Posisi Islam
mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat dari Aspek Ekomomi.
Islam menetapkan hak yang hilang dari
wanita pada masa sebelum Islam dan sesudahnya (bahkan sampai abad ini), hak
kepemilikian independent. Menurut hukum Islam, hak-hak wanita terhadap uang,
real estate, dan jenis harta lainnya diakui secara penuh. Hak ini berjalan
tanpa perubahan apakah dia bertatus belum menikah atau menikah. Dia memiliki
hak untuk membelanjakan, menjual menggadaikan atau menyewakan apa saja dari hartanya.
Tidak akan ditemukan dimanapun dalam hukum Islam yang menunjukkan bahwa wanita
berkedudukan rendah hanya karena dia seorang wanita. Adalah juga penting bahwa
hak tersebut berlaku untuk harta yang didapatkan sebelum menikah ataupun
sesudahnya.
Mengenai
hak wanita untuk bekerja, harus ditegaskan sebelumnya bahwa Islam memandang
tugasnya dalam masyarakat sebagai ibu dan isteri sebagai peranan yang sangat
suci dan penting. Tidak pembantu atau perawat anak dapat menggantikan tugas
seorang ibu sebagai pendidik anak pada masa pertumbuhan dengan kebebasan kompleks
dan membesarkannya dengan hati-hati. Tugas yang mulia dan vital ini, yang
secara luas membentuk masa depan bangsa, tidak dapat dikatakan “tidak berbuat
apa-apa”.
Namun
demikian, tidak ada satupun ketetapan dalam Islam yang melarang wanita bekerja
manakala ada kebutuhan untuk itu, khususnya pada pekerjaan yang sesuai dengan
kewanitaanya dan dimana masyarakat lebih memtuhkannya. Contoh dari profesi ini
adalah perawat, pengajar (khususnya bagi anak-anak) dan pengobatan. Lebih lanjut,
tidak ada batasan mengambil manfaat dari keahlian khusus wanita dalam bidang
apapun. Bahkan dalam posisi sebagai hakim, dimana ada kecenderungan untuk
meragukan kemampuan wanita pada posisi tersebut mengingat sifat emosional alamiahnya,
kita temukan sebelumnya para ulama seperti Abu Hanifa dan At- Tabary menegaskan
hal itu tidak mengapa. Selanjutnya, Islam mengembalikan hak wanita dalam hal warisan,
setelah sebelumnya dia hanyalah objek yang diwariskan pada beberapa budaya.
Warisannya adalah merupakan hak miliknya dan tidak ada yang dapat mengklaim
warisan tersebut darinya, termasuk ayah dan suaminya.
“Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS
An-Nisa : 7)
Dalam
hal ini bagian wanita adalah setengah dari bagian pria, ini tidak berarti bahwa
wanita bernilai setengah daripada pria! Secara nyata akan terlihat tidak
sejalan begitu banyak bukti perlakuan yang setara terhadap wanita untuk
kesimpulan semacam itu. Perbedaan dalam hak waris ini hanya sejalan dengan
perbedaan dalam tanggung jawab keuangan pria dan wanita menurut hukum Islam.
Laki-laki dalam Islam bertanggung jawab sepenuhnya dalam memelihara isteri,
anak-anak, dan dalam beberapa kasus keluarga yang membuthkan, khususnya
perempuan. Kewajiban ini tidak terlepas atau berkurang karena kekayaan
isterinya atau karena pendapatan yang diperoleh Kedudukan Wanita dalam Islam isterinya
dari bekerja, sewa-menyewa, keuntungan, atau pendapatan halal lainnya.
Di
sisi lain, wanita jauh lebih terjamin dalam hal keuangan dan tidak terbebani dengan
segala jenis tuntutan terhadap harta pribadinya. Harta pribadi sebelum menikah
tidak berpindah kepada suaminya dan dia bahkan tetap menggunakan nama aslinya
sebelum menikah. Dia juga tidak mempunyai kewajiban untuk membelanjakan hartanya
untuk keluarganya dari harta ataupun pendapatannya setelah menikah. Dia berhak
mendapatkan mahar yang diperoleh dari suaminya pada saat menikah. Jika dia
diceraikan, dia dapat memperoleh tunjangan dari mantan suaminya.
Pemeriksaan
terhadap hukum waris dalam kesatuan kerangka hukum islam menunjukkan tidak saja
Islam berlaku adil tetapi juga sangat menaruh perhatian pada wanita.
Sumber:
Dr. Jamal A. Badawi dari buku Kedudukan Wanita dalam Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar