Dalam perkembangan sejarah kesenian semenjak zaman
prasejarah sampai yang mutakhir seperti sekarang ini, kepercayaan atau
agama senantiasa merupakan sumber inspirasi yang amat besar bagi seniman
dalam berkarya. Agama adalah pembangkit daya cipta yang luar biasa untuk
mewujudkan segala sesuatu yang bernilai seni. Akan tetapi pada pertengahan
abad 19 M yaitu permulaan abad yang dipengaruhi oleh pikiran dan
cita-cita yang romantis dan materialis, maka sifat keagamaan dalam
kesenian mulai hendak ditinggalkan orang. Paham ini muncul di Eropa,
mereka menganut paham ini tidak mau terikat oleh aturan norma agama dan
berpendapat seni harus independen bebas dari segala pengaruh.
Paham
ini telah menjelma menjadi aliran baru yang disebut “I’art pour I’art”
atau seni untuk seni, yang kemudian sampai sekarang disebut sebagai seni
murni. Menurut paham ini seni diciptakan semata-mata untuk seni, kesenian
bukanlah agama dan bukan untuk agama atau kepentingan praktis yang lain.
Paham ini pada hakekatnya adalah suatu aspek kebudayaan dari ajaran marxisme,
karena lahirnya marxisme dan atheisme di Eropa. Dengan
paham seni untuk seni sebagai konsep penciptaannya, seniman melemparkan
selimut keagamaan keluar menuju alam cipta ekspresi pribadi yang luas, bebas,
bahkan absolut. Penganut seni untuk seni menjauhkan diri dari apa yang
berbau agama, karena menurut mereka agama tidak memberikan kesempatan
istimewa bagi mereka untuk melukiskan objek yang menarik dalam arti yang
seluas-luasnya. Mereka menghendaki objek yang tak terbatas, sedangkan
agama memberikan batasan tertentu dalam kehidupan berkesenian. Oleh
karena itu, mereka lari ke alam bebas, dimana mereka dapat berbuat
merdeka melukis dan mematung sesuai keinginannya. Oleh sebab itu Islam
tidak mengenal seni untuk seni, Islam tidak mengenal seni yang bebas,
akan tetapi yang dikenhendaki Islam adalah seni yang “terpimpin” atau
terbimbing” dimana norma-norma agama dan susila harus diindahkan dalam
cipta seninya.
Sebab
terjadinya perbedaan pandangan dan pendapat dalam seni lukis atau pahat
dalam Islam, karena tidak adanya batas yang positif dan tegas mengenai
dibolehkan atau tidak Islam dalam melukis atau membuat patung yang
realis dan naturalis. Dalam Al-Qur’an tidak dijumpai satupun ayat yang
melarangnya, tetapi dalam hadist didapati suatu yang mnyinggung masalah
ini. Dari situlah timbul perbedaan pendapat dalam bentuk objek dan motif
yang dilukis, secara garis besar perbedaan pendapat Islam tentang seni
sebagai berikut:
Pendapat
pertama, Hadis yang melarang seseorang membuat lukisan
atau pahatan yang objek atau motifnya menggambarkan mahluk hidup seperti
manusia dan binatang. Dalam hadis dikatakan barang siapa yang membuat
gambar atau patung mahkluk bernyawa di dunia ini, maka di akhirat nanti
ia harus bertanggungjawab memberikan nyawa, dan akhirnya ia mendapat
sisksaan dari Tuhan karena ia tidak dapat memberikan nyawa. Menurut
paham ini melukis atau mematung yang menggambarkan mahluk hidup berarti
dilarang atau hukumnya haram. Oleh sebab itu semua gambar mahkluk
bernyawa tidak dibolehkan.
Pendapat
kedua, boleh membuat gambar mahkluk bernyawa seperti manusia dan
binatang, tetapi dengan syarat bentuknya dua dimensi datar seperti foto,
gambar, dan lukisan. Kalau bentuk gambar memiliki ukuran tiga dimensi dapat
diraba seperti relief dan arca tidak diperbolehkan.
Pendapat
ketiga, Boleh membuat gambar mahkluk bernyawa dalam bentuk yang
plastis, asal saja dalam bentuk atau rupa yang tidak memungkinkan makhluk itu
hidup, misal membuat gambar atau patung setengah badan, secara rasional tidak
mungkin bisa hidup karena tidak sempurna. Pendapat ini tetap melarang membuat
bentuk mahkluk hidup yang sempurna atau utuh, tetapi membuat sebagaian saja
akan terlepas dari tuntutan Tuhan di akhirat nanti, karena bentuk sebagian itu
tidak mungkin hidup.
Pendapat
keempat, umat Islam sudah hidup dalam zaman modern baik cara
berpikir, bertindak, dan bertauchid kepada Tuhan, maka Islam membolehkan membuat
lukisan atau patung mahkluk hidup seperti lukisan orang, binatang, patung
pahlawan, patung raja untuk monumen, asalkan bukan patung untuk disembah atau
dipercayai memberikan kekuatan tertentu,
seperti
dalam Al Qur’an disebut dengan Al-Ashnam atau Al-Anshab. Orang Islam
tetap diharamkan membuat dan memperjualbelikan patung untuk agama tertentu
seperti Bunda Maria, Yesus, dan arca Hindu dan Budha. Adapun larangan itu tegas
dinyatakan dalam Al Qur’an berbunyi “Hai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman
keras, judi, berhala, dan bertenung adalah perbuatan yang keji dari pada
perbuatan setan. Sebab itu hendaklah kamu jauhi mudah-mudahan kamu akan
mendapat kemenangan.
Sumber: Martono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar