Sustainable development merupakan konsep yang mencoba mengkombinasikan antara pembangunan
yang selama ini identic dengan pengrusakan lingkungan—dengan pelestarian
lingkungan. Ada korelasi yang kuat antara pembangunan dengan kerusakan lingkungan.
Korelasi ini bukan lagi hanya hipotesis melainkan sebuah fakta yang terjadi di
lapangan. Pembangunan (development) selalu saja berdampak pada penurunan
kualitas lingkungan (environment).
Di negara-negara berkembang implikasi
dari pembangunan adalah kehancuran total dalam bidang lingkungan. Di Indonesia,
atas nama pembangunan, ribuan hektar tanah dijadikan waduk sebagaimana yang
terjadi di Kedung Ombo. Implikasinya, ekosistem di sana telah hancur akibat
genangan air. Yang lebih miris lagi, penduduk yang tidak mau dilokalisir harus
berhadapan dengan bedil pemerintah militer dikala itu.
Kisah seperti ini tidak hanya terjadi
di Indonesia. Kisah-kisah serupa juga sering terjadi di seluruh belahan dunia
terutama di negara-negara berkembang yang memang lagi butuh dengan yang namanya
pembangunan. Alhasil semakin banyak pembangunan, semakin banyak permasalahan lingkungan
muncul. Mending kalau akibat adanya pembangunan rakyat semakin makmur meski permasalahan
lingkungan muncul. Namun kenyataannya tidak begitu. Akibat adanya pembangunan,
sudah pula lingkungan hancur, rakyat di negara-berkembang pun tidak jua semakin
baik taraf hidupnya. Yang terjadi malah sebaliknya. Akibat pembangunan, permasalahan
lingkungan semakin banyak, beban permasalahan rakyat juga makin banyak.
Kalangan masyarakat sipil sangat
kritis dengan model-model pembangunan yang diinisiasi oleh negara yang bekerja
sama dengan korporasi. Model-model pembangunan yang diterapkan di negara berkembang
cenderung menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat banyak.
Segelintir orang itu adalah kontraktorkontraktor pembangunan yang tak lain
adalah perusahaan-perusahaan multinasional dan para pejabat negara yang
mendapat persenan dari perusahaan-perusahaan multinasional. Protes yang
dilakukan kalangan masyarakat sipil pun dibawa ke Konferensi Rio.
Fakta bahwa pembangunan menyebabkan
kerusakan lingkungan sudah menjadi rahasia umum dalam konferensi tersebut.
Beberapa perusahaan multinasional ketar-ketir jika wacana yang diangkat kalangan
masyarakat sipil bisa diterima di Konferensi Rio. Ini masalah bagi mereka sebab
melalui model-model pembangunan yang tidak memperdulikan lingkungan seperti
inilah perusahaan multinasional dapat mengeruk keuntungan secara full.
Melalui lobi sana-sini, akhirnya
disepakati jualah konsepsi sustainable development sebagai paradigma
pelestarian lingkungan. Perusahaan multinasional dan beberapa negara yang butuh
pembangunan gila-gilaan dapat bernafas dengan lega. Mengapa mereka bisa
bernafas dengan lega? Sebab pembangunan dapat terus berjalan. Inget lho nama
konsep ini sustainable development yang dalam bahasa Inggris berarti pembangunan
berkelanjutan. Artinya yang berkelanjutan kan pembangunannya (development),
bukan pelestarian lingkungannya yang berkelanjutan.
Komisi Brundtland mendefinisikan sustainable
development sebagai pembangunan yang mencoba memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Sungguh bagus untuk didengar. Namun konsepsi sustainable development hanya
eksis diatas kertas saja. Kenyataannya, tidak ada definisi yang pasti mengenai
“kebutuhan sekarang” itu sebesar apa dan apa batasan-batasannya.
Sudah lebih satu dekade berlalu, sustainable
development masih tak mampu memberikan solusi bagi permasalahan lingkungan.
Buktinya, sampai sekarang, bumi semakin lama semakin panas, iklim semakin tak
menentu, dan polusi dimana-mana. Kalangan LSM yang sadar bahwa konsep sustainable
development hanyalah konsep yang tidak nguntungin bagi pelestarian
lingkungan, mulai membuat konseps tandingan. Konsep tersebut adalah ecological
sustainability yang berarti bukan pembangunannya yang berkelanjutan tapi lingkungannya
yang berkelanjutan. Pembangunan yang dilakukan oleh manusia harus berada di
dalam koridor keberlanjutan lingkungan.
Tapi sangat disayangkan, konsep ini
jarang masyarakat luas dan pengambil kebijakan. Masyarakat umum tahunya cuma sus-
tainable development bahkan di buku-buku SMA pun yang dikenal cuma
konsep ini. perusahaan pun tidak niat untuk mengkampanyekan konsep ecological
sustainability. Perusahaan hanya mau menghabiskan jutaan dollar hanya untuk
mensosialisasikan konsep sustainabe development ke masyarakat umum
karena konsep inilah yang akan menyelamatkan kepentingan mereka.
Menurut Sonny Keraf, terdapat dua hal
utama yang membuat konsep sustainable development tidak pernah seindah
apa yang dituliskan diatas kertas. Pertama karena sustainable development
tidak pernah dijiwai sebagai sebuah etika dalam berlingkungan. Alihalih dijadikan
sebagai sandaran etika yang dilaksanakan setiap orang, konsepsi sustainable
development hanya menjadi peraturan di atas kertas saja.
Alasan kedua karena sustainable
development hanyalah hasil kompromi antara kaum developmentalisme yang
memfokuskan pembangunan kepada pertumbuhan ekonomi saja tanpa memperhatikan bahwa
pertumbuhan ekonomi doang belum cukup untuk menghasilkan pembangunan yang
berkelanjutan dengan para kapitalis pemilik modal. Namun karena mereka sudah
menganggap kalau pertumbuhan ekonomi tinggi maka pembangunan pun akan terlaksana
padahal kenyataannya hal ini tidak pernah terjadi. Malah, pertumbuhan ekonomi
buta terhadap keberlanjutan lingkungan. Masa bodoh dengan keberlanjutan
lingkungan, yang jelas tiap tahun pertumbuhan ekonomi terus naik.
Alhasil, dua kali usaha rembuk sedunia
untuk mengatasi masalah lingkungan (Stockholm Conference dan Rio
Conference) tidak mampu memberikan kontribusi nyata bagi penyelesaian
masalah lingkungan. Bahkan tidak sedikit yang pesimis bahwa
konferensi-konferensi tingkat tinggi seperti ini hanya ajang pamer-pameran
untuk memperlihatkan betapa pedulinya negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan
multinasional dengan masalah lingkungan. Padahal tidak satu pun yang memiliki
komitmen untuk menyelamatkan lingkungan (walaupun ada tetapi jumlahnya tidak
signifikan).
Sebenarnya, usaha-usaha perundingan di
tingkat internasional yang membahas masalah lingkungan tidak cuma Konferensi Stockholm
dan Konferensi Rio saja. Ada berpuluh-puluh konferensi yang membahas isu
lingkungan secara spesifik. Dari konferensikonferensi tersebut ada yang menghasilkan
perjanjian yang mengikat dan ada juga yang hanya sebatas deklarasi seperti
konferensi Stockholm dan Rio diatas. Dari beberapa perjanjian yang mengikat tersebut
ada yang berhasil diterapkan dan ada yang sampai sekarang penerapannya belum
juga efektif. Contoh perjanjian yang sukses diterapkan adalah Protokol Montreal
sedangkan contoh perjanjian yang hingga sekarang masih ngalor-ngidul adalah
Protokol Kyoto.
Dari dua contoh perjanjian ini, kita
bisa melihat bagaimana Protokol Montreal dapat sukses diterapkan sedangkan
Protokol Kyoto sampai sekarang belum juga efektif dalam penerapannya. Jika mau
dianalisis lebih dalam lagi, kita akan menemukan konspirasi tingkat tinggi yang
tidak kalah sama konspirasi ala Dan Brown.
Protokol Montreal sendiri adalah
perjanjian internasional yang mengatur mengenai pengurangan zat CFC yang dapat
merusak kadar lapisan Ozon di atmosfer. Sedangkan Protokol Kyoto adalah perjanjian
internasional yang mengatur mengenai pengurangan gas emisi rumah kaca yang
dapat membuat bumi makin panas. Kenapa dinamakan Montreal dan Kyoto? Karena
kedua protokol tersebut disahkan di Kota Montreal, Kanada dan Kyoto, Jepang.
Untuk lebih detail mengenai kedua protokol ini, yuk kita ikuti pembahasan
berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar