Posisi Islam mengenai
kedudukan wanita dalam masyarakat dari Aspek Sosial
1. Sebagai Anak dan Orang Dewasa
Bertentangan dengan penguburan bayi
perempuan hidup-hidup dalam beberapa suku Arab, Al-Qur’an melarang hal
tersebut, dan menganggapnya sebagai sebuah kejahatan pembunuhan:
“Dan apabila bayi-bayi
perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa
apakah dia dibunuh.” (QS At-Takwir : 8-9).
Mengkritisi perbuatan
yang dilakukan beberapa orang tua yang menolak kelahiran anak perempuan,
Al-Qur’an menegaskan:
“Dan apabila
seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu.” (QS An-Nahl : 58-59)
Lebih lanjut meneyelamatkan
anak perempuan sehingga nantinya tidak menerima ketidakadilan dan ketidaksertaraan,
Islam mengharuskan perbuatan baik dan adil kepadanya. Diantara perkataan Nabi
Muhammad sallallahu alaihi wasallam dalam hal ini adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa yang
memiliki anak perempuan dan tidak menguburkannya hidup-hidup, tidak
mempermalukannya, dan tidak melebihhkan anak laki-laki atasnya, Allah akan
memasukkannya ke dalam surga. “ (HR Ahmad no. 1957).
“Barangsiapa yang
memelihara dua anak perempuannya sampai mereka dewasa, dia dan aku akan datang
pada hari perhitungan seperti ini” (dan beliau menunjukkan dengan dua jarinya
yang disatukan).
Hadits serupa juga juga
berlaku untuk seseorang yang memelihara dua saudara perempuannya (HR Ahmad no.
2104).
Hak wanita untuk
mencari ilmu tidak berbeda dengan laki-laki. Rasulullah sallallahu alaihi
wasallam bersabda:
“Mencari
ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR Al-Baihaqi).
Muslim yang dimaksud
disini adalah meliputi keduanya laki-laki dan perempuan.
2. Sebagai Isteri
Al-Qur’an jelas
menunjukkan bahwa perkawinan adalah perpaduan antara dua setengah dari
masyarakat, dan bahwa tujuannya, selain meneruskan generai manusia, adalah
untuk pemuasan kebutuhan emosional dan keseimbangan spiritual. Landasannya adalah
cinta dan kasih sayang.
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rumm : 21)
Menurut hukum Islam,
seorang wanita tidak boleh dipaksa untuk menikah tanpa persetujuannya. Ibnu
Abbas meriwayatkan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah sallallahu
alaihi wasallam, dan dia menceritakan bahwa ayahnya telah memaksanya untuk
menikah tanpa persetujuannya. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam memberinya
dua pilihan… (antara menerima pernikahan itu atau membatalkannya) (HR Ahmad no.
2469). Dalam riwayat lain, wanita itu berkata,
“Sebenarnya saya
menerima perkawinan ini tetapi saya ingin para wanita mengetahui bahwa orang
tua tidak berhak (memaksakan seorang suami kepada mereka).” (HR Ibnu Majah no.
1873).
Selain apa yang
diperoleh untuk melindunginya dalam masa perkawinan, telah diperintahkan secara
khusus bahwa wanita memiliki hak penuh atas maharnya, hadiah perkawinan, yang
diberikan kepadanya oleh suaminya dan hal tersebut termasuk dalam akad perkawinan,
dan bahwa kepemilikan tersebut tidak dapat dipindahkan kepada ayahnya atau
suaminya. Konsep mahar dalam Islam bukan merupakan harga actual atau simbolis
dari seroang wanita, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa budaya, namun
lebih pada hadiah yang melambangkan cinta dan ketertarikan.
Hukum perkawinan dalam
Islam adalah jelas dan selaras dengan sifat dasar manusia. Dengan
mempertimbangkan penciptaan sisi fisiologi dan psikologi pria dan wanita,
keduanya mempunya hak dan kewajiban yang sama antar satu dengan yang lain,
kecuali satu kewajiban, yaitu kepemimpinan. Hal ini adalah sesuatu yang alami
sejauh pengamatan saya dalam hidup ini, dan konsisten terhadap keadaan alami
pria.
Al-Qur’an
menegaskan:
“Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS Al-Baqarah : 228)
Kelebihan itu adalah Qiwamah
(pemeliharaan dan perlindungan). Hal ini merujuk pada perbedaan alami
antara dua jenis kelamin yang mewajibkan jenis yang lebih lemah mendapatkan
perlindungan. Hal ini tidak menyiratkan adanya superioritas atau kelebihan di
mata hukum. Namun peran kepemimpinan laki-laki dalam keluarganya tidak berarti
seorang suami menjadi dictator atas isterinya. Islam menkeankan pentingnya
nasehat dan persetujaun bersama dalam diskusi keluarga.
Al-Qur’an memberi kita
contoh:
“Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. “ (QS
Al-Baqarah : 233)
Di atas hak-hak dasar
seorang isteri, ada hak yang ditekankan dalam Al-Qur’an dan sangat dianjurkan
oleh Rasulullah salallahu alaihi wasallam; perlakuan yang baik dan
persahabatan.
“Dan bergaullah dengan
mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An-Nisa
: 19)
Nabi Muhammad
sallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Yang paling baik di
antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan saya adalah yang terbaik
di antara kamu terhadap keluargaku.”
“Mukmin terbaik adalah
yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di antara kamu adalah yang
paling baik perlakuannya terhadap isterinya.” (HR Ahmad no. 7396)
Perhatikanlah, banyak
wanita yang mendatangi isteri-isteri Rasulullah mengadukan suami mereka (karena
pemukulan) --- mereka (para suami tersebut) bukanlah yang terbaik untuk kalian.
Sebagaimana hak wanita untuk menyetujui sebuah perkawinan diakui, demikian pula
haknya untuk menghakhiri perkawinannya yang tidak bahagia. Namun untuk
memberikan stabilitas kepada keluarga, dan untuk melindunginya dari keputusan
yang tergesa-gesa dibawah tekanan emosi sementara, beberapa langkah dan masa menunggu
harus diperhatikan bagi pria dan wanita yang ingin bercerai. Mempertimbangkan
keadaan alami wanita yang relative lebih emosional, sebuah alasan yang benar
harus dihadapkan pada hakim sebelum bercerai. Namun demikian, sebagaimana pria,
wanita dapat menceraikan suaminya tanpa melalui pengadilan, jika perjanjian
pernikahan membolehkannya.
Lebih spesifik,
beberapa aspek dalam hukum Islam yang berhubungan dengan pernikahan dan
perceraian adalah menarik dan berharga untuk dibahas secara terpisah. Manakala
keberlanjutan sebuah pernikahan tidak memungkinkan karena beberapa alasan,
laki-laki tetap diajarkan untuk mencari penyelesaian yang terbaik.
Untuk hal tersebut
Al-Qur’an menegaskan:
“Apabila kamu menalak
istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya,
maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” (QS
Al-Baqarah : 231). (Lihar juga QS Al-Baqarah : 229 dan QS Al-Ahzab :49)
3. Sebagai Ibu
Islam
mengajarkan kebaikan terhadap kedua orang tua setelah penyembahan kepada Allah.
“Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS Luqman : 14)
Lebih lanjut, Al-Qur’an
memberikan anjuran khusus bagi perlakuan baik terhadap ibu:
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(QS Al-Israa’ : 23)
Seorang laki-laki
datang kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam dan bertanya:
“Ya Rasulullah, siapa
di antara manusia yang paling berhak aku pergauli degan baik?” Rasulullah sallallahu
alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Lalu
siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Kemudian ayahmu.” (HR
Bukhari-Muslim)
Sebuah perkataan
terkenal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam:
“Surga
di bawah telapak kaki ibu.” (HR An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad).
“Orang yang dermawan
(pada karakter) adalah mereka yang berakhlak baik terhadap wanita, dan yang
jahat adalah yang mempermalukan mereka.”
Sumber:
Dr. Jamal A. Badawi dari buku Kedudukan Wanita dalam Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar