Senin, 26 Desember 2016

Fase Proses Terapi Perilaku Keterbelngguan



Proses terapi mencakup 4 tahapan: a) evaluasi perilaku, b) menyusun perencanaan perubahan perilaku, c) evaluasi perubahan perilaku, d) terminasi. Tiap tahapan berlangsung dalam 2 sesi, sesi individual bersama subyek dan sesi bersama dengan subyek dan suami. Pada sesi keempat terdiri atas evaluasi menyeluruh akan kondisi awal dan kondisi yang sudah dicapai.
Fase Awal
Setelah ia menjelaskan kondisi yang dialami, ia diminta untuk menjelaskan respon-responnya terhadap perlakuan suaminya. Dalam sesi ini subyek belajar memahami apakah responnya dapat membuahkan hasil seperti harapan ataukah tidak memberikan hasil seperti harapannya. Subyek dibimbing untuk memahami bahwa pilihan reponnya itu terarah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya termasuk kebutuhan untuk bertahan hidup. Dukungan finansial suami justru membuatnya merasa memiliki kebebasan menggunakan uang dan memperoleh pujian dari berbagai instansi karena keterlibaannya dalam aktivitas sosial.
Pada fase pertama sesi kedua bertujuan memperoleh masukan untuk menguji kebenaran cerita subyek yang pada kenyataannya memang sesuai dengan paparan suami subyek. Pada sesi individual bersama subyek, ia menjelaskan bahwa ia sangat takut dengan suaminya namun ia juga merasa berdosa karena tidak terbebas dari kesalahan sehingga patut menjalani pernderitaan tersebut.
Fase Kedua
Pada fase ini subyek diminta untuk mempertimbangkan dampak berperilaku pasif dan asertif. Selanjutnya ia diberikan “pekerjaan rumah” untuk mencobakan alternatif perilaku untuk menghadapi tindakan kekerasan suami termasuk dengan jalan: a) menghindar, b) mencari perlindungan keluarga, c) bersikap lebih asertif dan tidak bersedia diperlakukan sebagai korban kekerasan.
Pada fase kedua sesi kedua subyek mengatakan bahwa suami menghentikan tindak kekerasa fisik, namun masih melakukan kekerasan verbal hingga suatu saat subyek bersikap ”melawan” dengan lebih asertif. Perlawanan subyek pada kenyataannya membuat sumi tidak melakukan tindak kekerasan lebih jauh.
Fase Ketiga
Pada fase ketiga sesi pertama, perubahan perilaku subyek juga ternyata berlanjut tidak sekedar menghadapi tindak kekerasan suami dengan lebih berani, tetapi subyek juga mulai berani memberdayakan diri untuk membuka usaha sendiri yang semula dianggapnya menentang kehendak suami. Pada sesi ini subyek semakin menyadari bahwa banyak persepsinya selama ini keliru. Kenyataannya berbagai ancaman yang ia cemaskan tidak sungguh-sungguh muncul. Sebagai contoh, suami mungkin melakukan tindak kekerasan sebagai bentuk pelampiasan perasaan tertekan di tempat kerja, bukan karena subyek memiliki usaha.
Pada fase ketiga sesi kedua, rasa bersalah masih menghantui si subyek, anggapan bahwa ia bukan istri yang baik masih menimbulkan keraguan. Sementara itu subyek merasa khawatir karena kekerasan verbal suami terhadap anak-anak masih berlangsung walau anak-anak memberi perlawanan. Subyek merasa tidak mampu mengatasi dan ia merasa bukan seorang ibu yang baik, walau kini tidak terlalu dipersalahkan oleh anak-anak sebagai seseorang yang tidak berdaya.

Fase Keempat
Pada fase keempat sesi pertama, subyek kini merasa lebih berdaya khususnya karena ia merasa lebih mandiri dengan memiliki usaha kecil sekalipun secaca finansial ia tidak terlalu membutuhkannya. Di samping itu segala bentuk kebutuhan pembelanjaan yang ia gunakan merupakan uang penghasilan suami. Ia mengaku dapat menyisihkan dana dari suami untuk pendidikan anak-anak di perguruan tinggi sedangkan kebutuhannya dapat dipernuhi dari hasil usaha kerajinan tersebut.
Walaupun masih dihantui rasa bersalah pernah menjalani peran sebagai ibu yang kurang mendukung anak-anaknya, kondisi ini tidak lagi dirasakan terlalu mengganggu seperti sebelumnya. Anak-anak dirasakan menjadi lebih dekat, lebih bersedia berkomunikasi dengan ibu dan tidak lagi terlalu menyalahkan ibu seperti sebelumnya.
Evaluasi juga diberikan sebagai terminasi yang diarahkan pada pemahaman baru bahwa berbagai tindakan tersebut merupakan hasil pilihannya sendiri dengan terlebih dahulu membandingkan alternatif perilaku serta dampak dari berbagai kemungkinan respon yang dapat ia lakukan.
Follow Up
Setelah diberikan layanan konseling realitas oleh penulis, pada follow up ini tindak kekerasan termasuk cemooh verbal tidak lagi dialaminya. Pertentangan antara anak dan orangtua jauh berkurang. Catatan konflik terakhir adalah keberatan suami melepas anak bungsu untuk kuliah di luar kota, tetapi konflik ini tidak berkepanjangan karena akhirnya anak bungsu berhasil masuk perguruan tinggi di dalam kota. Interaksi anak dengan ibu meningkat secara kuantitatif.
Sumber: Lilis Madyawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar