Jumat, 30 Desember 2016

Konspirasi Protokol Kyoto



Seperti yang telah dijelaskan diatas, Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa iklim di bumi makin tidak menentu akibat pemanasan global. Untuk menangani permasalahan ini, pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 disepakatilah UNFCCC (United Nations Framework on Climate Change Convention). Tapi UNFCCC adalah perjanjian yang tidak mengikat negara yang menandatanganinya untuk melaksakanakan aturan-aturan yang telah disepakati. Satu-satunya jalan adalah dengan mengadakan konferensi lanjutan yang diharapkan menghasilkan output yang lebih mengikat. Pada tahun 1997, konferensi lanjutan itu dilaksanakan di Kota Kyoto, Jepang, dengan dihadiri delegasi dari 160 negara. Selain dihadiri oleh delegasi negara, dalam konferensi ini juga ada perwakilan LSM dan pastinya perwakilan perusahaan multinasional seperti Exxon, British Petroleum, dan Shell (ada apa gerangan mereka disana?).

Alhasil, dari pertemuan itu, setelah perdebatan yang sangat alot, disepakatilah Protokol Kyoto sebagai output dari konferensi ini. Protokol Kyoto adalah perjanjian yang mengikat negara yang menandatanganinya untuk melaksakanan kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam konferensi Kyoto. Konferensi Kyoto mewajibkan negara-negara maju yang dilabeli negara Annex 1 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Diantara negara-negara Annex 1 adalah negara Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang. Namun, protokol ini punya syarat agar dapat memiliki kekuatan yang mengikat. Syaratnya adalah Protokol Kyoto harus diratifikasi oleh lebih dari 50 negara yang hadir di konferensi Kyoto. Jika ia telah diratifikasi oleh lebih dari 50 negara, maka Protokol Kyoto dapat menjadi hukum internasional yang mengikat.

Hingga tahun 2004, jumlah penandatangannya kurang dari lima puluh, jadi protokol ini tidak pernah benar-benar menjadi hukum yang mengikat. Berkat Rusia yang menandatangani Protokol ini pada 2004, Protokol Kyoto benar-benar telah menjadi hukum internasional yang mengikat negara-negara yang menandatanganinya. Namun, masalah lain muncul, protokol ini hanya menjadi hukum yang mengikat pada negara yang meratifikasinya. Jadi, kalau ada negara yang tidak meratifikasi, maka hukum ini tidak berlaku bagi mereka. Nah, target dari protokol ini adalah semua negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar mau menandatangani protokol ini. Satu saja negara yang menghasilkan emisi gas Karbon terbesar tidak menandatangani, maka meski protokol ini telah ditandatangani oleh lebih dari 50 negara, protokol ini tidak akan memiliki signifikansi terhadap penyelesaian masalah pemanasan global.

Namun salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ternyata sampai sekarang emoh meratifikasi Protokol Kyoto padahal negara ini berperan sentral dalam membuat bumi makin panas. Jadinya, kan sama saja bohong kalau banyak negara yang meratifikasi Protokol Kyoto tapi negara tersebut bukanlah penghasil gas emisi rumah kaca, sedangkan penghasil terbesar tidak mau meratifikasi. Pastinya protokol ini tidak akan pernah efektif mengurangi emisi gas rumah kaca.

Negara satu ini tak lain adalah Amerika Serikat. Sebagai negara yang menghasilkan lebih dari 25% emisi karbon dunia, AS menolak untuk meratifikasi protokol ini dan bahkan menentang keberadaannya. George W. Bush menyatakan bahwa Protokol ini cacat. Kata orang yang satu ini, protokol ini tidak realistis dan tidak ada dasar ilmiahnya. Sebagai informasi, Bush ini bukan hanya penjahat perang, tapi ia juga penjahat lingkungan. Tidak puas telah membantai ribuan muslim di Afghanistan dan Irak, presiden yang satu ini juga ingin membantai milyaran populasi manusia dengan terus berkontribusi terhadap pemanasan global.

AS tidak bersedia mengimplementasikan protokol ini karena perjanjian tersebut tentu akan berdampak negatif terhadap perekonomian AS. Ada beberapa faktor spesifik yang membuat Amerika Serikat tidak mau menandatangani perjanjian Protokol Kyoto. Faktor pertama adalah tekanan dari perusahaan multinasional yang memang dari dulu memiliki hubungan mesra dengan
pemerintahan Amerika Serikat. Faktor kedua karena kalkulasi yang dilakukan AS menunjukkan AS akan sangat amat merugi jika menandatangani Protokol Kyoto. Dari dua faktor diatas, faktor
pertama ternyata jauh lebih signifikan dari faktor kedua. Mari kita tengok lebih dalam penjelasan mengenai faktor pertama.

Di era Obama, kebijakan lingkungan Amerika Serikat jauh lebih akomodatif terhadap lingkungan. Namun tetap saja, yang memegang kendali di Amerika Serikat selain pemerintahnya tak lain adalah kelompok bisnisnya yang merajalela dan akan sebisa mungkin Zmenjaga agar kepentingan mereka tidak diganggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar