Minggu, 18 Desember 2016

Kedudukan Wanita dari Aspek Politik



Posisi Islam mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat dari Aspek Politik.

Penelitian yang adil terhadap ajaran Islam ke dalam sejarah peradaban Islam tentu saja akan didapat bukti nyata bahwa wanita setara dengan pria dalam apa yang kita sebut hari ini ‘hak berpolitik”.

Hal ini termasuk hak untuk mengikuti pemilu dan juga dicalonkan dalam partai-partai politik. Hal ini juga termasuk hak wanita untuk ikut serta dalam masalah umum. Baik dalan Al-Qur’an maupun sejarah Islam kita akan menemukan wanita berpartisipasi dalam diskusi dan berargumen bahkan dengan Nabi sallallahu alaihi wasallam, (lihat QS Al-Mujadilah:14, dan QS Al-Mumtahanah 10-12).

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab radiallahu anha, seorang wanita membantahnya dalam masjid, membuktikan perkataaannya dan menyebabkan Umar mengumumkan pada hadirin, “Wanita ini benar dan Umar salah.”

Meskipun tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, salah satu hadits Rasulullah diartikan bahwa wanita tidak pantas menjadi pemimpin Negara. Hadits yang dimaksud kurang lebih berarti: “Tidak beruntung suatu masyarakat jika mereka memilih wanita menjadi pemimpin mereka.” Bagaimanapun juga, keterbatasan ini tidak ada hubungannya dengan martabat atau hak wanita. Hal ini lebih pada perbedaan alamiah dari segi biologis dan psikologis.

Menurut ajaran Islam, pemimpin suatu Negara tidak sekedar symbol. Dia memimpin masyarakatnya dalam shalat, khususnya pada shalat Jumat dan Ied, Dia secara terus-menerus terikat dalam proses pengambilan keputusan menyangkut masalah keamanan dan kemaslahatan masyarakatnya. Posisi yang penuh tuntutan ini, atau yang semisalnya, seperti pinpinan angkatan bersenjata, secara umum tidak sejalan dengan kondisi fisiologis dan psikologis wanita pada umumnya. Adalah fakta klinis bahwa dalam masa menstruasi dan kehamilan, wanita mengalami perubahan fisiologis dan psikologis. Perubahan seperti itu dapat terjadi dalam keadaan darurat, hingga mempengaruhi keputusannya, tanpa mempertimbangkan ketenganan yang berlebihan yang ditimbulkannya. Lebih lanjut, beberapa keputusan membutuhkan rasionalitas maksimum dan emosionalitas minimum – sebuah kebutuhan yang tidak sejalan dengan naluri alami wanita.

Bahkan di zaman moderen, dan di negara-negara maju, sangat jarang dijumpai seorang wanita menjadi kepala negara, berperan lebih dari sekedar symbol, seorang wanita yang menjadi komandan angakatan bersenjata, atau bahkan jumlah proporsional wanita sebagai anggota parlemen, atau lembaga sejenis. Seseorang tidak mungkin menganggap hal ini sebagai ketertinggalan beberapa negara atau lembaga konsitusi terhadap hak-hak wanita untuk menduduki jabatan kepala pemerintahan atau anggota parlemen. Adalah lebih masuk akal untuk menjelaskan keadaan masa kini dalam batasan perbedaan natural dan tidak terbantahkan antara pria dan wanita, perbedaan yang tidak menyiratkan ‘supermasi’ pria terhadap wanita. Perbedaan ini lebih menyiratkan pada peran “saling mengisi” dari keduanya dalam kehidupan ini.

Sumber: Dr. Jamal A. Badawi dari buku Kedudukan Wanita dalam Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar