Proses terapi mencakup 4 tahapan: a) evaluasi perilaku, b)
menyusun perencanaan perubahan perilaku, c) evaluasi perubahan perilaku, d)
terminasi. Tiap tahapan berlangsung dalam 2 sesi, sesi individual bersama subyek
dan sesi bersama dengan subyek dan suami. Pada sesi keempat terdiri atas
evaluasi menyeluruh akan kondisi awal dan kondisi yang sudah dicapai.
Fase
Awal
Setelah
ia menjelaskan kondisi yang dialami, ia diminta untuk menjelaskan
respon-responnya terhadap perlakuan suaminya. Dalam sesi ini subyek belajar
memahami apakah responnya dapat membuahkan hasil seperti harapan ataukah tidak
memberikan hasil seperti harapannya. Subyek dibimbing untuk memahami bahwa
pilihan reponnya itu terarah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya termasuk
kebutuhan untuk bertahan hidup. Dukungan finansial suami justru membuatnya
merasa memiliki kebebasan menggunakan uang dan memperoleh pujian dari berbagai
instansi karena keterlibaannya dalam aktivitas sosial.
Pada fase pertama sesi kedua bertujuan memperoleh masukan
untuk menguji kebenaran cerita subyek yang pada kenyataannya memang sesuai
dengan paparan suami subyek. Pada sesi individual bersama subyek, ia
menjelaskan bahwa ia sangat takut dengan suaminya namun ia juga merasa berdosa
karena tidak terbebas dari kesalahan sehingga patut menjalani pernderitaan
tersebut.
Fase
Kedua
Pada
fase ini subyek diminta untuk mempertimbangkan dampak berperilaku pasif dan asertif.
Selanjutnya ia diberikan “pekerjaan rumah” untuk mencobakan alternatif perilaku
untuk menghadapi tindakan kekerasan suami termasuk dengan jalan: a) menghindar,
b) mencari perlindungan keluarga, c) bersikap lebih asertif dan tidak bersedia
diperlakukan sebagai korban kekerasan.
Pada fase kedua sesi kedua subyek mengatakan bahwa suami
menghentikan tindak kekerasa fisik, namun masih melakukan kekerasan verbal
hingga suatu saat subyek bersikap ”melawan” dengan lebih asertif. Perlawanan
subyek pada kenyataannya membuat sumi tidak melakukan tindak kekerasan lebih
jauh.
Fase Ketiga
Pada
fase ketiga sesi pertama, perubahan perilaku subyek juga ternyata berlanjut
tidak sekedar menghadapi tindak kekerasan suami dengan lebih berani, tetapi
subyek juga mulai berani memberdayakan diri untuk membuka usaha sendiri yang
semula dianggapnya menentang kehendak suami. Pada sesi ini subyek semakin
menyadari bahwa banyak persepsinya selama ini keliru. Kenyataannya berbagai
ancaman yang ia cemaskan tidak sungguh-sungguh muncul. Sebagai contoh, suami
mungkin melakukan tindak kekerasan sebagai bentuk pelampiasan perasaan tertekan
di tempat kerja, bukan karena subyek memiliki usaha.
Pada fase ketiga sesi kedua, rasa bersalah masih menghantui
si subyek, anggapan bahwa ia bukan istri yang baik masih menimbulkan keraguan.
Sementara itu subyek merasa khawatir karena kekerasan verbal suami terhadap
anak-anak masih berlangsung walau anak-anak memberi perlawanan. Subyek merasa
tidak mampu mengatasi dan ia merasa bukan seorang ibu yang baik, walau kini
tidak terlalu dipersalahkan oleh anak-anak sebagai seseorang yang tidak
berdaya.
Fase Keempat
Pada
fase keempat sesi pertama, subyek kini merasa lebih berdaya khususnya karena ia
merasa lebih mandiri dengan memiliki usaha kecil sekalipun secaca finansial ia
tidak terlalu membutuhkannya. Di samping itu segala bentuk kebutuhan
pembelanjaan yang ia gunakan merupakan uang penghasilan suami. Ia mengaku dapat
menyisihkan dana dari suami untuk pendidikan anak-anak di perguruan tinggi
sedangkan kebutuhannya dapat dipernuhi dari hasil usaha kerajinan tersebut.
Walaupun
masih dihantui rasa bersalah pernah menjalani peran sebagai ibu yang kurang
mendukung anak-anaknya, kondisi ini tidak lagi dirasakan terlalu mengganggu
seperti sebelumnya. Anak-anak dirasakan menjadi lebih dekat, lebih bersedia
berkomunikasi dengan ibu dan tidak lagi terlalu menyalahkan ibu seperti
sebelumnya.
Evaluasi
juga diberikan sebagai terminasi yang diarahkan pada pemahaman baru bahwa
berbagai tindakan tersebut merupakan hasil pilihannya sendiri dengan terlebih
dahulu membandingkan alternatif perilaku serta dampak dari berbagai kemungkinan
respon yang dapat ia lakukan.
Follow
Up
Setelah
diberikan layanan konseling realitas oleh penulis, pada follow up ini tindak
kekerasan termasuk cemooh verbal tidak lagi dialaminya. Pertentangan antara
anak dan orangtua jauh berkurang. Catatan konflik terakhir adalah keberatan
suami melepas anak bungsu untuk kuliah di luar kota, tetapi konflik ini tidak
berkepanjangan karena akhirnya anak bungsu berhasil masuk perguruan tinggi di
dalam kota. Interaksi anak dengan ibu meningkat secara kuantitatif.
Sumber: Lilis Madyawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar