Jumat, 30 Desember 2016

Sustainable Development Sebagai Sustainable Exploitation



Sustainable development merupakan konsep yang mencoba mengkombinasikan antara pembangunan yang selama ini identic dengan pengrusakan lingkungan—dengan pelestarian lingkungan. Ada korelasi yang kuat antara pembangunan dengan kerusakan lingkungan. Korelasi ini bukan lagi hanya hipotesis melainkan sebuah fakta yang terjadi di lapangan. Pembangunan (development) selalu saja berdampak pada penurunan kualitas lingkungan (environment).

Di negara-negara berkembang implikasi dari pembangunan adalah kehancuran total dalam bidang lingkungan. Di Indonesia, atas nama pembangunan, ribuan hektar tanah dijadikan waduk sebagaimana yang terjadi di Kedung Ombo. Implikasinya, ekosistem di sana telah hancur akibat genangan air. Yang lebih miris lagi, penduduk yang tidak mau dilokalisir harus berhadapan dengan bedil pemerintah militer dikala itu.

Kisah seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kisah-kisah serupa juga sering terjadi di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara berkembang yang memang lagi butuh dengan yang namanya pembangunan. Alhasil semakin banyak pembangunan, semakin banyak permasalahan lingkungan muncul. Mending kalau akibat adanya pembangunan rakyat semakin makmur meski permasalahan lingkungan muncul. Namun kenyataannya tidak begitu. Akibat adanya pembangunan, sudah pula lingkungan hancur, rakyat di negara-berkembang pun tidak jua semakin baik taraf hidupnya. Yang terjadi malah sebaliknya. Akibat pembangunan, permasalahan lingkungan semakin banyak, beban permasalahan rakyat juga makin banyak.

Kalangan masyarakat sipil sangat kritis dengan model-model pembangunan yang diinisiasi oleh negara yang bekerja sama dengan korporasi. Model-model pembangunan yang diterapkan di negara berkembang cenderung menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat banyak. Segelintir orang itu adalah kontraktorkontraktor pembangunan yang tak lain adalah perusahaan-perusahaan multinasional dan para pejabat negara yang mendapat persenan dari perusahaan-perusahaan multinasional. Protes yang dilakukan kalangan masyarakat sipil pun dibawa ke Konferensi Rio.

Fakta bahwa pembangunan menyebabkan kerusakan lingkungan sudah menjadi rahasia umum dalam konferensi tersebut. Beberapa perusahaan multinasional ketar-ketir jika wacana yang diangkat kalangan masyarakat sipil bisa diterima di Konferensi Rio. Ini masalah bagi mereka sebab melalui model-model pembangunan yang tidak memperdulikan lingkungan seperti inilah perusahaan multinasional dapat mengeruk keuntungan secara full.

Melalui lobi sana-sini, akhirnya disepakati jualah konsepsi sustainable development sebagai paradigma pelestarian lingkungan. Perusahaan multinasional dan beberapa negara yang butuh pembangunan gila-gilaan dapat bernafas dengan lega. Mengapa mereka bisa bernafas dengan lega? Sebab pembangunan dapat terus berjalan. Inget lho nama konsep ini sustainable development yang dalam bahasa Inggris berarti pembangunan berkelanjutan. Artinya yang berkelanjutan kan pembangunannya (development), bukan pelestarian lingkungannya yang berkelanjutan.

Komisi Brundtland mendefinisikan sustainable development sebagai pembangunan yang mencoba memenuhi kebutuhan sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Sungguh bagus untuk didengar. Namun konsepsi sustainable development hanya eksis diatas kertas saja. Kenyataannya, tidak ada definisi yang pasti mengenai “kebutuhan sekarang” itu sebesar apa dan apa batasan-batasannya.

Sudah lebih satu dekade berlalu, sustainable development masih tak mampu memberikan solusi bagi permasalahan lingkungan. Buktinya, sampai sekarang, bumi semakin lama semakin panas, iklim semakin tak menentu, dan polusi dimana-mana. Kalangan LSM yang sadar bahwa konsep sustainable development hanyalah konsep yang tidak nguntungin bagi pelestarian lingkungan, mulai membuat konseps tandingan. Konsep tersebut adalah ecological sustainability yang berarti bukan pembangunannya yang berkelanjutan tapi lingkungannya yang berkelanjutan. Pembangunan yang dilakukan oleh manusia harus berada di dalam koridor keberlanjutan lingkungan.

Tapi sangat disayangkan, konsep ini jarang masyarakat luas dan pengambil kebijakan. Masyarakat umum tahunya cuma sus- tainable development bahkan di buku-buku SMA pun yang dikenal cuma konsep ini. perusahaan pun tidak niat untuk mengkampanyekan konsep ecological sustainability. Perusahaan hanya mau menghabiskan jutaan dollar hanya untuk mensosialisasikan konsep sustainabe development ke masyarakat umum karena konsep inilah yang akan menyelamatkan kepentingan mereka.

Menurut Sonny Keraf, terdapat dua hal utama yang membuat konsep sustainable development tidak pernah seindah apa yang dituliskan diatas kertas. Pertama karena sustainable development tidak pernah dijiwai sebagai sebuah etika dalam berlingkungan. Alihalih dijadikan sebagai sandaran etika yang dilaksanakan setiap orang, konsepsi sustainable development hanya menjadi peraturan di atas kertas saja.

Alasan kedua karena sustainable development hanyalah hasil kompromi antara kaum developmentalisme yang memfokuskan pembangunan kepada pertumbuhan ekonomi saja tanpa memperhatikan bahwa pertumbuhan ekonomi doang belum cukup untuk menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan dengan para kapitalis pemilik modal. Namun karena mereka sudah menganggap kalau pertumbuhan ekonomi tinggi maka pembangunan pun akan terlaksana padahal kenyataannya hal ini tidak pernah terjadi. Malah, pertumbuhan ekonomi buta terhadap keberlanjutan lingkungan. Masa bodoh dengan keberlanjutan lingkungan, yang jelas tiap tahun pertumbuhan ekonomi terus naik.

Alhasil, dua kali usaha rembuk sedunia untuk mengatasi masalah lingkungan (Stockholm Conference dan Rio Conference) tidak mampu memberikan kontribusi nyata bagi penyelesaian masalah lingkungan. Bahkan tidak sedikit yang pesimis bahwa konferensi-konferensi tingkat tinggi seperti ini hanya ajang pamer-pameran untuk memperlihatkan betapa pedulinya negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan multinasional dengan masalah lingkungan. Padahal tidak satu pun yang memiliki komitmen untuk menyelamatkan lingkungan (walaupun ada tetapi jumlahnya tidak signifikan).

Sebenarnya, usaha-usaha perundingan di tingkat internasional yang membahas masalah lingkungan tidak cuma Konferensi Stockholm dan Konferensi Rio saja. Ada berpuluh-puluh konferensi yang membahas isu lingkungan secara spesifik. Dari konferensikonferensi tersebut ada yang menghasilkan perjanjian yang mengikat dan ada juga yang hanya sebatas deklarasi seperti konferensi Stockholm dan Rio diatas. Dari beberapa perjanjian yang mengikat tersebut ada yang berhasil diterapkan dan ada yang sampai sekarang penerapannya belum juga efektif. Contoh perjanjian yang sukses diterapkan adalah Protokol Montreal sedangkan contoh perjanjian yang hingga sekarang masih ngalor-ngidul adalah Protokol Kyoto.

Dari dua contoh perjanjian ini, kita bisa melihat bagaimana Protokol Montreal dapat sukses diterapkan sedangkan Protokol Kyoto sampai sekarang belum juga efektif dalam penerapannya. Jika mau dianalisis lebih dalam lagi, kita akan menemukan konspirasi tingkat tinggi yang tidak kalah sama konspirasi ala Dan Brown.

Protokol Montreal sendiri adalah perjanjian internasional yang mengatur mengenai pengurangan zat CFC yang dapat merusak kadar lapisan Ozon di atmosfer. Sedangkan Protokol Kyoto adalah perjanjian internasional yang mengatur mengenai pengurangan gas emisi rumah kaca yang dapat membuat bumi makin panas. Kenapa dinamakan Montreal dan Kyoto? Karena kedua protokol tersebut disahkan di Kota Montreal, Kanada dan Kyoto, Jepang. Untuk lebih detail mengenai kedua protokol ini, yuk kita ikuti pembahasan berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar