Sebagaimana diisyaratkan di atas bahwa jawaban atas
pertanyaan tentang "apa makna kehidupan" tidak memperoleh jawaban
tunggal. Hal ini disebabkan karena keyakinan setiap orang tumbuh dalam lingkup
moral yang berbeda. Ada yang menyatakan bahwa makna kehidupan terletak pada persahabatan
dan keindahan alam dan seni, seperti G.E. Moore. Ada yang berpendapat bahwa
makna kehidupan terletak pada integritas moral dan kasih sayang. Ada pula yang
menyatakan satu-satunya hal terpenting dalam kehidupan ini adalah nikmat
ragawi, khususnya makan, seperti pendapat Sardanapallus. Lalu, dalam pencarian
kita akan makna kehidupan apakah kita akan mengatakan bahwa ke tiga pandangan
yang berbeda-beda ini dapat dijadikan pegangan ?
Sepintas
lalu kita mungkin akan tergoda untuk mengiayakan. Dan jika ini terjadi, itu
berarti kita juga harus menyadari bahwa ketika kita mengatakan telah mengetahul
raakna kehidupan dengan bepegang pada pendapat di atas, pada saat itu juga kita
sepakat bahwa pertanyaan tentang apa itu makna kehidupan tidak memperoleh
jawaban yang tunggal. Karena kita tahu bahwa keyakinan Mta itu tumbuh dalam
lingkup moral kita sendiri dan orang lain memiliki lingkup moral mereka sendiri
pula, sekalipun kita menganggapnya salah.
Di
antara kita, menurut penuturan Karl Britton, mungkin ada yang meyakini bahwa
makna kehidupan telah ditentukan oleh satu kekuatan di luar diri kita jauh
sebelum kita mulai menjalani hidup ini. Bisa jadi kekuatan tersebut adalah apa
yang diyakini sebagai Tuhan Yang Maha Suci yang telah menitahkan tujuan hidup
sebelum manusia tercipta dan Dialah yang membimbing manusia dalam mencapai tujuan
tersebut. Namun masalah yang muncul adalah, tatkala kita mengerti bahwa tujuan
hidup yang telah ditentukan tadilah yang menjelaskan tentang adal mula kita dan
kemana tujuan kita, kita kemudian tetap akan menggerutu, :Kalau begitu, hidup
yang kita jalani ini tetap tidak punya arti". Sebab tujuannya telah
ditentukan dan tidak bisa diganggu gugat. Sepertinya tujuan tersebut sulit
dicapai dan malah mengekang jiwa kita. Hidup sepertinya menjadi semacam kerja
paksa. Diri kita ini ditakdirkan untuk berjuang mencapai sebuah tujuan yang
tidak diketahui apa nilainya. Sebaliknya, melarikan diri dari kerja paksa
tersebut kelihatannya juga sulit atau malah mustahil sama sekali. Dengan
demikian, eksistensi kita di muka bumi sama sekali tidak berarti.
Atau
barangkali pertanyaan berkaitan dengan dua masalah lain secara bersamaan, yaitu
(1) apakah tujuan hidup ini telah dititahkan sebelumnya oleh alam, Tuhan, atau
kekuatan selain diri saya ? dan (2)
apakah tujuan yang telah ditentukan itu dapat dipandang sebagai
tujuan yang punya makna demi dirinya sendiri -tujuan yang mesti diikuti tanpa
dapat membantah ?
Menurut
penuturan Karl Britton, kebanyakan manusia terlalu ngotot membicarakan yang
pertama dari dua masalah di atas. Mereka tidak serta merta menerima bahwa
kehidupan ini dengan sendirinya dapat memperlihatkan mana tujuan yang
bermanfaat dan bagaimana kita dapat meraihnya.
Hal
ini terjadi karena :
Pertama, karena
memang tidak ada kebulatan suara manusia tentang apa tujuan hidup ini
sesungguhnya. Dalam perdebatan "tujuan akhir kehidupan", seolah-olah
kita memang akan mencapai sebuah kesepakatan. Dikutsertakannya Tuhan dalam masalah
ini tidak dimaksudkan untuk memberi jalan keluar yang paling tepat, namun Dia
"ditempatkan" sebagai standar absolut terhadap apa pun jawaban yang
akan ditemukan. Dan, hal ini akan berbeda dengan pandangan yang tidak
menetapkan standar apa pun dalam menentukan apa sesungguhnya yang bermakna
dalam kehidupan ini.
Kedua, karena
manusia kadang-kadang merasa seakan dituntun ke arah satu keyakinan, maka dia
pun akan dituntun kepada sesuatu yang bermanfaat. Artinya, mereka tidak dapat
menjelaskan kenapa mereka berkeyakinan seperti itu dan tidak memilih alternatif
yang lain. Seakan-akan dengan jawaban yang datang dari luar ini semua masalah
yang mucul setiap hari dapat diselesaikan dan setiap sanggahan dapat
dipatahkan.
Ketiija, menggantungkan
diri pada satu tujuan yang akan mewarnai seluruh kehidupan kita, berarti
melibatkan diri ke dalam satu petualangan dan hal ini memerlukan kepercayaan diri.
Saat keraguan datang dalam petualangan ini, orang bisa berujan "Saya tidak
akan menerima tujuan yang diberikan ini sarapai saya benar-benar dapat
membuktikan hahwa saya memiliki kesempatan untuk meraihnya. Oleh sebab itu, alam,
dunia dan lain sebagainya harus mendukung saya agar sukses meneapainya.
Pendapat semacam ini berusaha menentukan apa sebenarnya yang kita harapkan.
Sumber: Andewi Suhartini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar