Seorang penyandang perilaku keterbelengguan tidak sekedar
menyerahkan diri kepada orang lain yang memiliki otoritas lebih tinggi daripada
dirinya, tetapi ia menjadikan dirinya terbelenggu dan tidak berdaya terhadap
otoritas lain tersebut.
Jadi di satu pihak otoritas membelenggu korbannya dan di lain
pihak korban menyerahkan diri untuk terbelenggu. Pope dan Cristia Petronemi
(2001) menjelaskan sindrom ini sebagai kondisi di mana seseorang yang
terbelenggu cenderung memiliki rasa nyaman dan kehangatan terhadap orang yang
membelenggunya.
Sindrom ini muncul ketika 3 orang perempuan disandera oleh
perampok bank (1973) di Stockholm, Swedia. Mereka disandera selama 6 hari dan
dalam proses penyanderaan itu mereka juga diperlakukan cukup baik oleh perampok
tersebut, bahkan para sandera itu merasa mencintai para perampok. Akhirnya 2
dari 3 sandera menikah dengan para perampok tersebut. (Trigiani, 2001; Walhej,
2004).
Menurut Ehrensaft dan Vivian (1998) banyak korban kekerasan
rumah tangga tidak melaporkan tindak kekerasan yang mereka alami karena mereka
mempersepsi bahwa: a) kondisi tersebut disebabkan oleh faktor eksternal yang
berada di luar kendali mereka; b) perilaku keras memang sudah merupakan bagian
dari pribadi pasangan hidup; c) sesungguhnya pelaku kekerasan tidak berniat
menyakiti; d) adanya kondisi yang kurang stabil yang kelak akan dapat membaik;
dan e) pelaku kekerasan kelak akan menyadari dan memperbaiki diri. Di samping
itu, dalam kasus perkawinan laporan tentang adanya kekerasan fisik dalam rumah
tangga relatif sedikit. Kalaupun ada laporan kekerasan fisik maka hal tersebut
terjadi hanya apabila dampak yang ditimbulkan cukup parah.
Di Indonesia, seorang suami dianggap memiliki otoritas lebih
tinggi daripada istri dan tindakan kekerasan terhadap istri masih dianggap
wajar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Demikian halnya kasus yang
dipaparkan dalam tulisan ini. Subyek (pasien) merasa suaminya memiliki otoritas
yang lebih tinggi daripadanya dan dalam kedudukannya sebagai istri wajarlah
jika ia harus mentaati suaminya. Di samping itu, untuk menunjukkan perannya
sebagai istri yang baik, ia memilih sikap tidak berdaya terhadap tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh suami.
Sumber: Lilis Madyawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar