Senin, 26 Desember 2016

Perilaku Keterbelengguan



Seorang penyandang perilaku keterbelengguan tidak sekedar menyerahkan diri kepada orang lain yang memiliki otoritas lebih tinggi daripada dirinya, tetapi ia menjadikan dirinya terbelenggu dan tidak berdaya terhadap otoritas lain tersebut.
Jadi di satu pihak otoritas membelenggu korbannya dan di lain pihak korban menyerahkan diri untuk terbelenggu. Pope dan Cristia Petronemi (2001) menjelaskan sindrom ini sebagai kondisi di mana seseorang yang terbelenggu cenderung memiliki rasa nyaman dan kehangatan terhadap orang yang membelenggunya.
Sindrom ini muncul ketika 3 orang perempuan disandera oleh perampok bank (1973) di Stockholm, Swedia. Mereka disandera selama 6 hari dan dalam proses penyanderaan itu mereka juga diperlakukan cukup baik oleh perampok tersebut, bahkan para sandera itu merasa mencintai para perampok. Akhirnya 2 dari 3 sandera menikah dengan para perampok tersebut. (Trigiani, 2001; Walhej, 2004).
Menurut Ehrensaft dan Vivian (1998) banyak korban kekerasan rumah tangga tidak melaporkan tindak kekerasan yang mereka alami karena mereka mempersepsi bahwa: a) kondisi tersebut disebabkan oleh faktor eksternal yang berada di luar kendali mereka; b) perilaku keras memang sudah merupakan bagian dari pribadi pasangan hidup; c) sesungguhnya pelaku kekerasan tidak berniat menyakiti; d) adanya kondisi yang kurang stabil yang kelak akan dapat membaik; dan e) pelaku kekerasan kelak akan menyadari dan memperbaiki diri. Di samping itu, dalam kasus perkawinan laporan tentang adanya kekerasan fisik dalam rumah tangga relatif sedikit. Kalaupun ada laporan kekerasan fisik maka hal tersebut terjadi hanya apabila dampak yang ditimbulkan cukup parah.
Di Indonesia, seorang suami dianggap memiliki otoritas lebih tinggi daripada istri dan tindakan kekerasan terhadap istri masih dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Demikian halnya kasus yang dipaparkan dalam tulisan ini. Subyek (pasien) merasa suaminya memiliki otoritas yang lebih tinggi daripadanya dan dalam kedudukannya sebagai istri wajarlah jika ia harus mentaati suaminya. Di samping itu, untuk menunjukkan perannya sebagai istri yang baik, ia memilih sikap tidak berdaya terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami.
Sumber: Lilis Madyawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar