Terapi realitas merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang
dilandasi oleh kenyataan bahwa individu berhak memilih dan bertanggung jawab
atas pilihannya (Sharf, 2006). Pada mulanya terapi ini dikembangkan oleh
Glasser (1981) terutama untuk mengatasi kesenjangan hubungan pasien dengan
terapis yang sungkan mengungkapkan perasaannya kepada terapis. Sebaliknya, jika
pasien/konseli bersikap lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaannya, ia
menjadi lebih terlibat di dalam proses terapi itu sendiri, dan ia lebih
memiliki komitmen dalam mengeksplorasi perilakunya.
Dalam terapinya Glasser (1981) menggunakan teknik metafora
sebagai salah satu pendekatannya. Ia juga menggunakan thermostat yang merupakan
perangkat pengendali temperatur di dalam ruangan. Selanjutnya sistem pendingin
atau pemanas ruang akan bekerja kembali hingga mencapai suhu tertentu dan
thermostat kembali akan menghentikan kerja pendingin atau pemanas ruang.
Glasser (1991) menjelaskan bahwa individu mempersepsi
lingkungan dan hasil persepsi diolah di dalam fungsi kognitif yang selanjutnya
akan mempengaruhi individu dalam memilih respon terhadap persepsinya. Jadi,
pada dasarnya perilaku individu ditentukan oleh hasil perbandingan individu
atau persepsinya terhadap kondisi-kondisi yang ia hadapi.
Menurut Glasser, hal-hal yang dipersepsikan individu dan
disimpan di dalam diri bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai
contoh, seorang alkoholik beranggapan bahwa alkohol akan dapat memuaskan hidupnya,
sehingga ia tetap mengkonsumsi alkohol untuk memuaskan dirinya. Kondisi seperti
inilah yang relatif mempersulit seseorang untuk hidup di dalam realitas
nasional.
Ada 5 kebutuhan yang mempengaruhi kondisi rasional tidak
rasionalnya individu (Glasser, 1991), yaitu: a) kebutuhan bertahan hidup (need
of survival), b) kebutuhan kebersamaan (need to belong to or belongingness), c)
kebutuhan kekuasaan (need for power), d) kebutuhan kebebasan (need for
freedom), e) kebutuhan kesenangan (need for fun).
Karena individu menempatkan diri di dalam QW (quality word),
maka ia bukan mengalami depresi, melainkan mendeskripsikan diri guna memenuhi
kebutuhannya. Glasser (1991) tidak menggunakan istilah depressed melainkan
depressing; ia tidak menggunakan istilah anger melainkan angering untuk
menggambarkan kondisi individu yang marah. Sharf (2006) menyatakan bahwa
individu memilih marah untuk memenuhi kebutuhan kekuasaan. Individu juga dapat
memilih marah untuk memenuhi kebebasan berekspresi. Individu tidak harus memilih
tindakan marah untuk memperoleh posisi yang lebih unggul (kekuasaan). Jika
hasil perilaku itu memberi dampak yang kurang nyaman baginya, maka hal tersebut
merupakan tanggung jawabnya sendiri untuk mengubahnya.
Selanjutnya, Glasser (1991) mengemukakan bahwa dalam
berprilaku, individu juga dipengaruhi oleh kreativitasnya yang memiliki rentang
dari sangat positif seperti berkreasi seni hingga kreativitas yang sangat
negatif seperti bunuh diri. Ia melakukan tindakan tersebut untuk memenuhi
kebutuhannya misalnya kebutuhan kesenangan; atau mungkin saja ia ingin dikagumi
banyak orang (kebutuhan kebersamaan, belongingness). Individu juga dapat
bertindak mengurangi makan bahkan tidak makan. Ia merasa dengan mengurangi
makan maka penampilannya akan lebih menarik, dan ia menikmati respon lapar
secara fisiologis. Glasser (1991) juga memberikan jawaban atas pertanyaan
tentang alasan seseorang memilih untuk bertindak yang bersifat merugikan
dirinya. Menurut Glasser, tindakan seperti cemas dan menunjukkan kesedihan
ditampilkan untuk memperoleh uluran tangan orang lain (belongingness).
Berdasarkan pada tujuan dari terapi realitas, maka pendekatan
yang dilakukan untuk kasus seperti ini adalah dengan cara mendidik (pendekatan
edukatif), pasien/ konseli untuk melakukan perbandingan antar pilihan mereka
secara bertanggung jawab. Konseli harus terlebih dahulu memahami keinginan atau
kebutuhannya. Melalui pendekatan edukatif, pasien konseli belajar untuk
memahami dampak perubahan sekiranya ia mengubah tindakan, pemikiran, perasaan,
dan responnya. Sebagai contoh, jika seorang istri memilih untuk menjadi korban
abuse dari suaminya ia mungkin berupaya memenuhi kebutuhan, kebersamaan dengan
mengorbankan kebutuhan kesenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar