperti apa yang akan terjadi kelak (yang sebenarnya tidak terlalu penting). Malah ada, skenario perang akhir zaman yang detail hingga sampai membahas posisi pasukan Islam dan Pasukan Kafir, terus
siapa yang kalah di pertempuran A, dan siapa yang menang di pertempuran B (apakah ini penting?).

Mungkin sampai sekarang, kita beruntung mendapatkan tempat yang nyaman dan belum terkena betul dampak dari kerusakanlingkungan. Tapi saudara-saudara kita baik yang berada di Afrika sana benar-benar sudah merasakan yang namanya “kiamat” itu. Sekaranglah saatnya kita mencoba memahami (tidak Cuma memahami, tapi memahami untuk bergerak) betapa kerusakan lingkungan dapat berakibat keseluruh sendi-sendi kemanusiaan kita.

Sebagai bahan renungan, kita tentu masih ingat cerita bagaimana Iblis tidak bisa menerima bahwa manusialah yang memimpin bumi. Iblis berpikir :Lha wong manusia itu tidak lebih baik daripada saya, kenapa saya harus menerima manusia yang memimpin?”. Sejalan dengan Iblis, sebenarnya malaikat pun juga sangsi bahwa manusia dapat memimpin dunia. Simak saja dialog antara Allah dengan para malaikat seperti yang direkam oleh Al Qur’an:

Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan soerang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan Berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Al-Baqarah: 30)

Dalam ayat diatas kita melihat bagaimana Malaikat “protes” secara lebih bermartabat (tidak seperti Iblis yang sombongnya minta ampun) mempertanyakan kenapa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah atas bumi jika ternyata sudah jelas bahwa manusia ini akan membuat kerusakan terhadap bumi tersebut. Dengan bijaksana Allah tidak menjawab pertanyaan malaikat dengan mengatakan bahwa Allah mengetahui apa yang tidak diketahui oleh malaikat.

Sebenarnya ayat ini merupakan kritik bagi kita, umat manusia. Selain kritikan, tentu ayat ini juga menyiratkan sebuah tantangan. Yang bisa menjawab pertanyaan dari malaikat itu sebenarnya adalah manusia itu sendiri. Benarkah kita (manusia) adalah orang yang akan membuat kerusakan pada bumi? Lantas mengapa Allah mengamanahkan Bumi yang indah permai ini kepada kita? Pernyataan malaikat yang menganggap kita tak lebih dari makhluk yang akan membuat kerusakan pada bumi dapat kita buktikan keliru jika nyatanya bumi semakin asri dan indah tatkala ia berada di bawah kuasa manusia.

Tapi sayangnya, karena kealpaan kita sebagai muslim (dan tentunya kerakusan orang-orang dzalim) telah membuat bumi semakin lama semakin hancur. Bumi sedang menuju kiamatnya. Kiamat yang disebabkan oleh beberapa orang tamak yang didefinisikan oleh malaikat sebagai orang yang akan melakukan pengrusakan terhadap bumi.

Apakah kita dapat (atau lebih tepatnya mau) digolongkan dalam golongan tersebut? Jawabannya seratus persen menjadi tanggungan kita sendiri. Jika kamu merasa penting untuk mengetahui kisah selanjutnya, maka silahkan lanjut ke chapter berikutnya mengenai keindahan bumi yang perlahan-lahan kita hancurkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar