Minggu, 18 Desember 2016

Kedudukan Wanita dari Aspek Ekomomi



Posisi Islam mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat dari Aspek Ekomomi.
Islam menetapkan hak yang hilang dari wanita pada masa sebelum Islam dan sesudahnya (bahkan sampai abad ini), hak kepemilikian independent. Menurut hukum Islam, hak-hak wanita terhadap uang, real estate, dan jenis harta lainnya diakui secara penuh. Hak ini berjalan tanpa perubahan apakah dia bertatus belum menikah atau menikah. Dia memiliki hak untuk membelanjakan, menjual menggadaikan atau menyewakan apa saja dari hartanya. Tidak akan ditemukan dimanapun dalam hukum Islam yang menunjukkan bahwa wanita berkedudukan rendah hanya karena dia seorang wanita. Adalah juga penting bahwa hak tersebut berlaku untuk harta yang didapatkan sebelum menikah ataupun sesudahnya.

Mengenai hak wanita untuk bekerja, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam memandang tugasnya dalam masyarakat sebagai ibu dan isteri sebagai peranan yang sangat suci dan penting. Tidak pembantu atau perawat anak dapat menggantikan tugas seorang ibu sebagai pendidik anak pada masa pertumbuhan dengan kebebasan kompleks dan membesarkannya dengan hati-hati. Tugas yang mulia dan vital ini, yang secara luas membentuk masa depan bangsa, tidak dapat dikatakan “tidak berbuat apa-apa”.

Namun demikian, tidak ada satupun ketetapan dalam Islam yang melarang wanita bekerja manakala ada kebutuhan untuk itu, khususnya pada pekerjaan yang sesuai dengan kewanitaanya dan dimana masyarakat lebih memtuhkannya. Contoh dari profesi ini adalah perawat, pengajar (khususnya bagi anak-anak) dan pengobatan. Lebih lanjut, tidak ada batasan mengambil manfaat dari keahlian khusus wanita dalam bidang apapun. Bahkan dalam posisi sebagai hakim, dimana ada kecenderungan untuk meragukan kemampuan wanita pada posisi tersebut mengingat sifat emosional alamiahnya, kita temukan sebelumnya para ulama seperti Abu Hanifa dan At- Tabary menegaskan hal itu tidak mengapa. Selanjutnya, Islam mengembalikan hak wanita dalam hal warisan, setelah sebelumnya dia hanyalah objek yang diwariskan pada beberapa budaya. Warisannya adalah merupakan hak miliknya dan tidak ada yang dapat mengklaim warisan tersebut darinya, termasuk ayah dan suaminya.

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS An-Nisa : 7)

Dalam hal ini bagian wanita adalah setengah dari bagian pria, ini tidak berarti bahwa wanita bernilai setengah daripada pria! Secara nyata akan terlihat tidak sejalan begitu banyak bukti perlakuan yang setara terhadap wanita untuk kesimpulan semacam itu. Perbedaan dalam hak waris ini hanya sejalan dengan perbedaan dalam tanggung jawab keuangan pria dan wanita menurut hukum Islam. Laki-laki dalam Islam bertanggung jawab sepenuhnya dalam memelihara isteri, anak-anak, dan dalam beberapa kasus keluarga yang membuthkan, khususnya perempuan. Kewajiban ini tidak terlepas atau berkurang karena kekayaan isterinya atau karena pendapatan yang diperoleh Kedudukan Wanita dalam Islam isterinya dari bekerja, sewa-menyewa, keuntungan, atau pendapatan halal lainnya.

Di sisi lain, wanita jauh lebih terjamin dalam hal keuangan dan tidak terbebani dengan segala jenis tuntutan terhadap harta pribadinya. Harta pribadi sebelum menikah tidak berpindah kepada suaminya dan dia bahkan tetap menggunakan nama aslinya sebelum menikah. Dia juga tidak mempunyai kewajiban untuk membelanjakan hartanya untuk keluarganya dari harta ataupun pendapatannya setelah menikah. Dia berhak mendapatkan mahar yang diperoleh dari suaminya pada saat menikah. Jika dia diceraikan, dia dapat memperoleh tunjangan dari mantan suaminya.

Pemeriksaan terhadap hukum waris dalam kesatuan kerangka hukum islam menunjukkan tidak saja Islam berlaku adil tetapi juga sangat menaruh perhatian pada wanita.

Sumber: Dr. Jamal A. Badawi dari buku Kedudukan Wanita dalam Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar