Hoyenga dan Hoyenga (2003) mengemukakan, bahwa dalam setiap
budaya ada sejumlah aktivitas dan pekerjaan yang dianggap memiliki
karakteristik gender. Sebaliknya sebagian besar budaya menempatkan kedudukan
laki-laki pada umumnya lebih tinggi daripada perempuan. Baik laki-laki maupun
perempuan sesungguhnya tidak menyukai tindak kekerasan. Untuk lebih jelasnya
hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Ehrensaft dan Vivian (1998) yang
mengemukakan bahwa perempuan cenderung lebih dapat menerima jika ada perempuan
yang bersifat agresif dalam upaya mempertahankan diri. Jadi, perempuan lebih
mengaitkan agresi sebagai tindak pertahanan diri, sedangkan laki-laki
mengaitkan bentuk agresi semata-mata sebagai respon yang layak. Di samping itu,
laki-laki juga beranggapan layak untuk melakukan tindak agresi pada pasangannya
jika pasangan berselingkuh atau dianggap tidak setia, sedangkan perempuan tidak
beranggapan bahwa agresi merupakan tindakan yang layak untuk dilakukan.
Myers (2003) menjelaskan bahwa, walaupun dalam beragam budaya
terdapat beragam peran gender, laki-laki cenderung lebih agresif dibandingkan
perempuan. Selanjutnya, otoritas, kekuasaan dan kekerasan memiliki hubungan
satu sama lain (Noerhadi, 2005). Enam aspek budaya yang terkait dalam
kesinambungan ini adalah: a) stereotip; b) keterbatasan peluang; c) peran dan
peran ganda; d) hak reproduksi; e) otoritas, kekuasaan dan kekerasan; serta f)
norma, nilai, dan hukum.Keterbatasan peluang mengacu pada berbagai pertimbangan
yang membatasi perempuan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu.
Di Indonesia, laki-laki dianggap lebih berhak memiliki rumah
daripada perempuan. Kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih
tinggi juga masih berada di bawah laki-laki. Noerhadi (2005) memberikan contoh
bahwa dalam banyak keluarga Indonesia, anak laki-laki lebih memiliki peluang
dan kesempatan untuk dapat mengikuti pendidikan di perguruan tinggi daripada
perempuan.
Di Indonesia laki-laki memiliki hak untuk menentukan keluarga
berencana di dalam keluarga, namun perempuanlah yang bertanggung jawab dalam
melaksanakan program keluarga berencana tersebut. Konsep ini terkait dengan
konsep bahwa laki-laki adalah pemegang otoritas sedangkan perempuan adalah
korbannya.
Masyarakat menjadi terbiasa dengan aturan sosial yang
berlaku. Dalam kasus tindak kekerasan rumah tangga, sistem nilai sosial yang
berlaku dapat menimbulkan distorsi penalaran termasuk penyangkalan dan
disosiasi. Dalam kasus kekerasan rumah tangga korban menyangkal diri untuk
mempertahankan hidup. Penyangkalan hingga batas ini merupakan alat atau instrumen
untuk mempertahankan diri.
Namun dalam kasus keterbelengguan, korban bukan sekedar
menyangkal, melainkan justru memiliki kehangatan untuk ada bersama dengan
pelaku kekerasan (Somnier & Genefke, 1996). Oleh karena itu mereka
cenderung tidak melaporkan tindak kekerasan yang mereka alami, sebaliknya
mereka merahasiakan peristiwa-peristiwa tersebut dan melindungi pelaku
kekerasan.
Sumber: Lilis Madyawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar