Posisi
Islam mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat dari Aspek Spiritual.
Al-Qur’an
memberikan bukti yang nyata bahwa wanita benar-benar setara dengan pria di mata
Tuhan dalam hal hak dan kewajibannya. Dalam Al- Qur’an dinyatakan:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas
apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al-Mumtahanah : 38)
“Maka Tuhan mereka memperkenankan
permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan
amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS
Al-Imran : 195)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan
Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl : 97, lihat juga
An-Nisa).
Wanita
menurut Al-Qur’an tidak untuk dipersalahkan terhadap kesalan pertama Adam alaihis-salam.
Keduanya bersalah dalam mengingkari ketaatan terhadap Allah, keduanya memperoleh
hukuman, dan keduanya mendapat ampunan. (QS Al-Baqarah : 26, Al-A’raf : 20 –
24).
Dalam
salah satu ayat Al-Qur’an (surat Thahaa : 121), Adam secara khusus dipersalahkan.
Dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu sehari semalam, puasa,
zakat, haji, kewajiban wanita tidak berbeda dengan pria. Bahkan dalam beberapa
kasus, wanita mempunyai beberapa kelebihan atas pria.
Sebagai
contoh, wanita diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dalam masa
menstruasi dan empat puluh hari saat nifas. Dia juga boleh meninggalkan puasa
selama masa kehamilan dan menyusui manakala ada kekhawatiran akan membahayakan
kesehatan ibu dan bayi. Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (selama bulan
Ramadhan), dia boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia
sanggup melakukannya. Dia tidak perlu mengganti shalat karena alasan-alasan
yang disebutkan di atas. Meskipun wanita boleh dan pernah mendatangi masjid pada
masa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan karenanya wanita boleh menghadiri
shalat jumat sedangkan hal tersebut (shalat jumat) merupakan kewajiban bagi
laki-laki.
Hal
ini jelas merupakan sentuhan lembut ajaran Islam karena mempertimbangkan
kenyataan bahwa mungkin wanita harus menyusui atau merawat bayinya, dan
karenanya mungkin tidak dapat menghadiri shalat di masjid manakala waktu shalat
tiba. Ajaran Islam juga mempertimbangkan keadaan perubahan fisiologis dan psikologis
yang berhubungan dengan fungsi kewanitaan yang alamiah.
Sumber:
Dr. Jamal A. Badawi dari buku Kedudukan Wanita dalam Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar