Senin, 26 Desember 2016

Penyebab Perilaku Keterbelngguan



Hoyenga dan Hoyenga (2003) mengemukakan, bahwa dalam setiap budaya ada sejumlah aktivitas dan pekerjaan yang dianggap memiliki karakteristik gender. Sebaliknya sebagian besar budaya menempatkan kedudukan laki-laki pada umumnya lebih tinggi daripada perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan sesungguhnya tidak menyukai tindak kekerasan. Untuk lebih jelasnya hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Ehrensaft dan Vivian (1998) yang mengemukakan bahwa perempuan cenderung lebih dapat menerima jika ada perempuan yang bersifat agresif dalam upaya mempertahankan diri. Jadi, perempuan lebih mengaitkan agresi sebagai tindak pertahanan diri, sedangkan laki-laki mengaitkan bentuk agresi semata-mata sebagai respon yang layak. Di samping itu, laki-laki juga beranggapan layak untuk melakukan tindak agresi pada pasangannya jika pasangan berselingkuh atau dianggap tidak setia, sedangkan perempuan tidak beranggapan bahwa agresi merupakan tindakan yang layak untuk dilakukan.
Myers (2003) menjelaskan bahwa, walaupun dalam beragam budaya terdapat beragam peran gender, laki-laki cenderung lebih agresif dibandingkan perempuan. Selanjutnya, otoritas, kekuasaan dan kekerasan memiliki hubungan satu sama lain (Noerhadi, 2005). Enam aspek budaya yang terkait dalam kesinambungan ini adalah: a) stereotip; b) keterbatasan peluang; c) peran dan peran ganda; d) hak reproduksi; e) otoritas, kekuasaan dan kekerasan; serta f) norma, nilai, dan hukum.Keterbatasan peluang mengacu pada berbagai pertimbangan yang membatasi perempuan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu.
Di Indonesia, laki-laki dianggap lebih berhak memiliki rumah daripada perempuan. Kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi juga masih berada di bawah laki-laki. Noerhadi (2005) memberikan contoh bahwa dalam banyak keluarga Indonesia, anak laki-laki lebih memiliki peluang dan kesempatan untuk dapat mengikuti pendidikan di perguruan tinggi daripada perempuan.
Di Indonesia laki-laki memiliki hak untuk menentukan keluarga berencana di dalam keluarga, namun perempuanlah yang bertanggung jawab dalam melaksanakan program keluarga berencana tersebut. Konsep ini terkait dengan konsep bahwa laki-laki adalah pemegang otoritas sedangkan perempuan adalah korbannya.
Masyarakat menjadi terbiasa dengan aturan sosial yang berlaku. Dalam kasus tindak kekerasan rumah tangga, sistem nilai sosial yang berlaku dapat menimbulkan distorsi penalaran termasuk penyangkalan dan disosiasi. Dalam kasus kekerasan rumah tangga korban menyangkal diri untuk mempertahankan hidup. Penyangkalan hingga batas ini merupakan alat atau instrumen untuk mempertahankan diri.
Namun dalam kasus keterbelengguan, korban bukan sekedar menyangkal, melainkan justru memiliki kehangatan untuk ada bersama dengan pelaku kekerasan (Somnier & Genefke, 1996). Oleh karena itu mereka cenderung tidak melaporkan tindak kekerasan yang mereka alami, sebaliknya mereka merahasiakan peristiwa-peristiwa tersebut dan melindungi pelaku kekerasan.

Sumber: Lilis Madyawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar