Seperti yang telah dijelaskan diatas,
Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa iklim di bumi makin tidak menentu
akibat pemanasan global. Untuk menangani permasalahan ini, pada KTT Bumi di Rio
de Janeiro tahun 1992 disepakatilah UNFCCC (United Nations Framework
on Climate Change Convention). Tapi UNFCCC adalah perjanjian yang tidak
mengikat negara yang menandatanganinya untuk melaksakanakan aturan-aturan yang
telah disepakati. Satu-satunya jalan adalah dengan mengadakan konferensi lanjutan
yang diharapkan menghasilkan output yang lebih mengikat. Pada tahun
1997, konferensi lanjutan itu dilaksanakan di Kota Kyoto, Jepang, dengan
dihadiri delegasi dari 160 negara. Selain dihadiri oleh delegasi negara, dalam
konferensi ini juga ada perwakilan LSM dan pastinya perwakilan perusahaan
multinasional seperti Exxon, British Petroleum, dan Shell (ada apa gerangan
mereka disana?).
Alhasil, dari pertemuan itu, setelah
perdebatan yang sangat alot, disepakatilah Protokol Kyoto sebagai output dari
konferensi ini. Protokol Kyoto adalah perjanjian yang mengikat negara yang menandatanganinya
untuk melaksakanan kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam konferensi
Kyoto. Konferensi Kyoto mewajibkan negara-negara maju yang dilabeli negara
Annex 1 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Diantara negara-negara Annex
1 adalah negara Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang. Namun, protokol ini
punya syarat agar dapat memiliki kekuatan yang mengikat. Syaratnya adalah Protokol
Kyoto harus diratifikasi oleh lebih dari 50 negara yang hadir di konferensi
Kyoto. Jika ia telah diratifikasi oleh lebih dari 50 negara, maka Protokol
Kyoto dapat menjadi hukum internasional yang mengikat.
Hingga tahun 2004, jumlah penandatangannya
kurang dari lima puluh, jadi protokol ini tidak pernah benar-benar menjadi
hukum yang mengikat. Berkat Rusia yang menandatangani Protokol ini pada 2004,
Protokol Kyoto benar-benar telah menjadi hukum internasional yang mengikat
negara-negara yang menandatanganinya. Namun, masalah lain muncul, protokol ini
hanya menjadi hukum yang mengikat pada negara yang meratifikasinya. Jadi, kalau
ada negara yang tidak meratifikasi, maka hukum ini tidak berlaku bagi mereka.
Nah, target dari protokol ini adalah semua negara penghasil emisi gas rumah
kaca terbesar mau menandatangani protokol ini. Satu saja negara yang
menghasilkan emisi gas Karbon terbesar tidak menandatangani, maka meski protokol
ini telah ditandatangani oleh lebih dari 50 negara, protokol ini tidak akan
memiliki signifikansi terhadap penyelesaian masalah pemanasan global.
Namun salah satu negara penghasil
emisi gas rumah kaca terbesar ternyata sampai sekarang emoh meratifikasi
Protokol Kyoto padahal negara ini berperan sentral dalam membuat bumi makin panas.
Jadinya, kan sama saja bohong kalau banyak negara yang meratifikasi Protokol
Kyoto tapi negara tersebut bukanlah penghasil gas emisi rumah kaca, sedangkan
penghasil terbesar tidak mau meratifikasi. Pastinya protokol ini tidak akan
pernah efektif mengurangi emisi gas rumah kaca.
Negara satu ini tak lain adalah Amerika
Serikat. Sebagai negara yang menghasilkan lebih dari 25% emisi karbon dunia, AS
menolak untuk meratifikasi protokol ini dan bahkan menentang keberadaannya. George
W. Bush menyatakan bahwa Protokol ini cacat. Kata orang yang satu ini, protokol
ini tidak realistis dan tidak ada dasar ilmiahnya. Sebagai informasi, Bush ini
bukan hanya penjahat perang, tapi ia juga penjahat lingkungan. Tidak puas telah
membantai ribuan muslim di Afghanistan dan Irak, presiden yang satu ini juga ingin
membantai milyaran populasi manusia dengan terus berkontribusi terhadap
pemanasan global.
AS tidak bersedia mengimplementasikan
protokol ini karena perjanjian tersebut tentu akan berdampak negatif terhadap perekonomian
AS. Ada beberapa faktor spesifik yang membuat Amerika Serikat tidak mau menandatangani
perjanjian Protokol Kyoto. Faktor pertama adalah tekanan dari perusahaan
multinasional yang memang dari dulu memiliki hubungan mesra dengan
pemerintahan Amerika Serikat. Faktor kedua karena kalkulasi yang
dilakukan AS menunjukkan AS akan sangat amat merugi jika menandatangani
Protokol Kyoto. Dari dua faktor diatas, faktor
pertama ternyata jauh lebih signifikan dari faktor kedua. Mari
kita tengok lebih dalam penjelasan mengenai faktor pertama.
Di era Obama, kebijakan lingkungan
Amerika Serikat jauh lebih akomodatif terhadap lingkungan. Namun tetap saja,
yang memegang kendali di Amerika Serikat selain pemerintahnya tak lain adalah kelompok
bisnisnya yang merajalela dan akan sebisa mungkin Zmenjaga agar kepentingan
mereka tidak diganggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar