Minggu, 18 Desember 2016

Kedudukan Wanita dari Aspek Spiritual



Posisi Islam mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat dari Aspek Spiritual.

Al-Qur’an memberikan bukti yang nyata bahwa wanita benar-benar setara dengan pria di mata Tuhan dalam hal hak dan kewajibannya. Dalam Al- Qur’an dinyatakan:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al-Mumtahanah : 38)
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS Al-Imran : 195)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl : 97, lihat juga An-Nisa).

Wanita menurut Al-Qur’an tidak untuk dipersalahkan terhadap kesalan pertama Adam alaihis-salam. Keduanya bersalah dalam mengingkari ketaatan terhadap Allah, keduanya memperoleh hukuman, dan keduanya mendapat ampunan. (QS Al-Baqarah : 26, Al-A’raf : 20 – 24).

Dalam salah satu ayat Al-Qur’an (surat Thahaa : 121), Adam secara khusus dipersalahkan. Dalam batasan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu sehari semalam, puasa, zakat, haji, kewajiban wanita tidak berbeda dengan pria. Bahkan dalam beberapa kasus, wanita mempunyai beberapa kelebihan atas pria.

Sebagai contoh, wanita diperbolehkan meninggalkan shalat dan puasa dalam masa menstruasi dan empat puluh hari saat nifas. Dia juga boleh meninggalkan puasa selama masa kehamilan dan menyusui manakala ada kekhawatiran akan membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Jika yang ditinggalkan adalah puasa wajib (selama bulan Ramadhan), dia boleh mengganti hari yang tertinggal tersebut kapanpun dia sanggup melakukannya. Dia tidak perlu mengganti shalat karena alasan-alasan yang disebutkan di atas. Meskipun wanita boleh dan pernah mendatangi masjid pada masa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dan karenanya wanita boleh menghadiri shalat jumat sedangkan hal tersebut (shalat jumat) merupakan kewajiban bagi laki-laki.

Hal ini jelas merupakan sentuhan lembut ajaran Islam karena mempertimbangkan kenyataan bahwa mungkin wanita harus menyusui atau merawat bayinya, dan karenanya mungkin tidak dapat menghadiri shalat di masjid manakala waktu shalat tiba. Ajaran Islam juga mempertimbangkan keadaan perubahan fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan fungsi kewanitaan yang alamiah.

Sumber: Dr. Jamal A. Badawi dari buku Kedudukan Wanita dalam Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar