Agama
merupakan sistem pandangan hidup yang menawarkan makna dan tujuan hidup yang
benar dan baik. Argumen yang diberikan agama tentang hal ini adalah:
Pertama,
sudah
tegas bahwa hidup ini bermakna secara intrinsik, artinya ia berharga karena
dirinya sendiri. Karena itu, tidak relevan untuk menanyakan apakah hidup lebih
baik daripada mati, sebab pertanyaan seperti itu mengisyaratkan komparasi
antara kehidupan dan kematian -suatu yang mustahil, karena tak seorang pun hidup
yang pernah "secara sadar" mengalami kematian untuk menjadi bahan
perbandingan dengan hidupnya itu sendiri. Penanyaan itu juga mengisyaratkan
adanya "usaha" untuk hidup dalam masa pra-hidup, yakni sebelum hidup
itu sendiri menjadi kenyataan. Terhadap adanya hidup tidak dapat dilakukan
penanyaan demikian, karena hidup itu sendiri muncul tanpa "ongkos"
pada yang bersangkutan (orang yang hidup itu), dan suatu kesepakatan universal
menunjukkan bahwa sckali suatu hidup terwujud maka ia harus dilindungi dan
dihormati.
Kedua,
hidup
ini bukanlah suatu lingkaran tertutup yang tanpa ujung pangkal. la berpangkal
dari sesuatu dan berujung kepada sesuatu, yaitu Tuhan, Pencipta dan Pemberi
Kehidupan. Karena tujuan hidup itu ialah "Mian, maka seperti telah
dikemukakan di atas, arti dan makna hidup ditemukan dalam usaha kita
"bertemu" dan "mencari wajah" Tuhan, dengan harapan memperoleh
ridla (perkenan)-Nya. Hidup bertujuan perkenan atau ridla Tuhan membentuk makna
kosmis hidup itu, sedangkan wujud nyata usaha manusia dalam hidup di dunia
untuk mencapai tujuan ridla Tuhan itu merupakan makna terrestrial hidup
itu. Justru untuk memperoleh kesejatiannya, sebagaimana dijabarkan dalam
deretan argumen di atas, suatu makna hidup terrestrial harus dikaitkan dengan
makna hidup kosmis. Jika tidak, maka seseorang akan mudah terjerembab dalam
lembah pesimismemereka yang mengingkari adanya makna dan tujuan hidup, sehingga
hidup itu menjadi tidak tertahankan dan bebannya tak terpikulkan. Dengan kata lain,
hilangnya dimensi kosmis dari hidup akan membuat goyahnya dimensi terrestrial,
yang kegoyahan itu akan berakhir dengan hilangnya rasa makna hidup secara
keseluruhan.
Karena
kematian bukanlah akhir segala-galanya, khususnya bukan akhir pengalaman
manusia tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, maka kematian adalah suatu
peristiwa peralihan (transitory), yang mengawali pengalaman akan
kebahagiaan atau kesengsaraan yang hakiki.
Untuk
lebih memperjelas nilai ketuhanan sebagai tujuan hidup, perlu dikaji bahwa
karena kenyataan tidak hampir tidak ada orang yang tidak memiliki suatu makna
hidup dan makna hidup itu dapat berbeda dari satu orang atau kelompok ke orang
atau kelompok lain, maka berarti ada masalah tentang makna hidup yang benar dan
makna hidup yang salah. Oleh karena itu, persoalan selanjutnya adalah,
bagaimana menguji kebenaran suatu tujuan
hidup dan maknanya? Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu konsep tentang
tujuan dan makna hidup mengandung kebenaran obyektif dan universal?
Dalam
menjawab pertanyaan ini, Paul Edwards menawarkan jawaban, bahwa kita barangkali
harus membedakan antara makna dan tujuan hidup yang dapat disepakati oleh umat
manusia secara rasional dan dengan ketulusuan pengertian, dan makna serta
tujuan hidup yang hanya seeara sepintas saja tampak seperti rasional dan penuh
pengertian. Sepanjang persoalan makna dan tujuan hidup manusia, taruhan yang
amat menentukan ialah suara hati nurani. Makna dan tujuan hidup yang benar
ialah yang ditopang oleh pertimbangan hati nurani yang tulus.
Persoalannya
adalah, kalau memang hati nurani itu benar menjadi sumber pertimbangan tentang
otentik dan tidaknya suatu pandangan tentang makna dan tujuan hidup, dan
kenyataan bahwa masing-masing ideologi pun dapat dirasionalisasikan sebagai
sesuatu yang sesuai dengan hati nurani, maka dalam praktek hati nurani pun
tidak universal, karena amat pelik, berhadapan
dengan
masalah kedirian yang paling mendalam, yaitu hakikat kalbu. Suara dan
pertimbangan murni kalbu itu tempat taruhan amat penting nilai makna dan tujuan
hidup kita. Seperti disabdakan Nabi Muhammad SAW. : "sesunguhnya semua
amal perbuatan itu tergantung kepada niat". Atau seperti dikatakan
filosof Kant, faktor yang paling menentukan dalam amal manusia ialah
"kemauan baik" (good mil), tujuan dan tingkah laku moral Dan
bunyihati nurani yang mendalam pada pribadi seseorang itu sepenuhnya otentik, sebab,
seperti difirmankan Allah dalam al-Qur'an: "Allah tidak membuat duo,
kalbu untuk seseorang dalam ruang dadanya". Jadi, kalbu tidak dapat
bohong. Suara kalbu yang paling bening akan terdengar oleh diri manusia ketika
ia berada dalam suasana "kontak" dengan Tuhan, Dzat Yang Maha Suci,
pangkal segala kesucian. Demi terpeliharanya kesucian dan kemurnian kalbu itu, manusia
harus selamanya memelihara suasana kontak dengan Yang Maha Suci, dengan penuh
rasa pasrah dan dalam kerahasiaan pribadinya yang paling mendalam. Bahkan di
hadapan Tuhan itu, manusia harus tetap menunjukkan kesungguhan hatinya melawan
unsur-unsur luar yang merusak dan menyimpangkannya dari kebenaran, dengan
secara tulus memohon kepada Tuhan untuk ditunjukkan jalan menuju kesucian itu.
Berdasarkan
hal ini, kalbu manusia itu masih terancam untuk menyimpang dari kesucian tanpa
terasakan oleh yang bersangkutan sendiri, kesucian itu menjadi mustahil tanpa
manusia terus menerus berjuang dan berusaha mendekati Tuhan. Oleh karena itulah
Tuhan menjadi tujuan hidup, sekaligus pangkalnya, dan kesungguhan manusia
yang tak kenal henti mendekati Tuhan itu adalah makna hidup
hakiki manusia.
Tuhan
itu Maha Dekat dan dapat "ditemui". Oleh karena itu, mewujudkan makna
hidup dam menemukan kebahagiaan dalam kehidupan nyata ini adalah sesuatu yang
selalu terbuka, penuh kemungkinan, tidak pernah mustahil. Karena pengalaman ini
mengaktual dalam kehidupan dunia, ia termasuk makna terrestrial hidup
manusia. Tetapi justru agar bermakna, suatu makna terrestrial harus terkait
dengan makna kosmis. Suatu pengalaman hidup "bertemu" dengan Tuhan
tidak substansial jika tidak didasari atas'keyakinan akan adanya pertemuan
dengan Tuhan yang lebih hakikl dalani kehidupan sesudah mati, sesuai dengan "grand
design" Tuhan untuk seluruh ciptaan-Nya.
Karena
dialektika hidup manusia sendiri, maka makna terrestrial hidup itu,
dalam wujudnya yang paling konkrit, hampir tidak dapat dibedakan dari makna
hidup akibat bentukan kebutuhan-kebutuhan nyata (need-conditioned meaning
of life). Di sini manusia menghadapi ancaman kehilangan makna hidupnya,
atau makna hidupnya menjadi palsu, yaitu jika ia kehilangan perspektif kaitan
rasa makna hidup yang terbentuk oleh kebutuhan nyata itu dengan makna hidup
yang lebih tinggi, yang berdimensi kosmis. Sebab sekalipun makna hidup terrestrial
itu, dari segi gunanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sungguh benar-benar
substansial, namun makna serupa itu, dalam analisis terakhir, hanya bersifat
sebagai penuiyang saja bagi hidup orang bersangkutan itu sendiri, jadi tidak
eksistensial. Makna hidup eksistensial tetap berdimensi kosmis, terkait dengan
ketuhanan.
Oleh
karena itu, sesuatu "need-conditioned meaning of life ", yang
juga berarti makna hidup terrestrial, akan menjadi makna hidup
eksistensial hanya jika ia ditujukan dan diorientasikan kepada Tuhan sesuai
dengan "grand de-sign'-Nya untuk hidup manusia dalam kaitannya
dengan seluruh alam ciptaan- Nya. Ini berarti bahwa tanpa mengetahui "grand
design" Tuhan itu mustahil manusia menempuh hidup sesuai dengan makna
eksistensialnya.
Nilai
ketuhanan merupakan wujud tujuan dan makna hidup kosmis dan eksistensial
manusia, dan nilai kemanusiaan merupakan wujud makna terrestrial hidup
manusia itu.
Sumber:
Andewi Suhartini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar