Minggu, 18 Desember 2016

Kedudukan Wanita dari Aspek Sosial



Posisi Islam mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat dari Aspek Sosial

      1.      Sebagai Anak dan Orang Dewasa
Bertentangan dengan penguburan bayi perempuan hidup-hidup dalam beberapa suku Arab, Al-Qur’an melarang hal tersebut, dan menganggapnya sebagai sebuah kejahatan pembunuhan:
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS At-Takwir : 8-9).
Mengkritisi perbuatan yang dilakukan beberapa orang tua yang menolak kelahiran anak perempuan, Al-Qur’an menegaskan:
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An-Nahl : 58-59)
Lebih lanjut meneyelamatkan anak perempuan sehingga nantinya tidak menerima ketidakadilan dan ketidaksertaraan, Islam mengharuskan perbuatan baik dan adil kepadanya. Diantara perkataan Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam dalam hal ini adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa yang memiliki anak perempuan dan tidak menguburkannya hidup-hidup, tidak mempermalukannya, dan tidak melebihhkan anak laki-laki atasnya, Allah akan memasukkannya ke dalam surga. “ (HR Ahmad no. 1957).
“Barangsiapa yang memelihara dua anak perempuannya sampai mereka dewasa, dia dan aku akan datang pada hari perhitungan seperti ini” (dan beliau menunjukkan dengan dua jarinya yang disatukan).
Hadits serupa juga juga berlaku untuk seseorang yang memelihara dua saudara perempuannya (HR Ahmad no. 2104).
Hak wanita untuk mencari ilmu tidak berbeda dengan laki-laki. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR Al-Baihaqi).
Muslim yang dimaksud disini adalah meliputi keduanya laki-laki dan perempuan.
2.      Sebagai Isteri
Al-Qur’an jelas menunjukkan bahwa perkawinan adalah perpaduan antara dua setengah dari masyarakat, dan bahwa tujuannya, selain meneruskan generai manusia, adalah untuk pemuasan kebutuhan emosional dan keseimbangan spiritual. Landasannya adalah cinta dan kasih sayang.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rumm : 21)
Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa persetujuannya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, dan dia menceritakan bahwa ayahnya telah memaksanya untuk menikah tanpa persetujuannya. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam memberinya dua pilihan… (antara menerima pernikahan itu atau membatalkannya) (HR Ahmad no. 2469). Dalam riwayat lain, wanita itu berkata,
“Sebenarnya saya menerima perkawinan ini tetapi saya ingin para wanita mengetahui bahwa orang tua tidak berhak (memaksakan seorang suami kepada mereka).” (HR Ibnu Majah no. 1873).
Selain apa yang diperoleh untuk melindunginya dalam masa perkawinan, telah diperintahkan secara khusus bahwa wanita memiliki hak penuh atas maharnya, hadiah perkawinan, yang diberikan kepadanya oleh suaminya dan hal tersebut termasuk dalam akad perkawinan, dan bahwa kepemilikan tersebut tidak dapat dipindahkan kepada ayahnya atau suaminya. Konsep mahar dalam Islam bukan merupakan harga actual atau simbolis dari seroang wanita, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa budaya, namun lebih pada hadiah yang melambangkan cinta dan ketertarikan.
Hukum perkawinan dalam Islam adalah jelas dan selaras dengan sifat dasar manusia. Dengan mempertimbangkan penciptaan sisi fisiologi dan psikologi pria dan wanita, keduanya mempunya hak dan kewajiban yang sama antar satu dengan yang lain, kecuali satu kewajiban, yaitu kepemimpinan. Hal ini adalah sesuatu yang alami sejauh pengamatan saya dalam hidup ini, dan konsisten terhadap keadaan alami pria.

Al-Qur’an menegaskan:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS Al-Baqarah : 228)
Kelebihan itu adalah Qiwamah (pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk pada perbedaan alami antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih lemah mendapatkan perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas atau kelebihan di mata hukum. Namun peran kepemimpinan laki-laki dalam keluarganya tidak berarti seorang suami menjadi dictator atas isterinya. Islam menkeankan pentingnya nasehat dan persetujaun bersama dalam diskusi keluarga.
Al-Qur’an memberi kita contoh:
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. “ (QS Al-Baqarah : 233)
Di atas hak-hak dasar seorang isteri, ada hak yang ditekankan dalam Al-Qur’an dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah salallahu alaihi wasallam; perlakuan yang baik dan persahabatan.
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisa : 19)
Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan saya adalah yang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku.”
“Mukmin terbaik adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya.” (HR Ahmad no. 7396)
Perhatikanlah, banyak wanita yang mendatangi isteri-isteri Rasulullah mengadukan suami mereka (karena pemukulan) --- mereka (para suami tersebut) bukanlah yang terbaik untuk kalian. Sebagaimana hak wanita untuk menyetujui sebuah perkawinan diakui, demikian pula haknya untuk menghakhiri perkawinannya yang tidak bahagia. Namun untuk memberikan stabilitas kepada keluarga, dan untuk melindunginya dari keputusan yang tergesa-gesa dibawah tekanan emosi sementara, beberapa langkah dan masa menunggu harus diperhatikan bagi pria dan wanita yang ingin bercerai. Mempertimbangkan keadaan alami wanita yang relative lebih emosional, sebuah alasan yang benar harus dihadapkan pada hakim sebelum bercerai. Namun demikian, sebagaimana pria, wanita dapat menceraikan suaminya tanpa melalui pengadilan, jika perjanjian pernikahan membolehkannya.
Lebih spesifik, beberapa aspek dalam hukum Islam yang berhubungan dengan pernikahan dan perceraian adalah menarik dan berharga untuk dibahas secara terpisah. Manakala keberlanjutan sebuah pernikahan tidak memungkinkan karena beberapa alasan, laki-laki tetap diajarkan untuk mencari penyelesaian yang terbaik.
Untuk hal tersebut Al-Qur’an menegaskan:
“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” (QS Al-Baqarah : 231). (Lihar juga QS Al-Baqarah : 229 dan QS Al-Ahzab :49)
3.      Sebagai Ibu
Islam mengajarkan kebaikan terhadap kedua orang tua setelah penyembahan kepada Allah.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS Luqman : 14)
Lebih lanjut, Al-Qur’an memberikan anjuran khusus bagi perlakuan baik terhadap ibu:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS Al-Israa’ : 23)
Seorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam dan bertanya:
“Ya Rasulullah, siapa di antara manusia yang paling berhak aku pergauli degan baik?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Lalu siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Kemudian ayahmu.” (HR Bukhari-Muslim)
Sebuah perkataan terkenal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam:
“Surga di bawah telapak kaki ibu.” (HR An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad).
“Orang yang dermawan (pada karakter) adalah mereka yang berakhlak baik terhadap wanita, dan yang jahat adalah yang mempermalukan mereka.”

Sumber: Dr. Jamal A. Badawi dari buku Kedudukan Wanita dalam Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar