Dalam
kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ada orang mengemh sangat pesimis,
"Hidupku sudah tidak berarti lagi". Lain waktu, kita mendengar pula
ucapan yang bermakna sebaliknya, sangat optimis, "Rasarasanya, sayalah
orang yan paling bahagia di dunia ini". Dua ungkapan harian ini
menunjukkan bahwa betapa pun menariknya hidup ini, toh dapat membuat
orang
sengsara dan bisa juga membuat orang bahagia. Akibatnya, tak terelakkan munculnya
pertanyaan, apakah benar hidup manusia di dunia ini mempunyai makna dan tujuan
? Ataukah sesungguhnya hidup ini terjadi secara kebetulan belaka, tanpa makna
apa pun, dan tanpa tujuan sama sekali? Al-Qur'an pun tak kalah serius bertanya "Apakah
kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu sekalian secara sia-sia?
Pertanyaan
di atas mempresentasikan tentang adanya problem makna hidup. Dalam hubungan
ini, ada dua kelompok yang refresentatif mendeskripsikan problem makna hidup di
atas, yakni kaum pesimis dan kaum optimis.
Pandangan Kaum Pesimis
Kaum
pesimis, berpandangan bahwa hidup ini tidak bermakna dan tidak pula bertujuan,
bahkan dengan mengambil pengalaman keseluruhan manusia sebagai pangkal
penalarannya, mereka berpendapat bahwa hidup ini tidak saja tanpa makna dan
tujuan, melainkan juga penuh kesengsaraan, sehingga mati sebenarnya adalah
lebih baik daripadanya. Karena itu, menurut mereka, semua orang, seandainya
bisa memilih, tentu lebih suka tidak pernah ada dan hidup di dunia ini, dan
puas dengan "damainya ketiadaan yang serba berkecukupan" (the
peace of the all-sufficient nothing).
Di
antara kaum pesimistis, seperti Schopenhauer menolak adanya makna hidup
berdasarkan pada beberapa pandangan. Pertama, berawal dengan pandangan
bahwa setiap kematian adalah peristiwa tragis dan amat menyedihkan. Semua orang
takut mati. Ini berarti bahwa bagi semua orang, hidup masih lebih baik daripada
mati. Tapi justru kematian itu salah satu dari sedikit kejadian yang mutlak tak
terelakkan oleh siapa pun. Ini berarti, menurut kaum pesimis, hidup ini
hanyalah proses pasti menuju tragedi. Jadi hidup adalah kesengsaraan. Darrow
pun mengatakan bahwa hidup adalah "guyon yang mengerikan" (awful
joke), dan Tolstoy melihat hidup sebagai "tipuan dungu" (stupidfraud).
Jadi untuk apa hidup ? Bukankah, kalau begitu, lebih baik tidak pernah
hidup di dunia ini dan tetap berada dalam ketiadaan yang tanpa masalah itu ?
Atau, kalau seseorang cukup "rasional" dan "berani", bukankah
lebih baik kembali kepada ketiadaan semula yang tanpa masalah itu, melalui
bunuh diri ? (Tapi nyatanya sedikit sekali kalangan kaum pesimis sendiri yang
memilih "kembali kepada ketiadaan" daripada tetap hidup dengan segala
tragedinya ini).
Kedua,
mereka
menolak adanya makna dan tujuan hidup karena mereka memandang bahwa dalam hidup
itu tidak ada kebahagiaan sejati. Setiap gambaran mengenai kebahagiaan adalah
palsu, sebab kebahagiaan itu sendiri adalah palsu. Suatu lukisan kebahagiaan
menarik hati hanya selama lukisan itu sendiri masih berada di masa depan yang belum
terwujud, atau malah di masa lalu yang diromantiskan dan didambakan kembalinya
secara nostalgik. Orang pun terdorong dan tergerak jiwa raganya dalam usaha inewujudkan
lukisan kebahagiaan itu. Tetapi segera setelah suatu usaha mewujudkannya
dianggap selesai dan tujuan tercapai, mulailah kekecewaan demi kekcewaan
timbul, dan proses pun berulang kembali. Karena kebahagiaan adalah semu dan
palsu, maka manusia adalah makhluk yang sengsara.
Ketiga,
kaum
pesimis menolak makna dan tujuan hidup karena mereka mendefinisikan kebahagiaan
dengan negatif. Menurut mereka, jika toh kebahagiaan itu ada, maka paling jauh,
hanya dapat didefinisikan secara negatif: "kebahagiaan ialah tidak adanya
kesengsaraan". Karena kebahagiaan itu negatif, maka ia tidak mengandung
kesejatian, alias palsu. Oleh karena itu, dalam hidup tidak ada kebahagiaan, atau,
lebih tegasnya, hidup pada hakikatnya adalah kesengsaraan.. Dan, meskipun masa
lalu senantiasa dirindukan, dan masa depan selalu diimpikan, tapi, kata kaum
pesimis, semuanya itu tidak hakiki. Yang hakiki hanyalah sekarang. Tapi karena "sekarang"
terdiri dari deretan atom waktu yang terns bergerak menjadi masa lalu, maka
"sekarang" pun bukanlah hal yang memadai. Maka tipikal ucapan kaum
pesimis ialah, "segala yang lalu telah tiada, segala yang akan datang belum
terjadi, dan segala yang ada sekarang tidak memadai" (all that was is no
more, all that will be is not yet, and all that is is unsufficient). Jadi, merindukan
masa lampau adalah sia-sia, memimpikan masa depan adalah tetap impian belaka,
dan menjalani hidup sekarang tidak cukup menarik. Lalu untuk apa hidup?
Bukankah kalau begitu, keberadaan kita di dunia ini adalah peristiwa yang
terjadi secara kebetulan belaka, tanpa makna maupun tujuan, bahkan tanpa hal
yang benar-benar menyenangkan?
Sumber:
Andewi Suhartini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar