Posisi
Islam mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat dari Aspek Politik.
Penelitian
yang adil terhadap ajaran Islam ke dalam sejarah peradaban Islam
tentu saja akan didapat bukti nyata bahwa wanita setara dengan pria dalam
apa yang kita sebut hari ini ‘hak berpolitik”.
Hal
ini termasuk hak untuk mengikuti pemilu dan juga dicalonkan dalam partai-partai
politik. Hal ini juga termasuk hak wanita untuk ikut serta dalam masalah umum.
Baik dalan Al-Qur’an maupun sejarah Islam kita akan menemukan wanita
berpartisipasi dalam diskusi dan berargumen bahkan dengan Nabi sallallahu
alaihi wasallam, (lihat QS Al-Mujadilah:14, dan QS Al-Mumtahanah 10-12).
Pada
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab radiallahu anha, seorang wanita
membantahnya dalam masjid, membuktikan perkataaannya dan menyebabkan Umar
mengumumkan pada hadirin, “Wanita ini benar dan Umar salah.”
Meskipun
tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, salah satu hadits Rasulullah diartikan bahwa
wanita tidak pantas menjadi pemimpin Negara. Hadits yang dimaksud kurang lebih
berarti: “Tidak beruntung suatu masyarakat jika mereka memilih wanita menjadi
pemimpin mereka.” Bagaimanapun juga, keterbatasan ini tidak ada hubungannya dengan
martabat atau hak wanita. Hal ini lebih pada perbedaan alamiah dari segi
biologis dan psikologis.
Menurut
ajaran Islam, pemimpin suatu Negara tidak sekedar symbol. Dia memimpin
masyarakatnya dalam shalat, khususnya pada shalat Jumat dan Ied, Dia secara
terus-menerus terikat dalam proses pengambilan keputusan menyangkut masalah
keamanan dan kemaslahatan masyarakatnya. Posisi yang penuh tuntutan ini, atau
yang semisalnya, seperti pinpinan angkatan bersenjata, secara umum tidak
sejalan dengan kondisi fisiologis dan psikologis wanita pada umumnya. Adalah
fakta klinis bahwa dalam masa menstruasi dan kehamilan, wanita mengalami
perubahan fisiologis dan psikologis. Perubahan seperti itu dapat terjadi dalam
keadaan darurat, hingga mempengaruhi keputusannya, tanpa mempertimbangkan
ketenganan yang berlebihan yang ditimbulkannya. Lebih lanjut, beberapa
keputusan membutuhkan rasionalitas maksimum dan emosionalitas minimum – sebuah kebutuhan
yang tidak sejalan dengan naluri alami wanita.
Bahkan
di zaman moderen, dan di negara-negara maju, sangat jarang dijumpai seorang
wanita menjadi kepala negara, berperan lebih dari sekedar symbol, seorang
wanita yang menjadi komandan angakatan bersenjata, atau bahkan jumlah
proporsional wanita sebagai anggota parlemen, atau lembaga sejenis. Seseorang
tidak mungkin menganggap hal ini sebagai ketertinggalan beberapa negara atau
lembaga konsitusi terhadap hak-hak wanita untuk menduduki jabatan kepala
pemerintahan atau anggota parlemen. Adalah lebih masuk akal untuk menjelaskan keadaan
masa kini dalam batasan perbedaan natural dan tidak terbantahkan antara pria
dan wanita, perbedaan yang tidak menyiratkan ‘supermasi’ pria terhadap wanita.
Perbedaan ini lebih menyiratkan pada peran “saling mengisi” dari keduanya dalam
kehidupan ini.
Sumber:
Dr. Jamal A. Badawi dari buku Kedudukan Wanita dalam Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar