Selain berdampak kepada pencairan es
di kutub, pemanasan global juga berdampak terhadap sektor pertanian. Salah
seorang peneliti bernama Fischer pada tahun 1994 menemukan fakta bahwa setiap
peningkatan dua kali lipat gas CO2 yang ada di atmasofer akan mengakibatkan
lima persen lahan pertanian jadi tidak dapat digunakan lagi. Badan PBB yang
mengurusi masalah pertanian, Food and Agricultural Organization (FAO)
menemukan bahwa tiga per empat lahan bumi tidak cocok untuk ditanami. Ada tanah
yang lokasinya terlalu dingin (13%), ada yang terlalu kering (27%), ada yang
terlalu terjal, dan ada yang memang tidak subur (40%). Dari 80 % tanah yang
potensial untuk diberdayakan untuk dijadikan lahan pertanian terletak di
Amerika Selatan dan Sub-Sahara Afrika. Kenapa Asia tidak dimasukkan? Karena
lahan pertanian di Asia sudah dipakai semua untuk pertanian. Selain itu
tanah-tanah subur di Asia sudah dijadikan kota-kota besar karena penduduk Asia
makin lama semakin banyak. Singkat kata, di Asia, sudah tidak ada lagi lahan potensial
untuk pertanian.
Masalahnya adalah, lahan yang potensial
untuk dijadikan lahan pertanian yang ada di Amerika Selatan dan Sub-Sahara
Afrika tersebut, jadi tidak layak lagi disebut potensial karena terjadinya perubahan
iklim. Dan pada saat yang bersamaan, lahan-lahan pertanian yang sudah ada juga
semakin menurun kualitas produksinya juga gara-gara perubahan iklim. Dua
fenomena diatas ditambah dengan fenomena membludaknya penduduk bumi menggiring
bumi menghadapi krisis pangan di masa mendatang.
Belum lagi akibat pemanasan global,
banyak tumbuh-tumbuhan yang sensitif terhadap perubahan iklim tidak bisa tumbuh
dengan baik. Belum lagi, kekeringan yang melanda akibat pemanasan global akan
sangat berdampak terhadap kesuburan tanah. Yang paling parah dari dari itu
semua adalah bencana kekurangan air. Di beberapa halaman sebelumnya telah
dijelaskan bagaimana pemanasan global membuat permukaan air laut semakin
tinggi. Artinya air akan
menjadi semakin banyak.
Lantas kenapa bisa terjadi kekurangan
air? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari dengarkan penjelasan berikut ini.
Sebenarnya pemanasan global tidak akan membuat kita kehabisan air. Malah karena
pemanasan global jumlah air semakin banyak. Tapi jumlah air yang semakin banyak
itu tidak dapat diminum karena jenis airnya adalah air laut alias air asin.
Sedangkan air tanah yang biasa kita minum sehari-hari jumlahnya semakin
sedikit. Menipisnya air tanah disebabkan oleh pemanasan global yang membuat
penguapan menjadi lebih banyak. Jadilah manusia berada dalam kondisi dimana air
begitu melimpah tapi semakin sedikit yang dapat diminum.
Itu pun belum cukup, perubahan iklim
yang diakibatkan pemanasan global membuat beberapa daerah tidak pernah mengalami
hujan sehingga tidak ada pasokan air yang biasanya setiap tahun datang untuk
mengisi pori-pori dibawah lapisan bumi. Ini juga masih belum cukup. Aktivitas
manusia yang berlebihan juga telah membuat sumber air tanah mengalami
pencemaran.
Dengan adanya fenomena kelangkaan air
ini, banyak orang yang mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Orang-orang ini menyatakan bahwa kondisi ini disebabkan oleh inefisiensi
negara dalam mengelola sumber-sumber air
sehingga cara yang paling mudah adalah melakukan privatisasi agar air jadi mahal
biar orang pada tidak buang-buang air seenaknya. Kalau seperti ini yang mengambil
keuntungan tentu perusahaan pengelola air swasta yang akan mendapat pasokan
laba dari hasil penjualan air saja. Padahal jelas, pemanasan global dan perubahan
iklim lah sumber segala permasalahaan dari kelangkaan air di dunia dan bukan
inefisiensi negara dalam mengelola air.
Di beberapa daerah, kelangkaan air
bahkan bertendensi mengarah kepada terjadinya konflik yang dapat berujung pada
kondisi perang. Fenomena ini disebut oleh beberapa ahli sebagai Water Wars.
Timur-Tengah, Asia Tengah, dan Afrika adalah daerah-daerah yang rawan
terjadinya konflik akibat kelangkaan air (mengenai masalah ini
akan dibahas sedetail-detailnya di chapter 5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar