Sabtu, 24 Desember 2016

Kehidupan dan Takdir



Kejadian-kejadian dalam hidup ini sudah ditentukan oleh Allah. Argumentasi pernyataan ini dapat muncul dalam rumusan berikut ini: karena Allah adalah Mahakuasa maka pastilah Ia mampu menentukan kejadian-kejadian sebelum kejadian-kejadian itu sendiri terjadi. Zenon (333-262 SM) adalah seorang filsuf Yunani kuno pendiri aliran filsafat Stoa. Nama Stoa diambil dari kata Yunani Stoa poikile atau tiang-tiang pilar penuh hiasan yakni tempat para filsuf berkumpul
dan berdiskusi. Para pengikut aliran stoa atau Kaum Stoa sudah mendiskusikan masalah takdir yang kemudian menyulut perdebatan di antara para filsuf sezamannya.
Beberapa pendapat dan ajaran kaum stoa, antara lain;
1.      Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Sang Pencipta, yang menentukan keteraturan segala sesuatu dengan mantap dan mengarahkannya pada tujuan yang telah ditetapkan sejak semula. Keteraturan yang mantap segala sesuatu ini disebutnya sebagai takdir/nasib, sedangkan keterarahan segala sesuatu pada tujuan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta disebut sebagai penyelengaraan. Selanjutnya, dalam jagad raya tidak ada sesuatu pun bisa luput dari keberlakuan mutlak hukum takdir ini.

2.      Ada ajaran tentang keharusan mengikuti hukum takdir ini dimana manusia hendaknya mengikuti saja suratan takdir dan penentuan nasib bagi dirinya. Dengan demikian ia akan mencapai keselarasan dengan takdirnya akan membawanya kepada kebahagiaan. Kalau pun manusia mencoba melawan hukum takdir, usaha itu tak akan berhasil, karena akibatnya ia akan susah sendiri. Jadi hukum takdir itu harus ditaati, terlepas dari perasaan senang atau tidak senang, menguntungkan atau merugikan.

3.      Kebebasan manusia tidak berarti bahwa manusia bebas dari takdir melainkan bahwa ia secara sadar dan rela menyesuaikan diri dengan hukum alam yang tidak terelakkan itu. Bila manusia telah menerima dengan sadar dan rela apa yang telah disuratkan padanya oleh takdir, maka tidak akan terjadi sesuatu yang melawan kehendaknya. Dengan kata lain ia seluruhnya bebas, sebab ia telah menentukan dirinya sendiri dan tidak merasakan hukum alam sebagai unsur luar dirinya melainkan sebagai unsur yang telah menyatukan dengan dirinya.

4.      Tujuan hidup kaum Stoa adalah hidup selaras dengan takdir. Untuk mencapai tujuan itu, orang yang bijaksana akan membebaskan dirinya dari segala kecenderungan dan dorongan tak teratur. Orang yang hidup tanpa nafsunafsu yang menggoncangkan akan mengalami ketenangan hidup. Jika upaya ini berhasil, nikmat atau sakit baginya sama saja. Dalam penderitaan, Kaum Stoa masih bisa merasa kesejukan dan ketenangtentraman hati.

5.      Dalam kehidupan sehari-hari dapat saja terjadi orang dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak dapat di terima karena secara emosional ia tidak mampu lagi menanggungnya. Misalnya, suatu niat penuh tanggung jawab untuk memperbaiki sistem admisnistrasi negara tetapi menemui jalan buntu. Berhadapan dengan situasi itu, Kaum Stoa menawarkan pilihan terakhir, bunuh diri! Daripada mengambil sikap yang tidak sesuai dengan keseimbangan batin dan takdir maka lebih baik bunuh diri dengan sepenuh kesadaran dan dengan segala ketenangan. Ajaran itu bahkan dipraktekkan oleh Zenon sendiri dengan bunuh diri lantaran mengalami luka berat setelah jatuh.
Ajaran takdir Kaum Stoa ini segera menuai serangan dan tantangan dari para filsuf semasanya, yang memberikan minimal dua alasan yaitu:
1.      Alasan teoritis, menurut mereka Kaum Stoa menekankan peranan mutlak takdir atas perjalanan segala sesuatu, termasuk atas perjalanan hidup manusia. Mereka mempertanyakan bagaimana orang dapat mengetahui mana yang merupakan takdir dan mana yang bukan. Artinya, mana yang bisa diubah dan mana yang harus diterima begitu saja. Misalnya kalau seseorang, menyaksikan satu kelompok orang lain diserang, ditindas dan diperas, Kemudian hanya sekadar mengatakan bahwa memang itulah takdirnya, ataukah sebaliknya orang menganggap penindasan itu bukan takdir manusia, dan karenanya harus didobrak.

2.      Masalah Praktis; Menurut para penentang ajaran Kaum Stoa, karena ketidakjelasan dalam hal takdir atau hukum nasib maka menjadi tidak jelas pula tindakan mana yang mesti diambil yang sesuai dengan hukum takdir itu. Apakah tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang tepat atau sebenarnya merupakan tindakan pengecut, sebab lari dari tanggung jawab untuk semakin menyempurnakan hidupnya. Selanjutnya, para penentang ajaran Kaum Stoa hukum nasib maka menjadi tidak jelas pula tindakan mana yang mesti diambil yang sesuai dengan hukum takdir itu. Apakah tindakan bunuh diri merupakan tindakan pengecut, sebab lari dari tanggung jawab untuk semakin menyempurnakan hidupnya.

Selanjutnya, para penentang ajaran Kaum Stoa mengemukakan bahwa kalaupun orang tahu apa yang merupakan takdirnya dan ia menerima itu, tetapi kemudian berbagai usaha yang dilakukan untuk hidup baik menjadi tidak perlu lagi. Sebab segalanya telah ditentukan oleh suratan takdir, orang tinggal menunggu saja dan takdirnya tiba. Dengan alasan yang sama seorang pembunuh berdarah dingin membunuh orang lain lalu membenarkan tindakannya dengan berkata bahwa tindakannya itu sudah merupakan suratan takdir. Namun kalau begitu, lalu kebebasan dan tanggung jawab pribadi menjadi absurd.
Louis Leahy (2001, 225) secara yang cukup rinci menyangkut masalah takdir ini dimana gagasan takdir yang tak terhindarkan itu sebenarnya merupakan hasil dari sesuatu yang oleh Hendri Bergson (1859-1941) disebut sebagai ilusi restrospektif yang mengungkapkan kecenderungan untuk menerangkan jalannya sejarah secara restrospektif (dengan memandang ke belakang) yakni sesudah terjadinya sesuatu peristiwa, atau sesudah suatu peristiwa menjadi bagian masa lampau, dan bukan menerangkan jalannya sejarah itu dengan berpangkal pada sejarah yang sedang berlangsung. Dengan tilikan semacam itu sejarah diubah menjadi nasib, dan kontigensi historis dipandang sebagai hal yang niscaya terjadi.
Sejalan dengan pendapat tersebut, terdapat peribahasa yang berbunyi ”quod factum est, infactum fieri nequit” yang berarti bila suatu peristiwa telah terjadi, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengubahnya dan kekuasaan duniawi maupun surgawi tak dapat memengaruhinya lagi. Dari pandangan itu tinggal selangkah saja orang masuk ke pandangan bahwa segala sesuatu terjadi secara tak terhindarkan. Mahasiswa yang gagal dalam ujian selalu tergoda untuk berdalih, ”Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Memang sudah nasibku akan gagal. Apabila ia seorang beragama ia mungkin menambahkan bahwa hal itu sudah merupakan kehendak Allah sejak dahulu. Tentu saja orang tak dapat berbuat apa-apa lagi setelah kegagalan itu terjadi selain mulai
belajar lagi. Akan tetapi, itu sama sekali tidak berarti bahwa kegagalan itu terjadi secara fatalistik, tanpa kemungkinan untuk menghindarkan, setidak-tidaknya seandainya mahasiswa tersebut belajar dengan lebih baik. Dengan demikian kita melihat bahwa gagasan takdir itu sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan adalah gagasan yang bukan saja tidak konsisten tetapi juga berbahaya, sebab merupakan suatu cara yang mudah untuk mengingkari tanggung jawab pribadi dalam hidup ini.
Pembicaraan tentang takdir tidak dapat juga dilepaskan dari kebebasan dan determinisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa kebebasan pada manusia itu hanyalah ilusi saja. Kenyataan yang benar adalah bahwa manusia itu dideterminasikan atau dibatasi/ditentukan oleh hukum-hukum alam. Leahy (2001,207) menyebutnya sebagai takdir yang terikat pada determinisme lingkungan fisik. Pandangan ini sama sekali tidak dapat dibenarkan karena masalah kebebasan diletakkan secara salah, sebab kebebasan menuntut suatu pelanggaran hukum-hukum determinisme yang menentukan alam semesta. Kebebasan tidak berarti menyangkal karakter keperluan dari hubungan-hubungan sebab akibat. Kebebasan terjadi pada tingkat alasanalasan atau motif-motif dan bukan pada tingkat sebab-sebab fisik yang ada. Seperti diketahui bahwa
sebab-sebab ini menghasilkan akibat-akibat secara perlu tetapi tetap berada di bawah kemampuan saya untuk mengorganisir sebab-sebab itu supaya bisa menghasilkan akibat-akibat yang saya inginkan.
Demikianlah bagaimana, tanpa melanggar sedikit pun prinsip kausalitas fisik, tanpa melangggar hukum-hukum alam, bahkan dengan mematuhi hukum-hukum itu, sebagaimana filsuf Francis Bacon (1561-1626) berkata:
”Orang memerintah alam hanya dengan mematuhinya”, manusia mampu mengubah dunianya. Demikianlah bagaimana manusia dapat mempergunakan, secara bebas, tenaga atom, baik untuk kepentingan perang maupun untuk penyembuhan penyakit kanker. Dalam satu dan lain hal hukum-hukum samalah yang menguasai tenaga atom itu. Namun manusialah yang secara bebas mengorientasikan hukum-hukum tersebut ke arah hasil semacam ini atau itu, menurut motif-motif atau alasan-alasan yang dimiliki, menurut tujuan yang mau dicapainya.”
menyulut perdebatan. Dalam hal ini para filsuf dan mereka yang sedang bergulat dengan filsafat masih mempunyai tugas yang belum selesai tentang bagaimana seharusnya memposisikan takdir ini di dalam kehidupan konkret, tentu saja dilihat dari sudut pandang filsafat.

Sumber: Linus K. Palindangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar