Senin, 26 Desember 2016

Terapi Realitas Terhadap Perilaku Keterbelngguan



Terapi realitas merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang dilandasi oleh kenyataan bahwa individu berhak memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya (Sharf, 2006). Pada mulanya terapi ini dikembangkan oleh Glasser (1981) terutama untuk mengatasi kesenjangan hubungan pasien dengan terapis yang sungkan mengungkapkan perasaannya kepada terapis. Sebaliknya, jika pasien/konseli bersikap lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaannya, ia menjadi lebih terlibat di dalam proses terapi itu sendiri, dan ia lebih memiliki komitmen dalam mengeksplorasi perilakunya.
Dalam terapinya Glasser (1981) menggunakan teknik metafora sebagai salah satu pendekatannya. Ia juga menggunakan thermostat yang merupakan perangkat pengendali temperatur di dalam ruangan. Selanjutnya sistem pendingin atau pemanas ruang akan bekerja kembali hingga mencapai suhu tertentu dan thermostat kembali akan menghentikan kerja pendingin atau pemanas ruang.
Glasser (1991) menjelaskan bahwa individu mempersepsi lingkungan dan hasil persepsi diolah di dalam fungsi kognitif yang selanjutnya akan mempengaruhi individu dalam memilih respon terhadap persepsinya. Jadi, pada dasarnya perilaku individu ditentukan oleh hasil perbandingan individu atau persepsinya terhadap kondisi-kondisi yang ia hadapi.
Menurut Glasser, hal-hal yang dipersepsikan individu dan disimpan di dalam diri bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai contoh, seorang alkoholik beranggapan bahwa alkohol akan dapat memuaskan hidupnya, sehingga ia tetap mengkonsumsi alkohol untuk memuaskan dirinya. Kondisi seperti inilah yang relatif mempersulit seseorang untuk hidup di dalam realitas nasional.
Ada 5 kebutuhan yang mempengaruhi kondisi rasional tidak rasionalnya individu (Glasser, 1991), yaitu: a) kebutuhan bertahan hidup (need of survival), b) kebutuhan kebersamaan (need to belong to or belongingness), c) kebutuhan kekuasaan (need for power), d) kebutuhan kebebasan (need for freedom), e) kebutuhan kesenangan (need for fun).
Karena individu menempatkan diri di dalam QW (quality word), maka ia bukan mengalami depresi, melainkan mendeskripsikan diri guna memenuhi kebutuhannya. Glasser (1991) tidak menggunakan istilah depressed melainkan depressing; ia tidak menggunakan istilah anger melainkan angering untuk menggambarkan kondisi individu yang marah. Sharf (2006) menyatakan bahwa individu memilih marah untuk memenuhi kebutuhan kekuasaan. Individu juga dapat memilih marah untuk memenuhi kebebasan berekspresi. Individu tidak harus memilih tindakan marah untuk memperoleh posisi yang lebih unggul (kekuasaan). Jika hasil perilaku itu memberi dampak yang kurang nyaman baginya, maka hal tersebut merupakan tanggung jawabnya sendiri untuk mengubahnya.
Selanjutnya, Glasser (1991) mengemukakan bahwa dalam berprilaku, individu juga dipengaruhi oleh kreativitasnya yang memiliki rentang dari sangat positif seperti berkreasi seni hingga kreativitas yang sangat negatif seperti bunuh diri. Ia melakukan tindakan tersebut untuk memenuhi kebutuhannya misalnya kebutuhan kesenangan; atau mungkin saja ia ingin dikagumi banyak orang (kebutuhan kebersamaan, belongingness). Individu juga dapat bertindak mengurangi makan bahkan tidak makan. Ia merasa dengan mengurangi makan maka penampilannya akan lebih menarik, dan ia menikmati respon lapar secara fisiologis. Glasser (1991) juga memberikan jawaban atas pertanyaan tentang alasan seseorang memilih untuk bertindak yang bersifat merugikan dirinya. Menurut Glasser, tindakan seperti cemas dan menunjukkan kesedihan ditampilkan untuk memperoleh uluran tangan orang lain (belongingness).
Berdasarkan pada tujuan dari terapi realitas, maka pendekatan yang dilakukan untuk kasus seperti ini adalah dengan cara mendidik (pendekatan edukatif), pasien/ konseli untuk melakukan perbandingan antar pilihan mereka secara bertanggung jawab. Konseli harus terlebih dahulu memahami keinginan atau kebutuhannya. Melalui pendekatan edukatif, pasien konseli belajar untuk memahami dampak perubahan sekiranya ia mengubah tindakan, pemikiran, perasaan, dan responnya. Sebagai contoh, jika seorang istri memilih untuk menjadi korban abuse dari suaminya ia mungkin berupaya memenuhi kebutuhan, kebersamaan dengan mengorbankan kebutuhan kesenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar