Jumat, 30 Desember 2016

Konspirasi Unholly Trinity: IMF, World Bank, dan WTO



Konspirasi yang lebih sistemik lagi dilakukan oleh tiga lembaga yang mengaku sebagai lembaga yang berfungsi untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Kenyataannya ketiga lembaga ini ternyata berada dibalik beberapa kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi. Ketiga lembaga ini sering disebut Unholy Trinity sebagai pelesetan dari Holy Trinity.

IMF dan World Bank menggunakan mekanisme hutang untuk menghancurkan lingkungan di Negara-negara berkembang dan juga untuk memiskinkan rakyat di Negara-negara berkembang. Mungkin IMF tidak secara langsung merusak lingkungan karena hutanghutang yang diberikan IMF ke negara-negara berkembang biasanya berbentuk hutang moneter.

Yang paling terlibat dalam pengrusakan lingkungan melalui hutang-hutangnya tentunya adalah World Bank, karena World Bank memberikan hutang-hutangnya untuk membangun infrastrukturinfrastruktur di negara-negara berkembang. Bentuk-bentuk infrasturkturnya beragam mulai dari bendungan sampai jalan raya. Tapi bodohnya, bangunan-bangunan yang dibangun sama World Bank ini ternyata menjadi sumber utama pengrusakan lingkungan di negara-negara berkembang.

Dalam buku keren berjudul Mortgaging the Earth, Bruce Rich mengupas secara detail bagaimana World Bank sangat berperan dalam pemiskinan dunia dan krisis lingkungan. Melalui dana-dana yang diberikan oleh Bank Dunia, negara-negara dunia ketiga disuruh membangun infrastruktur-infrastrutkur yang tidak memperhatikan unsurunsur lingkungan disekitar infrastruktur itu dibangun. Alhasil, atas nama pembangunan infrastruktur, banyak sekali pengrusakan lingkunganpengrusakan lingkungan yang tidak bertanggung jawab terjadi di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara berkembang.

Menurut cerita Bruce Rich, pada tahun 1990, sebuah program pemberian pinjaman (baca: Hutang) diumumkan kapada seluruh dunia. Tujuan program ini pada awalnya dibuat untuk menyelamatkan hutan tropis yang ada di seluruh dunia. Tempat pertama yang ditunjuk sebagai proyek pertama adalah negara Afrika Barat bernama Guinea. Tidak tanggung-tanggung, dana yang diberikan (baca lagi: dihutangin) World Bank kepada Guinea adalah sebesar 23 juta dollar.

Dokumen proyek Bank Dunia itu berjudul “Pengelolahan dan Perlindungan Cagar Alam di Guinea”. Memang program ini lebih difokuskan kepada perlindungan cagar alam di Guniea yang luasnya 150.000 hektar. Diperkirakan 106.000 hektar dari 150.000 hektar cagar alam Guinea masih berupa hutan tropis murni.

Tapi fakta di lapangan tidak seindah judul program yang diberikan World Bank. Apa yang dilakukan oleh Bank Dunia ternyata jauh berkebalikan dari apa yang diharapkan. Dana pinjaman tersebut (sekali lagi ini hutang) digunakan untuk membangun jalan sepanjang 75 kilometer yang menembus areal cagar alam tersebut. Tujuan sebenarnya dari dana hutang yang diberikan kepada Guinea tak lain hanya untuk ngebabat 2/3 hutan yang ada di areal cagar alam untuk kemudian diproduksi sebagai kayu glondongan.

Masih menurut Bruce Rich, pada awal 1990’an, World Bank memberi pendanaan terhadap proyek pembangunan bendungan di Brazil yang akan menjadi pembangkit listrik. World Bank mengeluarkan dana sebanyak 500 juta Dollar untuk membuat 136 bendungan dalam kurun waktu 20 tahun. Tapi 79 dari 136 bendungan tersebut berlokasi di dalam hutan tropis yang masih perawan; kebanyakan juga berada di lembah Sungai Amazon. Otomatis pembangunan bendungan itu akan merusak lingkungan serta cagar budaya yang ada di lembah Amazon. Sebagai contoh, bendungan yang terletak di Sobradinho dan Machadinho telah membuat 70.000 warga desa miskin Brazil digusur dan tidak dapat ganti rugi yang seimbang. Masih di Brazil, bendungan Itaparica yang juga didanai World Bank telah membuat 40.000 orang terusir dari tempat tinggalnya. Jika masih keukeh tidak mau diusir, para warga miskin ini tinggal menunggu saja kelelep sama air bah tatkal pintu air bendungan dibuka. World Bank tugasnya cuma memberi hutang ke negara berkembang. Mau dibuat apa, World Bank tidak menanggung.

MNC Musuh Utama Alam



Pernah nonton film the Burning Season? Well, film ini memang masuk tipikal film rada jebot sih. Pernah sekali muncul di televisi, tapi jam tayangnya diletakkan pas jam dua malam. Padahal film ini bagus sekali untuk membuka wawasan kita mengenai permasalahan lingkungan.

Film ini bercerita tentang kisah nyata seorang aktivis lingkungan anti penebangan hutan di Brazil bernama Chico Mendez. Chico Mendez sendiri adalah seorang petani karet di pedalaman Brazil, jika tidak salah sih di daerah hutan Amazon gitu.

Di film ini diceritakan bagaimana kehidupan seorang petani karet yang terancam akibat pembakaran hutan untuk pembukaan lahan bagi peternakan. Pembakaran hutan ini dilakukan oleh peternak-peternak multinasional dari Amerika Serikat yang berkolaborasi dengan peternak-peternak lokal. Tidak tanggungtanggung peternak-peternak ini juga berkolaborasi dengan pejabatpejabat lokal agar diberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan operasi membuka lahan (atau juga disebut pembabatan hutan). Dalam film ini, diceritakan pula bagaimana salah seorang senator di daerah tempat pembukaan lahan di Brazil didanai oleh korporasi untuk memenangkan kursi wali kota dengan balasan senator ini harus membuat aturan yang akan mengizinkan perusahaan besar untuk menebang dan membakar hutan Amazon.

Dalam melakukan penebangan, perusahaan multinasional tidak mau tahu terhadap kondisi masyarakat hutan yang sangat tergantung kehidupannya dari hasil hutan. Protes-protes kecil pun berdatangan dari masyarakat di sekitar sungai Amazon. Tanpa ampun, perusahaan menurunkan para algojo untuk meneror warga agar jangan pernah untuk ngelawan perusahaan lagi.

Namun berkat perjuangan Chico Mendes yang tidak kenal lelah, isu penebangan hutan ini menjadi isu internasional dimana akhirnya NGO-NGO Internasional datang untuk membantu. Marah karena dunia internasional mengetahui apa yang mereka kerjakan, Korporasi akhirnya mencoba membunuh Chico Mendes. Tapi usaha pembunuhan selalu saja gagal. Karena kesal, korporasi memanggil tentara Brazil untuk menghentikan perjuangan Chico Mendes. Sekali lagi usaha itu tidak berhasil.

Akhirnya, berkat perjuangan Chico Mendes pula, pemerintah Brazil mengeluarkan peraturan yang tidak membolehkan siapa pun untuk menebang hutan di seluruh hutan tropis yang ada di Brazil. Korporasi akhirnya harus angkat kaki dari hutan Amazon. Sedihnya, peraturan tersebut keluar setelah sang pejuang, Chico Mendes, dibunuh oleh antek-antek korporasi yang tidak senang dengan keberhasilan Chico Mendes.

Cerita Chico Mendes adalah satu kisah keberhasilan pejuang lingkungan yang dapat mengalahkan konspirasi korporasi meski akhirnya ia harus tewas ditangan para antek-antek korporat. Masih banyak lagi kisah-kisah seperti Chico Mendes yang berakhir dengan kesedihan para pejuang lingkungan dan kemenangan para korporat yang memiliki begitu banyak link terhadap kekuasaan.

Sebagai informasi buat kita, dari tahun 1970 sampai tahun 2000, telah terjadi peningkatan jumlah MNC dari semula berjumlah 7000 menjadi 37.000. Lima ratus MNC paling kaya dan paling top menghasilkan kira-kira 50% emisi gas rumah kaca. Sekali lagi lima ratus MNC telah menyumbangkan hampir setengah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dunia. Dari seluruh MNC yang ada, hamper 90% berada di negara-negara maju. Hampir 70% perdagangan dunia dikuasai oleh mereka. Hampir 90% teknologi pun juga dikuasai oleh MNC dan 70% hak paten pun tak luput dari penguasaan mereka.

Kolaborasi Dengan MNC



Kelompok yang paling berkuasa di AS dan mungkin di dunia adalah kelompok perusahaan industri Kelompok ini akan melakukan apa saja untuk memastikan kebijakan-kebijakan AS dan perjanjianperjanjian internasional yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan tidak mengganggu kepentingan bisnis mereka.

Untuk memastikan kepentingan bisnis mereka tidak dianggu-gugat, kelompok ini selalu menghadiri konferensi-konferensi yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan. Kita tentu masih ingat bahwa mereka semangat sekali membuat koalisi WBCSD untuk dapat bergabung dalam Konferensi Rio agar dapat mengarahkan agenda-agenda yang dibicarakan di sana. Bahkan mereka pun mau mengeluarkan dana jutaan dollar hanya untuk mengkampanyekan bahwa pemanasan global dan teori perubahan iklim masih belum dapat dipercayai.

Koalisi ribuan perusahaan yang tergabung dalam International Chamber of Commerce (ICC) yang terdiri atas 7500 perusahaan dan terlibat dalam negosiasi Protokol Kyoto, menyatakan tidak mendukung target dan waktu yang mengikat dalam pengurangan emisi. Global Climate Coalition (koalisi perusahaan-perusahaan besar) pun juga melakukan kampanye jutaan dollar di AS untuk menentang Protokol Kyoto secara keseluruhan karena akan menimbulkan dampak serius bagi perekonomian AS.

Tidak heran, bahkan sampai sekarang, Amerika Serikat ogah menandatangani Protokol Kyoto karena dia yang paling dirugikan dengan adanya protokol ini. Sebagai bahan pembanding, kenaikan suhu rata-rata 2,5o C akan mengakibatkan kerugian 2-9% dari GDP (Gross Domestic Product) bagi negara-negara berkembang. Sementara, bagi negara maju kenaikan suhu 2,5o C hanya menyebabkan kerugian 1-1,5% dari GDP mereka. Artinya, AS tidak akan rugi-rugi amat dengan adanya kenaikan suhu. Contoh lain dari perbedaan risiko yang ditanggung antara AS dengan negara berkembang dapat dilihat ketika terjadi badai panas di Texas tahun 1998. Badai panas akibat perubahan iklim ini hanya menyebabkan kematian 100 orang, sementara badai serupa yang terjadi di India dapat menyebabkan kematian 1300 orang.

Sudah lebih dari sepuluh tahun semenjak Protokol Kyoto ditandatangani, AS masih bersikukuh untuk menolak mengimplementasikan protokol ini. Bila pada Montreal, AS getol betul untuk memaksa negara-negara Eropa menandatangani protocol Montreal, maka di Kyoto, AS malah yang paling tidak bisa berkompromi untuk menandatangani Protokol Kyoto. Sederhana saja jawaban dari inkonsistensi Amerika ini. Pada permasalahaan Ozon, AS memiliki teknologi subtitusi yang dapat mengurangi substansi CFC, sedangkan pada permasalahan pemanasan global, AS tidak punya teknologi subtitusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Baru-baru ini, Amerika Serikat bersedia terlibat lebih aktif dalam isu pemanasan global dengan syarat negara-negara berkembang juga ikut mengurangi emisi gas rumah kacanya. Solusi yang ditawarkan oleh AS ini jelas tidak adil. Pemanasan global merupakan dampak dari akumulasi pencemaran udara yang dilakukan sejak seratus tahun yang lalu oleh negara-negara Eropa dan AS. Adalah ketidakadilan bila negara-negara berkembang yang masih membangun negaranya sudah diminta ikut aturan yang sama dengan yang berlaku bagi negaranegara maju. Sekarang Amerika sudah dalam posisi kemakmuran yang tinggi, sudah sepantasnya ia mengurangi sedikit gaya hidup yang berlebihan. Alih-alih mengurangi gaya hidup masyarakatnya, AS malah menyuruh negara berkembang ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan yang telah mereka.

Penduduk Amerika, Kanada, dan Eropa, yang prosentasenya 20,1% dari total warga dunia, mengkonsumsi 59,1% energi dunia, sedangkan warga Afrika dan Amerika Latin, yang prosentasenya 21,4 % dari populasi dunia, hanya mengkonsumsi 10,3 %. Konsumsi energi yang tinggi juga mengakibatkan total emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan negara-negara maju juga tinggi. Pada 1990 aja, total emisi gas rumah kaca mencapai 13,7 Gt (gigaton), yang secara berturut-turut disumbang Amerika (36,1 %), Rusia (17,4 %), Jepang (8,5 %), Jerman (7,4 %), Inggris (4,2 %), Kanada (3,3 %, Italia (3,1 %), Polandia (3 %), Prancis (2,7 %), dan Australia (2,1 %). Sudah jelas bahwa negara maju lah yang paling banyak mengeluarkan polusi, tapi AS masih saja meminta negara-negara berkembang untuk turut ikut bertanggung jawab?

Konspirasi Protokol Kyoto



Seperti yang telah dijelaskan diatas, Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa iklim di bumi makin tidak menentu akibat pemanasan global. Untuk menangani permasalahan ini, pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 disepakatilah UNFCCC (United Nations Framework on Climate Change Convention). Tapi UNFCCC adalah perjanjian yang tidak mengikat negara yang menandatanganinya untuk melaksakanakan aturan-aturan yang telah disepakati. Satu-satunya jalan adalah dengan mengadakan konferensi lanjutan yang diharapkan menghasilkan output yang lebih mengikat. Pada tahun 1997, konferensi lanjutan itu dilaksanakan di Kota Kyoto, Jepang, dengan dihadiri delegasi dari 160 negara. Selain dihadiri oleh delegasi negara, dalam konferensi ini juga ada perwakilan LSM dan pastinya perwakilan perusahaan multinasional seperti Exxon, British Petroleum, dan Shell (ada apa gerangan mereka disana?).

Alhasil, dari pertemuan itu, setelah perdebatan yang sangat alot, disepakatilah Protokol Kyoto sebagai output dari konferensi ini. Protokol Kyoto adalah perjanjian yang mengikat negara yang menandatanganinya untuk melaksakanan kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam konferensi Kyoto. Konferensi Kyoto mewajibkan negara-negara maju yang dilabeli negara Annex 1 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Diantara negara-negara Annex 1 adalah negara Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang. Namun, protokol ini punya syarat agar dapat memiliki kekuatan yang mengikat. Syaratnya adalah Protokol Kyoto harus diratifikasi oleh lebih dari 50 negara yang hadir di konferensi Kyoto. Jika ia telah diratifikasi oleh lebih dari 50 negara, maka Protokol Kyoto dapat menjadi hukum internasional yang mengikat.

Hingga tahun 2004, jumlah penandatangannya kurang dari lima puluh, jadi protokol ini tidak pernah benar-benar menjadi hukum yang mengikat. Berkat Rusia yang menandatangani Protokol ini pada 2004, Protokol Kyoto benar-benar telah menjadi hukum internasional yang mengikat negara-negara yang menandatanganinya. Namun, masalah lain muncul, protokol ini hanya menjadi hukum yang mengikat pada negara yang meratifikasinya. Jadi, kalau ada negara yang tidak meratifikasi, maka hukum ini tidak berlaku bagi mereka. Nah, target dari protokol ini adalah semua negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar mau menandatangani protokol ini. Satu saja negara yang menghasilkan emisi gas Karbon terbesar tidak menandatangani, maka meski protokol ini telah ditandatangani oleh lebih dari 50 negara, protokol ini tidak akan memiliki signifikansi terhadap penyelesaian masalah pemanasan global.

Namun salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ternyata sampai sekarang emoh meratifikasi Protokol Kyoto padahal negara ini berperan sentral dalam membuat bumi makin panas. Jadinya, kan sama saja bohong kalau banyak negara yang meratifikasi Protokol Kyoto tapi negara tersebut bukanlah penghasil gas emisi rumah kaca, sedangkan penghasil terbesar tidak mau meratifikasi. Pastinya protokol ini tidak akan pernah efektif mengurangi emisi gas rumah kaca.

Negara satu ini tak lain adalah Amerika Serikat. Sebagai negara yang menghasilkan lebih dari 25% emisi karbon dunia, AS menolak untuk meratifikasi protokol ini dan bahkan menentang keberadaannya. George W. Bush menyatakan bahwa Protokol ini cacat. Kata orang yang satu ini, protokol ini tidak realistis dan tidak ada dasar ilmiahnya. Sebagai informasi, Bush ini bukan hanya penjahat perang, tapi ia juga penjahat lingkungan. Tidak puas telah membantai ribuan muslim di Afghanistan dan Irak, presiden yang satu ini juga ingin membantai milyaran populasi manusia dengan terus berkontribusi terhadap pemanasan global.

AS tidak bersedia mengimplementasikan protokol ini karena perjanjian tersebut tentu akan berdampak negatif terhadap perekonomian AS. Ada beberapa faktor spesifik yang membuat Amerika Serikat tidak mau menandatangani perjanjian Protokol Kyoto. Faktor pertama adalah tekanan dari perusahaan multinasional yang memang dari dulu memiliki hubungan mesra dengan
pemerintahan Amerika Serikat. Faktor kedua karena kalkulasi yang dilakukan AS menunjukkan AS akan sangat amat merugi jika menandatangani Protokol Kyoto. Dari dua faktor diatas, faktor
pertama ternyata jauh lebih signifikan dari faktor kedua. Mari kita tengok lebih dalam penjelasan mengenai faktor pertama.

Di era Obama, kebijakan lingkungan Amerika Serikat jauh lebih akomodatif terhadap lingkungan. Namun tetap saja, yang memegang kendali di Amerika Serikat selain pemerintahnya tak lain adalah kelompok bisnisnya yang merajalela dan akan sebisa mungkin Zmenjaga agar kepentingan mereka tidak diganggu.