The struggle to save the global environment is in one way much
more difficult than the struggle to vanquish Hitler, for this time the war is
with ourselves. We are the enemy, just as we have only ourselves as allies.
Al Gore
Dunia
yang kita tempati sekarang sudah terlalu sering merasakan bagaimana sakitnya berada di depan gerbang
kiamat. Pada tahun 1914 sampai 1918,
orang-orang Eropa dan Asia kecil (Turki) merasakan
kejamnya sebuah perang. Tidak tanggung-tanggung,
setelah perang usai, lebih dari 15 juta orang tewas. Tapi itu belum seberapa. Pada tahun 1939 sampai 1945, Perang
yang lebih mendunia pecah dengan tiga
wilayah perang; Eropa, Asia Pasifik, dan Afrika Utara.
Setelah
perang berakhir, lebih dari 50 juta orang tewas dan
puluhan juta lainnya kehilangan tempat tinggal. Tidak ada kota-kota di Eropa yang masih utuh usai perang terjadi
bahkan dua kota di Jepang rata dengan
tanah akibat Bom Atom. Semuanya hancur berantakan.
Dunia mengingat dua momen ini sebagai Perang Dunia
I dan II. Tapi jika kita mau membandingkan head to head mana yang lebih memakan korban antara PD I dan PD
II dengan kerusakan lingkungan yang
sedang terjadi di dunia ini, maka Perang Dunia yang
begitu hebatnya itu tidak ada apa-apanya dengan dampak yang akan dihasilkan oleh kerusakan lingkungan.
By the way, untuk menjelaskan dampak yang dihasilkan oleh pengrusakan
lingkungan, teman-teman kudu nonton film berjudul The Day after
Tomorrow. Film ini, walaupun film fiksi, namun masih relevan dengan
realitas yang kita hadapi sekarang. Kritikus film mengatakan bahwa film ini
merupakan refleksi dari kronik kerusakan lingkungan yang terjadi dewasa ini.
Tapi bagi yang belum pernah nonton jangan kecewa, di buku ini, penulis akan
coba ulas sedikit mengenai apa yang diangkat oleh film yang judulnya dalam
bahasa Indonesia berarti “Hari Akhirat” itu.
Alkisah, akibat terjadinya pemanasan
global terus menerus, banyak sekali daerah lapisan es di Greenland dan
Antartika yang mencair. Cairnya es di kedua daerah ini membuat air di samudra atlantik
utara menjadi berkurang kadar garamnya (sudah pasti, karena es selalu berwujud
air tawar, jika es mencair maka volume air tawar ikut meningkat). Fenomena ini
berdampak kepada kacau-balaunya sirkulasi thermohaline dan memperlambat
arus teluk (arus panas yang bergerak di Samudra Atlantik). Karena arus teluk
yang membawa panas sudah semakin menghilang, maka daerah utara yang biasanya
dihangatkan oleh adanya arus ini semakin lama semakin dingin. Keseluruhan
fenomena ini memancing munculnya anomali cuaca yang menyebabkan daerah bagian utara
yang meliputi negaranegara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada
tertutup Es abadi layaknya waktu di Zaman Es. Di akhir film, Es yang menutupi
wilayah Utara Bumi membuat terjadinya migrasi besarbesaran penduduk dunia
pertama ke negara-negara dunia ketiga seperti Meksiko dan negara-negara Asia.
Film ini secara terang-terangan
mengritik habis negara-negara maju (yang notabene ada di belahan bumi utara)
yang tidak serius menangani pemanasan global hingga (dalam film ini) akhirnya mereka
sendiri yang mengungsi ke negara-negara dunia ketiga. Walaupun, film ini adalah
campuran antara sains, realitas, dan sains fiksi, namun film ini tidak terlalu
berlebihan dalam menggambarkan ancaman perubahan iklim karena film ini
disupervisi oleh Dr. Michael Molitor, seorang konsultan dalam negosiasi
Protokol Kyoto. Secara umum, film ini dapat menjelaskan kiamat yang akan kita hadapi
bersama-sama. Apa yang digambarkan dalam film ini tentu jauh lebih menakutkan
dari dahsyatnya Perang Dunia.
Perang Dunia II mungkin dapat saja
membunuh lima puluh juta orang, tapi kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan
tiga milyar penduduk bumi terbunuh, entah itu oleh kelaparan, perang akibat lingkungan,
kekeringan, dan kekurangan sumber daya alam.
Ancaman kerusakan lingkungan sebenarnya
sangat nyata sekali, cuma sayangnya kita tidak pernah peduli terhadap ancaman
ini. Kita merasa terancam jika seseorang mengarahkan sepucuk pistol dan siap
menyerang kita. Kita merasa terancam bila sebuah negara yang menjadi musuh
bebuyutan dari negara kita mengirimkan pasukan mereka masuk ke wilayah teritori
kita. Pendek kata, kita merasa terancam jika musuh yang kita hadapi itu tepat
berada di depan kita dan merupakan musuh yang terlihat.
Bila kita masih berparadigma seperti
ini, akan sangat susah bagi kita menempatkan masalah kerusakan lingkungan
sebagai ancaman nyata. Sebab, sebagaimana yang dikatakan beberapa ilmuwan, kerusakan
lingkungan itu disebut juga threat without enemy. Kerusakan lingkungan
itu ancaman, tapi dia bukan musuh sebagaimana yang ada di dalam benak kita.
Sebab, kerusakan lingkungan tidak menghancurkan segala yang kita miliki secara
frontal layaknya dalam sebuah perang. Namun secara perlahan-lahan dan tanpa
kita sadari, ia membuat kita kehilangan apa yang kita miliki. Tatkala apa yang
kita miliki sudah habis, barulah kita sadar
bahwa kita telah lalai menjaga lingkungan kita.
Ancaman pengrusakan lingkungan
sangatlah nyata terhadap umat manusia khususnya terhadap umat Islam. Tapi
anehnya secara umum, partisipasi dunia Islam (terutama umatnya) dalam memberikan
solusi bagi permasalahan lingkungan masih sangat minim. Hal ini bisa jadi karena
umat Islam belum sadar betapa berbahayanya fenomena kerusakan lingkungan.
Kita bisa belajar banyak dari negeri-negeri
yang musnah dahulu kala. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jared diatas,
kebanyakan dari bangsa-bangsa yang musnah dahulu kala, musnah akibat kerusakan
lingkungan. Dan sudah jelas di depan kita bahaya yang mengancam kita, tapi
kita, umat Islam, malah menyibukkan diri terhadap hal-hal yang tidak perlu.
Bukannya mau menyalahkan, tapi anehnya umat ini asyik untuk mencari-cari
skenario kiamat yang seperti apa yang akan terjadi kelak (yang sebenarnya tidak
terlalu penting). Malah ada, skenario perang akhir zaman yang detail hingga sampai
membahas posisi pasukan Islam dan Pasukan Kafir, terus
siapa yang kalah di pertempuran A, dan siapa yang menang di pertempuran
B (apakah ini penting?).
Mungkin sampai sekarang, kita
beruntung mendapatkan tempat yang nyaman dan belum terkena betul dampak dari
kerusakanlingkungan. Tapi saudara-saudara kita baik yang berada di Afrika sana
benar-benar sudah merasakan yang namanya “kiamat” itu. Sekaranglah saatnya kita
mencoba memahami (tidak Cuma memahami, tapi memahami untuk bergerak) betapa
kerusakan lingkungan dapat berakibat keseluruh sendi-sendi kemanusiaan kita.
Sebagai bahan renungan, kita tentu
masih ingat cerita bagaimana Iblis tidak bisa menerima bahwa manusialah yang
memimpin bumi. Iblis berpikir :Lha wong manusia itu tidak lebih baik
daripada saya, kenapa saya harus menerima manusia yang memimpin?”. Sejalan dengan
Iblis, sebenarnya malaikat pun juga sangsi bahwa manusia dapat memimpin dunia.
Simak saja dialog antara Allah dengan para malaikat seperti yang direkam oleh
Al Qur’an:
“Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman
kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan soerang
khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan
memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan Berfirman, ‘Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Al-Baqarah: 30)
Dalam ayat diatas kita melihat bagaimana
Malaikat “protes” secara lebih bermartabat (tidak seperti Iblis yang sombongnya
minta ampun) mempertanyakan kenapa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah
atas bumi jika ternyata sudah jelas bahwa manusia ini akan membuat kerusakan
terhadap bumi tersebut. Dengan bijaksana Allah tidak menjawab pertanyaan malaikat
dengan mengatakan bahwa Allah mengetahui apa yang tidak diketahui oleh
malaikat.
Sebenarnya ayat ini merupakan kritik
bagi kita, umat manusia. Selain kritikan, tentu ayat ini juga menyiratkan
sebuah tantangan. Yang bisa menjawab pertanyaan dari malaikat itu sebenarnya
adalah manusia itu sendiri. Benarkah kita (manusia) adalah orang yang akan
membuat kerusakan pada bumi? Lantas mengapa Allah mengamanahkan Bumi yang indah
permai ini kepada kita? Pernyataan malaikat yang menganggap kita tak lebih dari
makhluk yang akan membuat kerusakan pada bumi dapat kita buktikan keliru jika
nyatanya bumi semakin asri dan indah tatkala ia berada di bawah kuasa manusia.
Tapi sayangnya, karena kealpaan kita
sebagai muslim (dan tentunya kerakusan orang-orang dzalim) telah membuat bumi semakin
lama semakin hancur. Bumi sedang menuju kiamatnya. Kiamat yang disebabkan oleh
beberapa orang tamak yang didefinisikan oleh malaikat sebagai orang yang akan
melakukan pengrusakan terhadap bumi.
Apakah kita dapat (atau lebih tepatnya
mau) digolongkan dalam golongan tersebut? Jawabannya seratus persen menjadi
tanggungan kita sendiri. Jika kamu merasa penting untuk mengetahui kisah selanjutnya,
maka silahkan lanjut ke chapter berikutnya mengenai keindahan bumi yang
perlahan-lahan kita hancurkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar